Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aqil Mochtar

Stigma Negatif Anak Perempuan Bermain Teater

Curhat | Sunday, 26 Dec 2021, 19:16 WIB

Bukan hal yang tabu bagi kita mengenai paandangan negatif bagi anak Teater. Stigma negatif menjadi anak teater atau seniman sama dengan masa depan yang suram, pandangan itu melekat di masyarakat. Banyak orang tua yang khawatir dan bahkan takut jika anaknya masuk dalam dunia kesenia akan mengakibatkan masa depanya tidak jelas. dikarenakan banyak para seniman yang sulit mendapatkan pekerjaan. Bukan hanya bagi para anak teater saja, melainkan lingkup yang lebih luas lagi tentang kesenian. Menjadi anak band, penyanyi, pelukis, tari, hingga teater, akan mendapatkan masalah yang sama dengan stigma itu.

Mereka lupa dengan hal kecil yang biasa merak lakukan saat bersantai seperti mendengarkan musik, menonton tv, pergi ke bioskop untuk menonton film, datang ke konser, bahkan mengunjungi gedung teater untuk menyaksikan pertunjukan teater. Sudahkah mereka sadar, bahwa dibelakang itu semua membutuhkan orang untuk menghasilkan itu? Memangnya, yang membuat musik, film, pertunjukan tari, bahkan teater itu robot? Lantas, bagaimana dengan mereka yang ingin menjadi pelakunya, bukan hanya penikmat saja? Kenapa minat mereka malah ditentang?

Sebenarnya mengatur hingga melarang terhadap minat anak itu suatu kesalahan besar. Tetapi, yang salah besar adalah ketika melakukan jalan pintas dalam melarang anak dengan membenarkan suatu hal yang belum sepenuhnya terbukti kebenarannya. Seperti stigma yang sering dilontarkan para orang tua. Memangnya menjadi anggota teater bisa menjamin pekerjaanmu dimasa depan? Tentu bisa!

Saya pribadi bisa mengatakan hal demikian karena saya berkecimpung di dunia keseniaan, khususnya teater. Yang saya lihat dari apa yang sudah saya jalani di teater ini, teater adalah bentuk pengekspresian, luapan emosi, curahan kegelisaan yang dialami. Mereka menuangkan semua itu dalam bentuk seni, jadi meraka tidak menitik beratkan semua pada kesenian. Mereka juka memiliki tujuan hidup masing-masing diluar berkesenian. Banyak kok para lulusan seni yang memiliki bisnis, menjadi seniman, aktor, penulis, bahkan bergabung dalam dunia perfilman.

Tetapi, memang kegiatan di teater sendiri cukup berat terutama saat sedang ada kegiatan, seperti proses naskah untuk pementasan. Kegitan tersebut memakan waktu yang panjang dan lama, dan tak jarang latihannya sampai larut malam bahkan bisa menginap di sanggar. Hal ini yang membuat beberapa orang tua khawatir dengan aktifitas tak wajar yang dilakukan anaknya. Apa lagi ruang lingkup disekitar tidak ada yang menjadi seniman itu menambah kekhawatiran, karena aktifitas seperti itu tidak biasa terjadi.

Apa lagi perempuan, yang tidak seharusnya pulang malam bahkan tidak pulang. Pasti akan di pandang buruk oleh tetangga sekitar. Itu alasan orang tua melarang anaknya bermain di dunia kesenian. Jika dilihat dari permasalahan tersebut, apa yang harus dilakukan pihak anak, khususnya perempuan?

Sebenarnya perlu diketahui juga bahwa permasalahan semacam ini tidak hanya terjadi pada perempuan, anak laku-laki juga sering mendapatkan hal yang sama. Lalu bagaimana supaya orang tua pada akhirnya mengizinkan dan merestui kita bermain teater? Ada dua langkah yang perlu diperhatikan

Langkah pertama tentu dengan cara berbincang dua arah. Tidak selamanya yang tua berarti tahu segalanya, yang tua juga harus mau mendengarakan apa yang dikatakan yang muda. Karena siapa tahu jangkauan informasi yang muda sudah lebih luas daripada yang tua

Langkah kedua adalaj tidak menunjukan keluhan yang berlebihan. Sebenarnya, mengeluh tidak masalah, karena sebagai anak muda yang baru keluar dari pelukan orang tua pasti ada keterkejutan dalam menghadapi kejamnya dunia. Tetapi hal itu harus dihindari agar orang tua tidak merasa khawatir.

Pada intinya tergantung dari dirikita dalam menjelaskan kegiatan yang dilakukan terhadap orang tua. Pendekatan terhadap orang tua adalah salah satu cara yang mudah untuk mendapatkan izin dan restu untuk berkesenian. Tidak hanya berkesenian melainkan semua kegiatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image