Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Awansyah

Child Free dalam Pandangan Ulama Kontemporer

Agama | Saturday, 24 Jun 2023, 17:14 WIB
Freepik.com/lifestylememory

Belakangan ini muncul sebuah permasalahan dikalangan masyarakat Indonesia mengenai Child Free. Permasalahan tersebut pasangan suami istri bersepakat untuk tidak memiliki anak demi terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan diantara rumah tangganya. Namun, hal ini bertolak belakang dengan tujuan dari pernikahan. Sebab, tujuan dari pernikahan itu sendiri harus melestarikan keturunan, menyalurkan libido yang berbahaya untuk dikekang, dan memperoleh sebuah kenikmatan. Sedangkan, menurut Imam Syafi’I bahwa tujuan menikah itu tidak hanya memperoleh kebahagiaan, melainkan harus disertai dengan memperoleh keturunan sebagai bentuk tujuan utama dari hadirnya pernikahan. Biasanya, pelaku yang bersepakat untuk tidak memiliki anak ialah mereka yang berpendidikan tinggi dan hidup diperkotaan yang padat akan penduduk. Akan tetapi, hal tersebut bertentangan dengan kebiasaan orang banyak yang ingin memiliki anak untuk meneruskan ataupun mewariskan perjuangan mereka. Kemudian, mereka yang melakukan child free tersebut biasanya melakukan hubungan seksual dengan mencabut alat kelamin suami ketika ejakulasi untuk menumpahkan spermanya di luar vagina, yang disebut dengan “azl” (an-Nabhani, 2022). Akan tetapi, kebanyakan pernikahan yang tidak bahagia disebabkan oleh ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual, sehingga melalui cara ‘azl tersebut menyebabkan pasangan merasa tidak puas. Hal ini dibuktikan dengan data yang mengatakan bahwa sebanyak 32 persen pasangan suami istri memiliki ketidak harmonisan akibat seks. Fenomena tersebut disebabkan oleh rasa bosan yang diciptakan dari hubungan seksual yang tidak puas yang diciptakan oleh ejakulasi dini dan ejakulasi diluar vagina (CNN Indonesia, 2019).Berdasarkan data diatas memberikan informasi kepada kita bahwa kehadiran fenomena child free tidak dapat menjadi sumber kebahagiaan dari sebuah hubungan diantara pasangan suami istri. Sebab, dengan hadirnya perilaku hubungan seksual yang tidak puas diantara pasangan suami istri menyebabkan ketidak harmonisan rumah tangga. Kemudian, hal itu bertolak belakang dengan kebiasaan makhluk hidup pada umumnya untuk dapat memiliki anak.Istilah atas hadirnya fenomena child free mulai berkembang pada abad ke 20. Pasangan yang memutuskan child free, menganggap bahwa memiliki seorang anak atau tidak adalah sebuah hak pribadi dan didasarkan atas hak asasi manusia yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak manapun. Salah satu alasan yang sering diutarakan oleh kaum child free adalah untuk menekan angka overpopulation (Hanandita, 2022). Akan tetapi, terdapat pula yang menyebutkan bahwa hadirnya trend childfree ini sebagai kampanye politic of body atau politik tubuh yang dianggap tubuh seorang perempuan merupakan miliknya dan tidak dapat dipaksakan oleh siapapun (Online, 2022).
Pandangan Ulama Fiqh Kontemporer Terhadap Fenomena Child FreeBelakangan ini sedang ramai dikalangan masyarakat mengenai child free, yaitu sepasang suami istri bersepakat untuk tidak memiliki anak. Melalui fenomena tersebut terdapat masyarakat yang mendukung dan ada pula yang melakukan penolakan. Konsep kesepakatan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak dilakukan dengan berbagai cara. Dikutip dari keputusan Muktamar NU ke-28 di PP Al-Munawwir, bahwa hukum mematikan fungsi keturunan secara mutlak dinyatakan haram. Akan tetapi, apabila hanya dilakukan sterilisasi yang diperbolehkan dengan melakukan pemulihan kemampuan keturunan dan tidak menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi, diperbolehkan (Ahmad Muntaha AM, 2021). Pembahasan dalam Muktamar tersebut adalah hukum pemotongan saluran sperma dari testis menuju uretra dan penutupan kedua tuba falopi yang terdapat dalam bagian tubuh wanita. Sangat jelas persoalan ini melarang orang mematikan fungsi keturunan secara mutlak, sehingga hukum tersebut cukup untuk merumuskan permasalahan child free apabila dilakukan pemutusan fungsi reproduksi secara mutlak, maka jelas tidak diperbolehkan. Apabila dilakukan hanya untuk menunda atau mengurangi kehamilan maka dihukumi makruh.Pemahaman diatas menjadi acuan bagi masyarakat yang ingin melakukan kesepakatan untuk tidak memiliki anak, melihat pendapat Muktamar NU yang menyatakan bahwa melakukan penundaan kehamilan untuk mengurangi resiko banyaknya kasus kehamilan, dihukumi sebagai makruh. Akan tetapi, apabila dilakukan untuk melakukan pemutusan saluran yang dapat menyebabkan kehamilan seperti pemutusan saluran sperma, maka dihukumi haram. Namun, menurut ulama kontemporer yaitu Syekh Sauqi Alam, mengatakan bahwa Syariat agama Islam tidak mewajibkan bagi seseorang yang menikah untuk memiliki keturunan. Umumnya umat Islam meniah untuk memperbanyak keturunan (Lembaga Fatwa Mesir, 2019). Fatwa tersebut memberikan informasi bahwa di dalam syariat Islam tidak terdapat larangan untuk tidak memiliki anak, Tetapi hal itu bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Selain itu, ketika fenomena tersebut didasari oleh kekhawatiran dank arena adanya penyakit, maka itu diperbolehkan. Kemudian, menurut Syaikh Ibrahim Alam, menjelaskanbahwa kesepakatan suami istri untuk tidak memiliki anak adalah hak mereka, child free ini dikaitkan dengan permasalahan Azl yaitu melakukan hubungan suami istri sebelum mencapai puncak yang mengakibatkan sperma suami tidak masuk kedalam vagina istri (Afandi & Adi, 2023). Hal tersebut, menurut jumhur ulama dihukumi mubah selama keduanya telah bersepakat.
Child free menjadi sebuah bentuk pembrontakan terhadap kaum wanita yang beralasan dapat melawan kodrat dari kebiasaan wanita pada umumnya yang telah menikah. Selain itu, fenomena tersebut dapat memperburuk keadaan dengan terjadinya permasalahan kepanikan moral. Permasalahan child free ini tidak dipermasalahkan selama tidak melanggar syariat Islam. Menurut fatwa Mesir dan ulama kontemporer bahwa permasalahan child free menjadi sebuah kebebasan diantara pasangan suami dan istri apabila mereka bersepakat untuk tidak memiliki anak. Selain itu, permasalahan tersebut diperbolehkan jika dilakukan dengan tidak memutus saluran yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image