Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ali Purnama

Menggantikan Orang Lain Haji

Agama | Thursday, 22 Jun 2023, 19:17 WIB

Seseorang yang sudah memiliki kemampuan untuk berhaji, maka diwajibkan baginya untuk menunaikan haji. Kemampuan disini meliputi dua hal, yaitu mampu secara finansial dan fisik. Mampu secara finansial berarti memiliki bekal dan atau biaya untuk berangkat haji, akomodasi selama haji, meninggalkan uang sebagai nafkah untuk keluarganya selama ditinggal haji, sampai nanti pulang kembali ke tanah air. Selain itu, mampu juga diartikan bahwa orang yang melaksanakannya harus sehat secara fisik dan mental, sehingga memungkinkan menunaikan ibadah haji.

Namun, barang siapa yang telah memiliki kemampuan untuk berhaji kemudian berbalik lemah karena sakit atau sudah berusia lanjut, wajib baginya mencari pengganti yang akan mengerjakan haji atas namanya, karena ia tidak mungkin lagi melakukannya sendiri disebabkan oleh kelemahannya, hingga tidak ada bedanya antara ia dengan orang yang telah meninggal dunia dan digantikan hajinya oleh orang lain. Istilah ini juga dikenal sebagai badal haji.

Berdasarkan Hadits yang diterima dari Fadhal bin Abbas, yang artinya:” Seorang wanita dari Khan’am bertanya, ‘Ya Rasulullah, kewajiban haji yang difardhukan Allah atas hamba-hambanya, bersama datangnya dengan keadaan bapakku yang telah tua renta hingga tidak sanggup lagi untuk berkendaraan. Apakah boleh berhaji atas namanya?’ ‘Boleh’, ujar Nabi saw. Dan peristiwa terjadi di waktu haji Wada.” (HR Jamaah dan menurut Tirmidzi Hadits ini hasan shahih).

Tirmidzi juga mengatakan, “Pendapat diatas menjadi amalan bagi para ulama dikalangan sahabat Nabi dan lain-lain. Menurut mereka hendaklah orang yang telah meninggal itu digantikan naik haji”. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Tsauri, Ibnu Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan Ishak, sedangkan menurut Malik ia mengatakan, “Jika ia berwasiat agar dihajikan, barulah bisa digantikan hajinya”. Sebagian dari mereka memberi keringanan untuk menggantikan orang yang masih hidup untuk naik haji, jika ia telah tua dan dalam keadaan tidak sanggup untuk melaksanakannya.

Hadits di atas juga menjadi dalil bahwa wanita boleh menggantikan laki-laki maupun wanita, dan sebaliknya, laki-laki dapat pula mewakili wanita atau laki-laki. Tidak ada keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan itu.

Adapun orang yang sakit tetapi sembuh kembali setelah ibadah hajinya ditunaikan oleh penggantinya, maka kewajibannya telah terpenuhi dan ia tidak wajib mengulanginya lagi. Hal tersebut merupakan agar tidak menyebabkan diwajibkannya dua kali haji. Kemudian, jumhur berpendapat bahwa hal itu belum cukup karena ternyata harapannya akan sembuh sebelum putus, dan yang dilihat adalah akhir kesudahannya.

Bagi orang yang menggantikan orang lain untuk berhaji disyaratkan untuk telah menunaikannya terlebih dahulu untuk dirinya pribadi. Alasannya adalah apabila ia berniat haji untuk menggantikan orang lain tetapi ia belum berhaji, maka hajinya adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain. Orang yang meggantikan orang berhaji tidak boleh menghajikan dua orang atau lebih dalam satu kali pelaksanan haji.

Para ulama Lajnah Daimah mengatakan,”Seseorang tidak dibolehkan melakukan sekali haji untuk dua orang. Maka hajinya tidak diterima kecuali hanya untuk satu orang saja, pun begitu juga umroh. Kemudian, bagi orang yang menghajikan orang dengan niat hanya untuk mendapatkan uang, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Seharusnya bagi yang menghajikan (orang lain) meniatkan hatinya untuk membantu kepada orang yang dihajikannya. Juga diniatkan untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Karena orang yang dihajikan sangat membutuhkna, dia akan senang ketika mendapatkan orang yang dapat menggantikan tempatnya. Sehingga dia berniat hal itu berbuat baik kepadanya dalam menunaikan ibadah haji dan menjadi niatan yang baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image