Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Kodrat

PPDB dan Pragmatisme Masyarakat Kita

Edukasi | Friday, 09 Jun 2023, 04:19 WIB

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat sekolah menengah selalu gaduh setiap tahunnya. Isu kecurangan dan kurang transparan menjadi tuduhan yang dilayangkan orang tua. Dari sisi sekolah, banyak pihak yang menggunakan power, otoritas, dan relasi guna memengaruhi sekolah untuk menerima peserta didik. Jalur “zonatip” (pelesetan dari “zona titipan”) menjadi celah yang digunakan agar sekolah menerima peserta didik tanpa mempertimbangkan persyaratan umum dan khusus. Tentunya, peserta didik dengan jalur legal dirugikan. Tidak heran, tingginya animo masyarakat untuk masuk di sekolah negeri, dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengeruk uang. Ini menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan.

Menelusuri Akar Masalah

Perubahan strategi PPDB dari sistem passing grade ke sistem afirmasi/zonasi, lebih dikarenakan menyiasati keterbatasan daya tampung sekolah. Jumlah sekolah menengah di Jawa Barat sejak 2020 hingga 2022 stagnan, hanya berubah dari 511 ke 514 sekolah. Sementara, sekolah swasta berjumlah dua kali lipatnya, yaitu 1137 (2020), 1155 (2021) dan 1197 (2022). Di tingkat Kabupaten, sekolah menengah belum seluruhnya merambah di setiap kecamatan, sementara jumlah penduduk Jawa Barat kelompok usia setingkat SMA (15 s.d 19 tahun) mencapai 4.060.896 jiwa (https://bandungbergerak.id/article/detail/15463/jumlah-sma-atau-smk-di-jabar-masih-sangat-kurang). Bila dihitung secara agregat jumlah murid yang tercatat di sekolah menengah baik negeri maupun swasta yang hanya sebanyak 2.106.641 jiwa, maka ada 2 jutaan siswa yang tidak tertampung. Dari sini saja sudah terlacak bahwa akar masalah PPDB berkaitan dengan ketersediaan jumlah sekolah.

Strategi penerimaan siswa menggunakan skema seperti yang terjadi pada PPDB ini pasti akan memunculkan masalah yang berulang, dari mulai “zonatip” hingga jual beli kursi, selain kekecewaan dari orang tua yang tidak diterima. Pola penerimaan PPDB ini hanya digunakan sebagai cara “adil” dalam menyeleksi peserta didik. Cara ini tentunya terbatas disebabkan tidak menyentuh pada akar masalah tadi, yaitu kurangnya sekolah negeri. Bisa dibayangkan, bila sekolah menengah negeri ada di setiap desa, sebagaimana sekolah dasar, tidak ada lagi jenis seleksi yang sekompleks saat ini. Siswa cukup bersedia melanjutkan studi di sekolah menengah. Ia saat itu juga menjadi siswa di sekolah menengah tersebut. Otomatis, tidak akan ada lagi kecurangan. Orang tua tidak perlu lagi titip-menitip, dan berbagai cara agar anaknya diterima di sekolah tujuan.

Masalah besarnya adalah kapan ketersediaan sekolah menengah negeri mencukupi penduduk. Melihat data BPS tiga tahun terakhir, tidak ada lonjakan gedung sekolah baru di Jawa Barat. Seandainya pemerintah pusat atau daerah memprogramkan gedung sekolah baru satu kecamatan satu gedung per-tahun, barangkali lima tahun ke depan, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi dalam PPDB.

Masyarakat perlu diedukasi dengan baik oleh pemerintah dan pendidik berkaitan dengan sekolah bermutu. Sekolah favorit belum tentu bermutu dan juga sebaliknya, sekolah bermutu belum tentu favorit. Mutu dalam dunia pendidikan berkaitan dengan bagaimana sekolah mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi peserta didik dan orang tua siswa. Kepuasaan peserta didik dan orang tua merupakan indikator bermutunya sebuah sekolah. Standar bermutu dapat diletakkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sekolah disebut bermutu saat ia mampu melampaui standar nasional pendidikan.

Sekolah favorit dibentuk oleh tren, gengsi dan persepsi masyarakat terhadap sekolah tersebut. Ukuran ini di luar nilai pendidikan. ironisnya, masyarakat yakin bila anaknya sekolah di tempat favorit, itu menjadi tiket sukses. Tentu saja, sukses yang dimaksud adalah lulus dari sekolah menengah, diterima di program studi universitas ternama, lalu dengan mudah dapat kerja. Mindset masyarakat terhadap pendidikan sesederhana itu. Jadi, industrialisasi pendidikan sudah bersemayam erat dalam benak masyarakat dilihat dari luaran yang diharapkan, yakni dapat bekerja dengan mudah.

Sejatinya, terdapat dua tema besar dalam kebijakan PPDB ini, pertama ketidakmampuan negara menghadirkan jumlah sekolah yang memadai. Kedua, pragmatisme masyarakat terhadap pendidikan dengan terbentuknya konsep sekolah favorit dalam benak mereka. Dua hal ini yang perlu dibenahi.

Solusi Alternatif

Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan, seharusnya tidak ada lagi istilah sekolah favorit. Seluruh sekolah harus memenuhi standar minimal dimana delapan standar pendidikan seperti standar lulusan, standar proses, standar pendidik, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar biaya, standar evaluasi, dan standar isi harus dijalankan oleh pengelola pendidikan. Negara, melalui Badan Akreditasi Nasional (BAN) melakukan audit mutu eksternal untuk menjamin pemenuhan standar tersebut. Sekolah yang tidak menerapkan standar tentunya tidak akan terakreditasi. Dicabut izin operasionalnya. Selain itu, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang menjadi amanah undang-undang sistem pendidikan nasional harus diterapkan dengan melibatkan masyarakat sekitar, komite sekolah dan dewan pendidikan dalam pelaksanaan pendidikan. Masyarakat berperan serta dalam membangun pendidikan di daerah sekitarnya. Jika ini semua dijalankan, mindset sekolah favorit akan hilang. Masyarakat akan menilai sekolah dari aspek bagaimana kultur terhadap mutu dikembangkan. Sekolah bermutu bila seluruh pelaksanaan pendidikan mengacu kepada pemenuhan delapan standar pendidikan, pemberian pelayanan dan apakah layanan pembelajaran berpihak kepada siswa ataukah tidak.

Untuk menghentikan persoalan PPDB yang itu-itu saja, perlu dibuat solusi jangka panjang, terlebih saat ini, kita memasuki tahun politik. Calon pemimpin negeri ini harus memiliki program semacam zaman orde baru lalu dengan dikeluarkannya kebijakan SD Inpres. Kepala negara dan kepala daerah wajib memiliki program semacam SD inpres di tingkat pendidikan menengah. Satu sekolah menengah atas negeri di setiap desa. Dari sini, dapat dihitung pula berapa kebutuhan kepala sekolah dan guru-guru di setiap sekolah baru. Program guru penggerak yang luarannya menghasilkan pemimpin pembelajaran (kepala sekolah dan pengawas sekolah) perlu diintensifkan sehingga negara tidak akan kekurangan stok calon kepala sekolah dan pengawas sekolah. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan mendapatkan prioritas agar guru-guru yang kelak mengajar di unit baru tersebut sudah merupakan guru tersertifikasi.

Solusi jangka panjang ini dapat dikombinasikan dengan solusi alternatif dalam proses PPDB yaitu dengan skema penerimaan siswa baru seperti di perguruan tinggi. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah membentuk konsorsium independen dalam pelaksanaan PPDB, sejenis Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), yang berintegritas dan dipercaya masyarakat. Sekolah tidak perlu disibukkan menjadi panitia PPDB dengan sejumlah pernak-pernik potensi konflik, bahkan krisis kepercayaan. Sekolah menjadi user hasil lembaga tersebut. Masyarakat pun percaya dengan seluruh proses yang dilaksanakan dalam PPDB karena memenuhi rasa keadilan. Bahkan ke depan, sekolah menengah negeri memprioritaskan siswa yang tidak mampu dan slow learner, sebagai konsekuensi ditanggungnya seluruh biaya pendidikan oleh negara. Siswa dari kalangan mampu dan cerdas diarahkan ke sekolah yang dikelola oleh masyarakat.

Para pendidik tidak lagi ada mindset nyaman bahwa siswa baru yang ia didik merupakan siswa cerdas dan baik. Justru tanggung jawab pendidik mengubah para siswa yang tadinya malas, motivasi rendah, dan nakal menjadi siswa yang cinta terhadap ilmu dan baik budi pekertinya. Guru tidak lagi menyalahkan sistem rekrutmen terhadap penurunan kualitas pendidikan. Ia seharusnya berpikir bagaimana meningkatkan mutu pendidikan dengan intake siswa yang seadanya. Disamping, dinas pendidikan melakukan terobosan kebijakan yang dapat mengakselerasi peningkatan mutu pembelajaran dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada guru dan siswa. Solusi ini diharapkan dapat menghentikan siklus masalah dalam PPDB, semoga!.

Denny Kodrat (Pengamat Sosial Pendidikan, Universitas Sebelas April)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image