Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ALIN DWI RACHMA DAMAYANTI

Pergeseran Paradigma dalam Memaknai Kondisi Disabilitas

Eduaksi | Tuesday, 20 Jun 2023, 11:51 WIB

Di zaman modern ini masih terdapat banyak sekali masyarakat yang memandang negatif penyandang disabilitas. Sementara, di sisi lain populasi dari penyandang disabilitas sendiri terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pandangan negatif yang dimiliki oleh masyarakat ini seringkali muncul karena tidak adanya pemahaman lebih lanjut mengenai isu disabilitas. Sehingga pada akhirnya patokan mengenai pola pikir normalitas lah yang mereka gunakan.

Foto: Pinterest

Hingga kini, pergeseran paradigma dalam memaknai disabilitas masih terus dilakukan. Dengan tujuan, untuk dapat meningkatkan kemampuan sendi-sendi dasar dari hak asasi manusia. Pergeseran paradigma baru dalam memaknai disabilitas ini terletak pada bagaimana sudut pandang yang dimiliki oleh seseorang ketika melihat permasalahan yang dialami oleh disabilitas: (1) Kini penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai masalah individu, melainkan sebagai masalah sosial (2) Upaya yang dilakukan pun tidak lagi mengarah pada perubahan diri penyandang disabilitasnya, melainkan pada perubahan perilaku masyarakat sekitarnya (3) Pemenuhan kebutuhan para penyandang disabilitas tidak lagi hanya sebatas kebutuhan praktis, melainkan juga kebutuhan strategis (4) Solusi yang diberikan pun tidak lagi bersifat partial solution melainkan integrated solution (5) Dan yang terakhir, program yang dibentuk untuk menangani permasalahan disabilitas tidak lagi berupa program eksklusif melainkan program inklusif.

Jika dilihat secara lebih mendalam, pergeseran paradigma baru ini sebenarnya merupakan bentuk upaya dari mengubah cara pandang masyarakat melalui keikutsertaan disabilitas dalam lingkup ranah publik. Karena pada dasanya, cara pandang yang dimiliki oleh masyarakat terhadap penyandang disabilitas ini akan menentukan bagaimana bentuk upaya dari penghormatan, perlindungan, dan juga pemenuhan hak yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas.

Seperti yang kita ketahui, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, disabilitas dapat diartikan sebagai seseorang yang mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan juga sensorik dalam jangka waktu yang lama (minimal 6 bulan) sehingga dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya seringkali mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan aktif berdasarkan kesamaan hak (Santoso and Apsari 2017). Setidaknya terdapat enam cara pandang berbeda dalam melihat permasalahan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, diantaranya yaitu moral model, charity model, medical model, social model, inclusion model, dan juga human rights model.

Cara pandang yang dimiliki oleh moral model, charity model, dan medical model merupakan implementasi dari paradigma lama yang cenderung menempatkan masalah disabilitas pada diri individunya. Di mana penyandang disabilitas dianggap mengalami keterbatasan karena ulah dari dirinya sendiri. Sedangkan social model, inclusion model, dan human rights model merupakan bentuk implementasi dari paradigma baru yang cenderung lebih menempatkan masalah disabilitas pada lingkungannya. Di mana penyandang disabilitas dianggap mengalami keterbatasan karena tidak adanya perancangan fasilitas publik yang aksesibilitas, sehingga mereka cenderung tidak memiliki kesempatan yang sama untuk beraktivitas di ruang dan ranah publik.

Jika didasarkan pada implementasi pandangan paradigma baru, suatu negara seharusnya memiliki rancangan pembangunan yang berpedoman pada konsep desain universal. Menurut Center for Excellence in Universal Design, konsep desain universal, atau yang biasa dikenal dengan sebutan nama desain inklusif ini merupakan sebuah desain atau struktur lingkungan yang dapat dipahami, diakses, dan juga digunakan semaksimal mungkin oleh setiap orang tanpa memandang usia ataupun kemampuan (Alexandra 2021). Hal ini dikarenakan konsep dalam desain universal memiliki tujuh prinsip utama diantaranya yaitu, kesetaraan dalam penggunaan, fleksibelitas dalam penggunaan, penggunaan yang sederhana dan intuitif, pemberian informasi yang jelas, penyampaian informasi secara efektif, pemberian toleransi terhadap kesalahan, upaya fisik yang rendah dan efisien, serta penyediaan ukuran dan ruangan yang sesuai dengan penggunaan. Contohnya seperti, pembuatan jalur sirkulasi yang dapat dilalui oleh pengguna kursi roda sekitar 120 cm, tidak menggunakan gagang pintu yang berbentuk bulat agar dapat digenggam oleh daksa, membuat perbedaan tekstur dan warna ubin pada ujung tangga untuk netra dan low-vision, dan lain sebagainya.

Di Indonesia sendiri kebanyakan dari kebijakan pembangunannya masih menggunakan model pembangunan yang eksklusif. Di mana model pembangunan ini cendereung hanya berfokus pada pencapaian aspek dari pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tidak meratanya kesejahteraan yang disertai dengan tingginya angka kemiskinan, pengangguran, angka gini rasio, serta daya dukung lingkungan yang terus-menerus terdegradasi cenderung terabaikan. Alhasil terdapat banyak sekali kelompok yang terpinggirkan dari adanya kebijakan pembangunan ini, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok penyandang disabilitas.

Kondisi ini tentu akan menjadi sangat berbeda apabila suatu negara melakukan kebijakan pembangunannya dengan menggunakan konsep desain universal. Dengan menggunakan konsep desain universal, secara tidak langsung masalah mengenai tingkat kemiskinan pun perlahan dapat teratasi. Hal ini dikarenakan semua pihak termasuk para penyandang disabilitas sekalipun dapat ikut berkontribusi dalam menciptakan peluang yang setara melalui pemanfaatan pembangunan dan juga ruang partisipasi yang didasarkan pada penghormatan nilai dan juga prinsip hak asasi manusia.

Tidak begitu sulit untuk menciptakan kebijakan pembangunan yang mengarah pada konsep desain universal. Cukup hanya dengan mengikutsertakan seluruh kelompok masyarakat, tanpa terkecuali penyandang disabilitas sekalipun. Bahkan kondisi ini sebenarnya telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, di mana negara wajib hadir untuk memenuhi dan melindungi hak-haknya sebagai warga negara dan negara pun wajib hadir untuk menegakan hak-hak penyandang disabilitas dan sebagai anak-anak bangsa yang juga harus berkontribusi untuk menghadapi masa depan (Santoso and Apsari 2017).

Bagaimana pun penyandang disabilitas tetaplah merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki kedudukan, kewajiban, hak serta peranan yang sama dengan masyarakat lainnya. Bahkan, dengan diberikannya kesempatan yang sama, maka secara tidak langsung indikator kemandirian dari para penyandang disabilitas pun secara perlahan akan tercapai. Indikator ini meliputi, tidak bergantung pada orang lain, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, kedisiplinan, kreatif dan inovatif, serta bertanggung jawab.

Tanpa adanya kehidupan yang inklusif, kesejahteraan di suatu negara pun tidak akan mungkin dapat tercapai. Inilah mengapa hampir seluruh isu yang ada di ilmu sosial, humaniora, dan juga eksakta, harus bersifat inklusif. Tujuannya agar dapat memberikan manfaat dan juga ilmu pengetahuan bagi seluruh masyarakat termasuk para penyandang disabilitas, agar tidak ada lagi ketidaksetaraan dan juga pandangan negatif yang dimiliki oleh masyarakat kepada para penyandang disabilitas.

Sumber Referensi :

Alexandra, Sesilia. 2021. “Mengenal Prinsip Desain Universal, Desain Yang Dapat Diakses Oleh Semua Orang.” Idea.Grid. Retrieved (https://idea.grid.id/read/092959093/mengenal-prinsip-desain-universal-desain-yang-dapat-diakses-oleh-semua-orang).

Santoso, Meilanny Budiarti, and Nurliana Cipta Apsari. 2017. “Pergeseran Paradigma Dalam Disabilitas.” Intermestic: Journal of International Studies 1(2):166. doi: 10.24198/intermestic.v1n2.6.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image