Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kala Kirana Jannadra

Hukuman Mati Bagi Pelaku Kekerasan Seksual, Tidak akan Selalu Memuaskan Korban

Politik | Friday, 16 Jun 2023, 23:35 WIB

Kasus kekerasan seksual tentu bukan sebuah topik yang mudah untuk dituliskan. Mengingat topik ini sangat sensitif dan perlu konsiderasi yang matang dalam penulisan kata tiap kata. Namun, saya berdiri atas stance bahwa penegakkan hukum atas kekerasan seksual harus ditegakkan bukan hanya atas dasar orientasi penegakkan hukum, tetapi juga atas dasar penanganan kerugian dan trauma yang dirasakan korban.

Apakah Anda pernah mendengar tentang kasus Herry Wirawan? Ia adalah seorang pimpinan pesantren dari Bandung yang dijatuhi hukuman mati setelah melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap 13 santrinya. Mungkin kita, sebagai konsumen berita, merasa lega karena akhirnya pelaku kejahatan tersebut dihukum mati. Namun, bagaimana dengan para korban? Apakah mereka akan merasa puas? Faktanya, meskipun pelaku dihukum mati, hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa mereka telah menjadi korban tindakan kekerasan seksual oleh seorang pimpinan pesantren. Tentu saja, hukuman mati tidak akan menghilangkan rasa sakit, trauma, dan ketakutan yang timbul akibat perbuatan yang telah terjadi.

Photo by Anete Lusina from Pexels: https://www.pexels.com/photo/woman-with-cross-symbol-on-mouth-unable-to-speak-5723267/

Keji sangatlah keji, kekerasan seksual sangatlah keji. Saya rasa mereka (pelaku) harus dihukum dengan berat karena menciptakan rasa trauma bagi yang dilecehkan. Apalagi kerugian yang dirasakan korban sangatlah berat mulai dari rasa takut, terpuruk, dan lain sebagainya. Akan sulit bagi korban yang tidak bersalah untuk bisa kembali ke kehidupan mereka dengan normal. Namun, Muncul pertanyaan di benak saya. Apakah korban menginginkan pelaku yang sudah merusak hidup mereka untuk hidupnya juga rusak? atau mereka menginginkan untuk para pelaku dihukum mati?

Saya rasa hukuman mati diciptakan sebagai bentuk punishment atas tindak kriminal yang sudah terjadi, orientasi keberhasilan berada pada pelaku. Berarti standarnya berada pada apakah pelaku sudah dihukum dengan sesuai atau belum. Namun, saya rasa jika berbicara terkait dengan kekerasan seksual, seberat apapun hukuman yang telah dibebani kepada sang pelaku, tetap ada fakta bahwa para korban masih trauma dan bahkan belum bisa melupakan hal traumatis itu. Saya rasa hukum harusnya berorientasi bukan hanya kepada penghukuman pelaku, tetapi juga kepada restorasi dan victim closure. Menangani trauma dan kerugian yang dialami sang korban juga adalah hal yang harus diperjuangkan dalam hukum.

Jika memang hukum belum maksimal dalam menangani kerusakan atau kerugian yang dirasakan korban. Pada akhirnya hukum harus ditegakkan sangat ketat sehingga tercapai fungsi preventif dan mencegah. Intinya jika memang tidak mampu menangani artinya jangan sampai hal itu terjadi (mencegah hal itu terjadi).

Walaupun ada fungsi kuratif (menangani) dan fungsi preventif (mencegah) dari sebuah hukum yang berlaku. Saya rasa hukum tetap harus berorientasi bukan hanya kepada penghukuman pelaku, tetapi juga kepada restorasi dan victim closure. Menangani trauma dan kerugian yang dialami sang korban juga adalah hal yang harus diperjuangkan dalam hukum. Karena saya rasa walaupun pelaku sudah tidak ada di dunia ini lagi (dihukum mati misalnya), para korban tetap saja tidak bisa mengubah fakta bahwa sebelumnya mereka telah menjadi korban dari kekerasan seksual. Selalu ada bayang-bayang dan rasa takut yang menghampiri, bahkan dapat mempengaruhi sifat dan perilaku mereka sehari-hari. Berapa banyak orang yang sebelumnya ceria sebelum menjadi korban.

Penegakan hukum dan sistem peradilan harus bertindak untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum pelaku kekerasan seksual dengan cara yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, kembali lagi definisi adil merupakan hal yang subjektif. Tidak ada definisi adil yang bisa diterapkan linear ke setiap orang. Mungkin untuk beberapa korban dengan melihat korban yang dihukum mati sudah cukup, tetapi ada beberapa yang tetap saja belum bisa mendapatkan closure atas hal itu. Itulah kenapa, untuk menyelesaikan kerusakan yang terjadi harus ada tindakan khusus dan sesuai individu masing-masing.

Sadari sekali lagi bahwa untuk korban kekerasan seksual, setiap individu bereaksi secara berbeda terhadap pengalaman traumatis ini, dan upaya pemulihan harus dilakukan dengan cara yang memadai dan mendukung. Salah satu solusi yang bisa menjadi referensi dalam restorasi dari hukum misalnya bantuan medis, konseling psikologis, dan dukungan dari komunitas dan keluarga dapat membantu korban untuk memulihkan diri secara fisik dan emosional.

Lebih penting lagi, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang kekerasan seksual, dan bekerja bersama-sama untuk mencegah kekerasan seksual serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korbannya. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal menjadi korban kekerasan seksual, sangat penting untuk segera mencari bantuan dari pihak berwenang atau lembaga yang dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang dibutuhkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image