Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jorot Simorangkir

Stop Diskriminasi terhadap Disabilitas Mental

Pendidikan dan Literasi | 2023-06-22 14:56:48

Penyandang disabilitas mental seringkali dianggap rendah dan "najis" oleh kebanyakan dari masyarakat. Mereka bahkan memiliki julukan "orang gila" di lingkungan masyarakat pada umumnya. Tak sedikit pula dari mereka yang diasingkan oleh keluarga mereka sendiri karena perasaan malu memiliki anggota keluarga yang menyandang disabilitas mental. Stigma yang menyelimuti penyandang disabilitas ini tidak hanya berakhir sebagai stigma saja. Beberapa orang bahkan tega melakukan tindakan diskriminasi seperti melakukan perundungan secara verbal dan non-verbal. Ironisnya, banyak orang yang melakukan pembenaran terhadap tindakan-tindakan diskriminatif tersebut bahkan sampai ke kalangan aparat negara.

Sumber: Kompas.com

Tak berhenti sampai disitu, penyandang disabilitas juga dibatasi hak-hak politik dan pendidikannya. Mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Sama halnya di dunia pendidikan di mana masih banyak sekolah ataupun universitas yang tidak bersifat inklusif atau hanya berkedok inklusif tetapi di dalamnya masih melakukan diskriminasi terhadap mereka. Diskriminasi inipun berlanjut di dunia pekerjaann di mana banyak penyandang disabilitas mental yang tidak jarang ditolak dari perusahaan-perusahaan yang tidak bersifat inklusif. Hal inilah yang menjerumuskan penyandang disabilitas ke dalam kemiskinan.

Di Indonesia sendiri, sudah diterapkan berbagai peraturan yang bermaksud untuk menanggung pengakuan, perlindunga, serta pemenuhan hak penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas mental yang tertera di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas bersama aturan turunannya baik berbentuk Peraturan Pemerintah maupun Perarturan Presiden sampai di tingkat daerah melalui Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Partisipasi masyarakat merupakan kunci untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.

Misintrepetasi informasi yang salah terkait penyandang disabilitas mental di publik menjadi salah satu rintangan dalam implementasi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas terlebih lagi penyandang disabilitas mental. Rumor seputar penyandang disabilitas mental seperti korban ilmu gaib dan kerasukan makhluk halus adalah rumor yang keliru.

Akibat interpretasi yang salah, banyak dari penyandang disabilitas mental mendapatkan pelayanan di dunia kesehatan yang tidak layak dan tidak berstandar kesehatan jiwa seperti pengobatan paranormal (dukun) maupun adanya pemasungan. Hal ini menyebabkan kondisi kesehatan mental dan fisik mereka semakin memburuk.

Penyandang disabilitas mental bukanlah sesuatu yang harus ditutup-tutupi dan menjadi hal yang dipermalukan. Melainkan, masyarakat harusnya menjaga etika dan hormat terhadap sesama manusia dan hak asasi manusia. Dengan diubahnya pemikiran dan perlakuan terhadap disabilitas mental yang lebih baik, teman-teman penyandang disabilitas mental pun akan mendapatkan pelayanan kesehatan, kesempatan dan hak politik, serta hak yang layak di dunia pendidikan di dunia pekerjaan. Fenomena ini bisa dilihat dari pendekatan dari sosial model dimana model ini menekankan pada urgensi untuk menghilangkan halangan dan meningkatkan aksesibilitas bagi orang dengan disabilitas mental agar mereka dapat berpartisipasi sepenuhnya di dunia sosial, ekonomi, politik, dan juga mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Lalu, bisa juga dilihat dari pendekatan Human Rights Model dimana model ini menekankan pada urgensi untuk menghilangkan diskriminasi dan memberikan seluruh akses pada semua orang, termasuk disabilitas yang juga memiliki hak asasi manusia yang diakui secara hukum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image