Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jessica Mercy A.

Dari Ujian Nasional, Zonasi, Menuju Indonesia Emas: Ulasan Sistem Pendidikan Indonesia

Edukasi | 2025-01-11 15:49:29

Dari Ujian Nasional

Gambar 1. Kompetisi (Sumber: pixabay.com/hbieser)

"Setelah berhasil masuk ke sekolah favorit, anak dituntut untuk masuk ke universitas terbaik. Setelah lulus dari universitas, mereka masih harus berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan bergengsi. Tak berhenti di situ, suatu saat kesuksesan anak cucu mereka juga akan menjadi ajang penilaian.”

Ini adalah kutipan artikel pertama yang saya tulis saat masih duduk di bangku SMP. Artikel yang saya buat hanya untuk memenuhi tugas ekstrakurikuler jurnalistik itulah sumber uang pertama yang saya hasilkan dari hasil usaha sendiri. Setelah guru pembimbing ekstrakurikuler membaca tugas saya, beliau merasa tergerak dan secara spontan memberikan apresiasi kecil. Namun, hingga kini apresiasi "kecil" tersebut tidak lepas dari ingatan dan perasaan saya.

Artikel tersebut hanya bentuk kejenuhan saya melihat bagaimana bisa impian orang tua kepada setiap anak tidak jauh berbeda. Menurut orang tua, memilihkan jalan hidup itu dilakukan demi kesuksesan anaknya. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya salah, mengingat orang tua telah hidup dan melihat lebih banyak daripada anak. Namun, ketika anak gagal melalui jalan hidup yang telah diatur tersebut, anak akan dianggap gagal.

Ujian Nasional, itulah yang menjadi momok terbesar yang dirasakan anak sekolah. Pada saat itu, saya bersekolah di salah satu sekolah negeri favorit—bukan hanya favorit, melainkan juga nomor satu di kota. Ya, saya pernah merasakan bagaimana kehidupan bersekolah di bawah tekanan persaingan dan kompetisi tersebut. Lingkungan telah membentuk pola pikir bahwa “sukses" adalah standar yang seragam. Begitulah opini saya, sebelum datangnya sistem zonasi.

Datangnya Sistem Zonasi

Jika sebelumnya sekolah-sekolah favorit dihuni oleh siswa-siswa cerdas dan berprestasi, kini zonasi menghadirkan siswa yang dipilih berdasarkan jarak rumah dengan beragam latar belakang kemampuan. Idealnya, sistem ini bertujuan untuk memberikan peluang yang setara bagi semua siswa.

Berbeda dengan saya yang tidak pernah merasakan sistem zonasi, adik saya yang hanya selisih 1 tahun adalah angkatan pertama yang menggunakan sistem tersebut. Dari situlah saya bisa melihat realita dampak sebelum dan setelah diberlakukannya sistem zonasi. Siswa kelas 12 yang kesulitan menjumlahkan pecahan sederhana dianggap wajar. Bahkan, ada siswa kelas 12 yang akan segera lulus, tetapi tidak tahu apa itu SBMPTN atau SNMPTN.

Pendekatan Baru

Sekolah favorit sejatinya tidak sehebat reputasinya. Reputasinya seringkali lebih disebabkan oleh fakta bahwa anak-anak yang pintar dikumpulkan di satu tempat. Namun, justru dari interaksi dengan teman-teman hebat itulah, di sekolah saya bisa belajar pola pikir kritis, rasa ingin tahu, dan sikap kompetitif dalam belajar. Benarlah, setelah diberlakukannya sistem zonasi, prestasi sekolah saya nyaris tidak terdengar lagi.

Namun, secara tidak sengaja, saya sejurusan dengan salah satu teman se-SD dan se-SMP saya. Padahal, kami dekat dan SMA kami oun beda kota. Secara kebetulan pula, saya sejurusan dengan salah satu kakak tingkat yang juga pernah se-SD dan se-SMP. Padahal, kakak tersebut tidak ingat saya. Lagi, ada satu kakak tingkat lain yang ternyata berasal dari SMP yang sama, walaupun saya tetap tidak merasa familiar. Tidakkah banyaknya kebetulan ini dapat menimbulkan sedikit dugaan bahwa sistem sekolah favorit memang dapat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan studi lanjut.

Dengan sistem penerimaan siswa baru yang tidak lagi memandang kemampuan, melainkan jarak rumah, julukan sekolah favorit sudah lenyap. Saat ini, julukan tersebut lebih sering melekat pada sekolah swasta. Meskipun biayanya mahal, namun demi memastikan lingkungan belajar yang mendukung, para orang tua cenderung memilih sekolah swasta. Akibatnya, banyak sekolah negeri yang kehilangan siswa hingga terpaksa ditutup. Tidak sedikit pula anak-anak yang putus sekolah karena tidak sanggup membayar biaya sekolah di sekolah swasta.

Tujuan penyamarataan pendidikan yang sebelumnya terus digaung-gaungkan, kini menjadi semakin dekat dengan kenyataan. Ya, sekolah favorit yang sebelumnya menghasilkan lulusan dengan peluang studi lanjut besar, sekarang tidak ada bedanya dengan sekolah pinggiran.

Menuju Indonesia Emas

Keadaan inilah yang diwariskan kepada kami generasi kami, generasi yang diharapkan menjadi pilar Indonesia Emas pada 2045. Sistem zonasi mungkin memiliki niat mulia, tetapi penerapannya yang belum matang justru membawa konsekuensi yang mengkhawatirkan. Tidak ada sistem yang sempurna, tetapi saya rasa belum terlambat untuk mengevaluasi ulang sistem zonasi.

Saya tahu bahwa pendidikan formal bukan jaminan kesuksesan. Saya bahkan masih merasa khawatir dengan masa depan saya. Dalam artikel pertama saya ketika masih SMP, saya menunjukkan keinginan menggebu-gebu untuk keluar dari alur yang diharapkan oleh orang tua pada umumnya. Saya ingin mengejar kebebasan dan membuktikan bahwa sukses bisa berasal dari bidang-bidang yang dianggap tidak penting. Namun, dalam perjalanan, semakin banyak saya melihat, semakin banyak keraguan akan mimpi saya yang mungkin ternyata terlalu idealis.

Demikian halnya dengan pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemerataan pendidikan adalah tujuan yang baik, tetapi membutuhkan cara dan waktu yang tepat. Barangkali pemerataan pendidikan seharusnya bukan dimulai dengan menyamaratakan kualifikasi murid yang diterima, melainkan dengan menyamaratakan kualitas guru dan fasilitas di semua sekolah tanpa melemahkan standar dan kualitas sekolah. Saya ingin percaya bahwa kita masih bisa memperbaiki sistem ini, demi Indonesia Emas 2045 yang bukan sekadar slogan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image