Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image yayan andrian

Perbandingan Hukum Multi Akad dalam Transaksi Syariah

Agama | Friday, 09 Jun 2023, 17:54 WIB

Dalam konteks Fikih Muamalah, multi akad merupakan sebuah jalan keluar dalam transaksi bisnis kontemporer untuk menghindari sistem ribawi dan unsur-unsur lain yang bertentangan dengan hukum Islam. Namun, mengesampingkan hal tersebut, terdapat beberapa ulama yang ternyata berpendapat bahwa multi akad adalah suatu transaksi yang diharamkan karena terdapat dalil yang melarang. Lantas, bagaimana hukum asal dari pada multi akad tersebut?

Beralaskan pada permasalahan tersebut, artikel ini secara sederhana akan mencoba mengenalkan multi akad itu sendiri serta menguraikan perbandingan hukum antara para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam multi akad.

Definisi Multi Akad

Berangkat dari kata multi akad, multi akad merupakan terjemahan dari bahasa Arab, yaitu al-'uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda.

Adapun istilah multi akad menurut Nazih Hammad yaitu kesepakatan antara dua belah pihak untuk melaksanakan suatu transaksi yang mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, dan lain sebagainya. Sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkan dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.

(Nazzih Hammad, 2005:7)

Singkatnya, yang dimaksud dengan multi akad yaitu dua akad lebih yang digabungkan dalam satu transaksi.

Perbandingan Hukum Multi Akad

Tidak ada kesepakatan antara para ulama mengenai hukum multi akad. Status hukum multi akad tidak serta merta sama dengan akad yang membangunnya. Hal ini sama halnya dengan hukum akad bai' dan salaf yang secara jelas diharamkan oleh Nabi. Namun, akad tersebut diperbolehkan apabila berdiri sendiri. Jika dilihat dari permasalahan tersebut, artinya, hukum multi akad tidak bisa semata-mata dilihat dari hukum akad yang membangunnya. Bisa jadi akad yang sebelumnya diperbolehkan apabila berdiri, menjadi haram apabila digabungkan dalam suatu transaksi. Seperti yang dikatakan oleh al-Syatiby:

Penelitian terhadap hukum Islam menunjukan bahwa dampak hukum dari kumpulan akad tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri.

Namun, disamping argumen tersebut, terdapat sebuah prinsip hukum dari multi akad adalah boleh dan hukum dari multi akad yang diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya (احاده على المجموع قياس) yang artinya setiap transaksi yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya diperbolehkan. Hal tersebut tentu saja memberikan peluang pada pembuatan jenis transaksi yang mengandung unsur multi akad.

Ketentuan tersebut tentu saja belaku berlaku umum, sedangkan terdapat beberapa hadis Nabi dan nash-nash lain yang mengharamkan transaksi Multi akad.

Ditinjau dari dua hal tersebut, mengakibatkan para ulama tidak memiliki satu suara dalam menentukan hukum transaksi multi akad. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah untuk dilakukan atau dilarang untuk dipraktikkan. Berkaitan hal tersebut, para ulama terbagi menjadi dua; membolehkan dan melarang.

Ulama yang membolehkan Multi Akad

Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada aturan agama kecuali yang disyariatkan.

Hal tersebut senada dengan pendapat Ibn al-Qayyim yang mengatakan bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.

Selain dari pada itu, Mayoritas Mazhab Hanafi, sebagian pendapat mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat bahwa hukum multi akad (hybrid contract) adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.

Lebih lanjut, dalam buku al-‘Uqūd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islāmy Nazih Hammad menuliskan, ”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad (hybrid contract), selama akad-akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri diperbolehkan dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu.

Ulama yang Melarang Multi Akad

Pendapat yang melarang Multi Akad ialah pendapat mayoritas ulama yaitu pendapat dari ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, al-Hidayah), serta pendapat dari ulama mazhab Syafi'i (As-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj). Pendapat tersebut juga merupakan satu versi pendapat dari ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrir al-Kalam fi Masa 'il al-Iltizam) dan juga satu versi riwayat pendapat dari dua pendapat pada mazhab Hanbali (Ibnu Muflih, al- Mubdi).

Pendapat para Ulama tersebut merujuk pada beberapa hadis yang tidak memperbolehkan melakukan dua akad dalam satu transaksi.

Berikut hadis yang melarang transaksi multi akad:

أن النبي صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Artinya: "Nabi Saw. melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi jual beli."

لا يَحِلُّ سلفِ وبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانٍ فِي بَيْعِ

Artinya: "Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, tidak halal pula adanya dua syarat dalam satu jual beli."

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

Artinya: "Nabi Saw. telah melarang dari dua kesepakatan ( akad) dalam satu kesepakatan (akad)."

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat (rajih) yaitu pendapat yang mengatakan bahwa multi akad tidak diperbolehkan untuk dilakukan karena bersandarkan pada dalil atau hadis yang menyatakan hal tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image