Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yum Roni Askosendra

Inilah 3 Cara Mendekati Objek Dakwah yang Perlu Dipahami

Agama | Tuesday, 13 Jun 2023, 14:24 WIB
Masjid Istiqlal Jakarta

Berdakwah dalam agama Islam dengan makna luas merupakan salah satu kewajiban yang mesti dijalani individu muslim. Tugas dakwah tidak hanya diemban oleh seorang dai atau pemuka agama Islam. Kita tidak menafikan ada sekelompok kaum muslimin yang mendedikasikan hidupnya untuk berdakwah di jalan Allah. Banyak ayat dan hadits yang menyatakan keutamaan berdakwah dan pelaku dakwah.

Untuk berdakwah, seseorang mesti memahami tahapan dan cara mendekati objek dakwahnya. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayim Al-Jauziyyah yang mengacu pada firman Allah Ta’ala,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Menurut Ibnul Qayim Al-Jauziyyah, dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan tiga urutan dalam menyampaikan dakwah yang disesuaikan dengan kondisi obyek dakwah (audiens).

Pertama, obyek dakwah yang ingin berada di jalur kebenaran, mencintai kebaikan, dan menjalankannya, setelah dia mengerti dan mengetahuinya. Cara pendekatan obyek dakwah dengan kualifikasi seperti ini adalah dengan hikmah, teladan yang baik dan kelembutan, tidak dengan mau'izhah (nasihat) atau jidal (adu argumentasi). Jadi, tugas seorang dai cukup melakukan dakwah dengan perbuatan yang baik agar diikuti oleh masyarakat yang telah memahami sebuah hukum.

Kedua, obyek dakwah yang telah berada di jalur yang salah, tetapi jika dia mengetahui kebenaran, pasti dia mengikutinya dan meninggalkan kesalahannya. Cara mendekati obyek dakwah dengan kualifikasi ini adalah dengan nasihat yang baik, berupa motivasi untuk berbuat baik dan mencegahnya dari perbuatan dosa.

Ketiga, obyek dakwah yang ingkar dan cenderung menyangkal kebenaran. Berdakwah kepadanya harus menggunakan cara ketiga, yaitu adu argumentasi. Namun demikian, tetap harus mengedepankan kesopanan, bukan berbantahan yang lepas kontrol dan berdasarkan hawa nafsu.

Variasi dalam metode dakwah dan ragam pendekatan untuk implementasinya merupakan tuntutan dan keharusan. Nabi Nuh Alaihissalam adalah sosok dai yang memanfaatkan segala cara untuk kesuksesan dakwahnya, sebagaimana tergambar dalam firman Allah Ta’ala,

“Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri. Lalu sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan. Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam,” (QS. Nuh: 5-9).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak segan mendatangi kerumunan kaum Quraisy dan keluar masuk pasar untuk berdakwah dalam mengajak mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Suatu ketika, beliau mengumpulkan penduduk Mekah dan berbicara kepada mereka dari atas bukit Shafa. Di saat yang lain, beliau selalu berusaha untuk menjadikan musim haji sebagai mimbar bebas mendakwahkan Islam. Di saat kaum Quraisy menolak dakwahnya, beliau membidik Thaif sebagai lahan dakwah berikutnya, namun di sana beliau tidak diterima. Ketika semua pihak menolak seruannya, maka beliau berhijrah ke Madinah. Semua ini merupakan varian dakwah dan ragam pendekatan yang harus dilalui oleh seorang dai. Di samping dia harus sabar, tahan banting, dan ulet, dia juga tidak boleh terpaku pada satu cara dan model pendekatan yang tunggal (monotone).

Besarnya misi dakwah dan luasnya medan, mengharuskan adanya skala prioritas. Prioritas pertama materi dakwah adalah tauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah, lalu shalat, kemudian puasa. Intinya, memulai dari yang terpenting dan paling mendesak.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berpesan kepada Mu’adz Radhiyallahu Anhu saat diutus ke Yaman,

“Kamu di sana akan menjumpai Ahli Kitab, maka pertama kali ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala dan aku utusan-Nya. Jika mereka mengikutimu, maka berilah mereka penjelasan bahwa Allah Ta’ala mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka. Jika mereka menurutimu, maka sampaikan kepada mereka, bahwa Allah Ta’ala juga mewajibkan zakat yang diambilkan dari orang-orang yang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin dari golongan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sesungguhnya dakwah yang paling berat adalah mendakwahi diri sendiri. Pertama kali, seseorang harus berkomitmen untuk memaksa dirinya agar selalu taat kepada Allah Ta’ala dan menjauhkannya dari kemaksiatan. Seseorang harus memerangi hawa nafsunya setiap hari, sampai benar-benar dalam kondisi yang lurus dan istiqamah. Setelah itu, dia berdakwah kepada orang-orang yang ada dalam wilayah kekuasaannya, dan orang-orang terdekatnya, seperti istri, anak, pembantu, dan lain sebagainya.

Ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat,” (QS. Asy-Syu’ara: 214), maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam langsung berdiri dan bersabda,

“Wahai Fathimah, putri Muhammad! Wahai Shafiyah, putri Abdul Muthalib! Wahai Bani Abdul Muthalib! Aku tidak mempunyai apa pun untuk menyelamatkan kalian dari siksaan Allah. Tetapi, mintalah harta bendaku sesukamu.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, hendaklah seorang dai menggunakan cara pendekatan dengan lemah lembut, sopan santun dalam bertutur kata, serta wajah yang selalu dihiasi dengan senyum saat berdakwah. Sebab, lemah lembut dalam bertutur kata dapat meredam kemarahan orang yang congkak, dan menundukkan keangkuhan orang yang sombong. Ingat, setinggi apa pun keagungan dan kepandaian para dai, tidak ada yang lebih hebat daripada Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Harun Alaihissalam. Ingat pula, bahwa sejahat dan sesombong apa pun orang yang didakwahi, tidak ada yang seperti Fir’aun yang mengaku tuhan. Meskipun demikian, Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Harun Alaihissalam, untuk berkata dengan lembut saat berdakwah kepada Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 44).

Seorang dai harus selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang salah satu cara menarik objek dakwah,

“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi).

Senyum merupakan kunci hati dan tanda cinta. Senyum merupakan obat mujarab penghilang rasa takut dan penangkal perpecahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang yang menjadi dai adalah seorang yang bijaksana dan sabar menghadapi rintangan. Jika dia tidak bijak dan tidak sabar, maka mudarat yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaatnya.”

Dengan memperhatikan langkah-langkah berdakwah dan objek dakwah serta berdoa kepada Allah, dakwah seseorang akan mudah dilakukan. Adapun hasilnya diserahkan kepada Allah semata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image