Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabinna Ramaniya

Privilege, Curang atau Wajar?

Lainnnya | Thursday, 15 Jun 2023, 14:46 WIB

Privilege, sebagai keuntungan atau akses istimewa yang diperoleh seseorang karena faktor-faktor di luar kendali individu, telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan dalam konteks ketidaksetaraan sosial. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah privilege itu curang atau hanya hal yang wajar?

Pertanyaan apakah privilege merupakan hal yang curang ataukah wajar tidak memiliki jawaban yang sederhana. Privilege itu sendiri tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang secara inheren curang atau wajar. Privilege adalah hasil dari faktor-faktor di luar kendali individu, seperti kelahiran, status sosial, atau ras. Apakah privilege tersebut dianggap curang atau wajar tergantung pada konteks dan perspektif yang digunakan.

Dalam konteks sistem sosial yang tidak adil, di mana kesenjangan dan ketidaksetaraan sosial masih ada, privilege dapat dipandang sebagai sesuatu yang curang. Individu yang lahir dengan privilege tertentu dapat mengambil keuntungan dari akses dan peluang yang tidak tersedia bagi mereka yang kurang beruntung. Ini menghasilkan ketidakadilan sistemik yang merugikan mereka yang berada di sisi kurang beruntung.

Namun, jika kita melihat privilege secara objektif sebagai keberuntungan yang diperoleh seseorang secara tak terduga dan tanpa disengaja, maka privilege dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Setiap individu memiliki keberuntungan dan kelemahan dalam kehidupan mereka, dan privilege hanyalah salah satu aspek dari keberuntungan itu.

Perspektif tentang privilege juga beragam. Beberapa orang mungkin merasa bersalah atas privilege mereka dan berusaha untuk mengimbanginya dengan membantu mereka yang kurang beruntung, sementara yang lain mungkin merasa bahwa privilege adalah hak mereka yang wajar.

Stigma yang dirasakan masyarakat terkait privilege dan orang dalam dapat bervariasi tergantung pada konteks dan budaya tertentu. Misalnya, stigma ketidakmampuan : Jika seseorang memiliki privilege atau hubungan yang memberikan keuntungan, masyarakat mungkin meragukan kemampuan mereka. Mereka mungkin menganggap bahwa individu tersebut tidak berprestasi atau tidak berhasil karena bantuan atau jaringan yang mereka miliki. Stigma ini menciptakan persepsi negatif terhadap kemampuan individu tersebut, meskipun bisa jadi mereka memiliki kualifikasi dan keahlian yang sebenarnya.

Stigma ketidakadilan sistemik : Stigma juga bisa terkait dengan sistem yang mendukung privilege atau hubungan orang dalam. Masyarakat mungkin mengkritik individu yang memanfaatkan sistem atau jaringan yang ada untuk mendapatkan keuntungan atau kesempatan yang tidak tersedia bagi orang lain. Stigma ini mencerminkan rasa frustasi terhadap ketidakadilan struktural yang memungkinkan keistimewaan dan memperkuat kesenjangan sosial.

Mungkin secara tidak sadar, ketika melihat orang ‘kaya’ melamar pekerjaan lalu diterima akan banyak anggapan bahwasanya ia menggunakan ‘orang dalam’. Istilah orang dalam sendiri digunakan untuk menyebut koneksi atau kenalan dalam sebuah instansi, merujuk pada nepotisme tentunya. Seakan tak bisa dihapuskan stigma negatif tersebut. Padahal jika dilihat dari sisi lain, bagaimana jika ternyata mereka-mereka yang dikatakan menggunakan orang dalam ini memang capable dan berkemampuan sehingga mendapatkan suatu rekomendasi?

Tak semua bisa dipukul rata, bisa jadi beberapa menggunakan siasat nepotisme, tapi tak adil jika menyamaratakan semua ‘orang kaya’ memang berniat masuk melalui jalur orang dalam. Kembali lagi, terkadang justru kenalan di instansi inilah yang berinisiatif untuk membantu agar mendapat timbal balik atau istilahnya give and take. Bisa dikatakan privilege juga, namun jika dikatakan curang, bagi saya tidak seperti itu. Karena bagaimanapun, cara kerja dunia memang seperti itu. Manusia sebagai makhluk sosial, berhubungan ‘timbal balik’ satu dengan yang lain.

Sepertinya juga semua menginginkan hal seperti itu? Tetapi karena tidak semua bisa mendapatkannya, malah timbul perasaan iri dan menjudge siapa yang mendapatkan privilege atau keuntungan tersebut. Mengatakan bahwa mereka curang, nepotisme, menggunakan orang dalam, tidak berkemampuan. Terasa tak adil memang, tapi definisi adil menurut setiap orang berbeda, subjektif sifatnya. Perlu ditegaskan bahwa statement ini tak membenarkan sikap nepotisme. Cara atau jalan yang terasa paling benar ialah tetap berusaha menaikkan value diri, baik dari segi kemampuan atau sosialisasi.

Hal terpenting adalah mengakui bahwa privilege merupakan bagian dari dinamika sosial yang kompleks dan adanya ketidaksetaraan yang perlu ditangani. Penting untuk terlibat dalam diskusi yang inklusif, mendengarkan pengalaman orang lain, dan bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua individu.

Dalam kesimpulannya, apakah privilege itu curang atau wajar tergantung pada konteks dan perspektif yang digunakan. Perspektif dan pemikiran yang berbeda dapat menyebabkan bias yang kadang kali terjadi. Apa yang memberi keuntungan, disanalah pilihan akan dicondongkan. Namun, penting untuk menyadari bahwa ketidaksetaraan dan ketimpangan sosial perlu ditangani untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image