Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jerman Antoni

Traffiking dan Eksploitasi

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 25 Jun 2023, 13:43 WIB

JERMAN ANTONI MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG

Eksploitasi seks komersial anak (ESKA) merupakan bentuk paksaan dan kekerasan terhadap anak dan sejumlah tenaga kerja paksa dan bentuk perbudakan modern. Eksploitasi seks komersial anak termasuk pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak dan bentuk lain dari transaksional seksual di mana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual untuk dapat memiliki kebutuhan utama yang terpenuhi, seperti makanan, tempat tinggal atau akses ke pendidikan. Ini termasuk bentuk transaksional seksual di mana kekerasan seksual terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh anggota keluarga, karena manfaat yang diperoleh oleh keluarga dari pelaku.

Di Indonesia anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 35 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menapat perlindungan khusus berdasarkan Pasal 59 dan hal itu kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak di lakukan melalui;

1. Penyebarluasan dan/atau sosialisai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.

2. Pemantauan, pelaporan, dan pemeberian sanksi.

3. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, Lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Menurut Pasal 64 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesai Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 20002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus kepada anak sebagai korban tindak pidana di lakukan melalui:

1. Upaya rehabilitasi, baik dalam Lembaga maupun di luar Lembaga.

2. Uapaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi.

3. Pemeberian jaminan keselamatan bagi saksi kroban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial.

4. Pemeberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pelayanan terhadap korban tindak pidana adalah suatu uasaha pelayan mental, fisik, sosial, ekonomi, terhadap mereka yang telah menjadi korban dan mengalami penderitaan akibat tindakan seseorang yang di anggap sebagai suatu ttindak pidana.

Dalam hal korban mebawa permasalahannya ke pengadilan, maka harus tersedia kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu. Sementara itu, untuk para korban yang mengalami penederitaan fisik harus pula tersedia fasilitas untuk menampung pengobatan mereka. Khusus untuk mereka yang mengalami tekanan batin (korban perkosaan dan penganiayaan) seharusnya dapat di sediakan pula fasilitas khusus dengan penanganan para ahli.

Perlu di perhatikan pula bahwa dalam dalam proseses peradilan pidana, kedudukan korban sebgai pihak dalam perkara (dibandingkan hanya sebgaia saksi) haruslah mendapay pengakuan yang wajar. Dalam teori hukum pidana, pengaturan mengnai pelayanan terhdap korban tindak pidana berdasarkan pada dua model:

1. Model hak-hak procedural (The Procedural Rights Model), penekanan di berikan pada korban untuk dimungkinkan si korban dapat memainkan peran aktif dalam proses jalannya peradilan pidana. Dalam hal ini korban dapat memperjuangkan dan memperoleh apa-apa saja yang menjadi haknya.

2. Model pelayanan (The Service Model), penekanan di letakan pada perlunya diciptakan standar resmi bagi pembina korban tindak pidana yang dapat digunakan oleh polisi dan para aparat penegak hukum lainya.

Kemudain dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban menyebutkan bahwa korban berhak:

1. Memperoleh perlindungan atas kemanan pribadi, keluarag, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, dam telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dar pertanyaan yang menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

7. Mendapatkan informasi menegnai putusan pengadilan.

8. Mengetahui dalam hal terpidan di bebasan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

12. Mendapatkan nasihat hukum.

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berahir.

Sebagai contoh kasus yang terjadi di masyarakat tentang eksploitasi seks komersial anak akan di jelaskan pada 2 kasus berikut ini:

1. AM (tersangka) dengan LN (korban) yang berumur 15 tahun. Pada kausus ini LN di bawa oleh anak AM dari Indramayu untuk di jadikan seorang pembantu rumah tangga di rumahnya. Melihat pekerjaan LN sebelumnya, ternyata LN pernah menjaid PSK di daerahnya. Masalah tersebut tidak menjadi persoalan, LN tetap dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Akan tetapi, tidak lama dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, LN mendapat siksaan dari anak AM. Selain disiksa, dai juga tidak memperoleh gaji sepersenpun. LN pun pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat hal itu, AM pun turut prihatin dan membawa pergi LN dari rumah anaknya. Tetapi, sebelum LN pergi, anak pun menyuruh LN untuk mengganti semua biaya Selema ia tinggal disana. Kemudian AM membayar semuanya guna menebus LN agar LN bisa pergi dan ikut AM.

Sesampainya di rumah AM, LN tidak di jadikan sebgai pembangtu rumah tangga, melainkan diperkerjakan untuk melayani tamu-tamunya di rumah AM, kemudian LN menolak, namun tersangka AM terus memaksa dan memberikan ancaman kepada korban LN agar LN mau melayani tamu-tamunya untuk berkencan.

2. HZ (tersangka) dengan RN (korban) yang berumur 16 tahun. Pada kasus ini, RN berasal dari lubuk linggau. Dia dibawa ke jambi di karenakan HZ memeberikan iming-iming sebuah pekerjaan kepada RN untuk menjadi penngasuh anak (baby sitter) dengan gaji yang besar. Bantuan-bantuan uang sengaja di berikan kepada keluarganya agar keluarganya mengizinkan RN untuk bersamannya,. Hal ini sengajakan dilakukan agar uang tersebut akan menjadi utang dan harus segera dilunasi. Awalnya, RN memang dipekerjakan sebgai pengasuh anak. Namun pada ahirnya, korban dipaksa untuk bekerja di payo segadung untuk melayani tamu-tamunya. Setelah melayani tamu-tamunya itu, RN tidak mendapatkan sepersenpun dari pekerjaan itu dikarenakan korban harus melunasi hutang-hutangnya, termasuk biaya inap dan biaya makan di payo sigadung.

Dua kasus diatas yang merupakan gejala sosial yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negri Jambi (di Kota Jambi) pada tahun 2006 dan kepada pelaku-pelakunya yaitu AM dan HZ sudah di jatuhi pidana oleh hakim Pengadilan Negri Jambi pada tanggal 5 Februari 2007.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image