Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raihan fakhri Hauzan

Harmonisasi Hukum Positif dan Hukum Islam di Indonesia

Politik | Thursday, 08 Jun 2023, 12:50 WIB

Pada awalnya, hubungan antara hukum positif dan hukum Islam tampak kontradiktif. Namun pada kenyataannya, keduanya dapat membentuk sistem yang saling melengkapi. Hukum positif dan hukum Islam memiliki implikasi yang banyak dan kompleks dalam konteks Indonesia. Pada sebagian masyarakat Indonesia, hukum Islam merupakan sumber utama hukum, sedangkan hukum positif dipandang sebagai penyempurnaan hukum Islam dalam konteks nasional.

Sebagaimana diungkapkan Abdul Ghofur dalam artikelnya “Interaksi Hukum Islam dan Hukum Perdata dalam Konteks Indonesia” (2021), keberadaan hukum positif dan hukum Islam merupakan dua entitas yang berbeda dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia. Pengembangan kedua undang-undang ini diharapkan dapat mendorong terciptanya keadilan yang lebih baik, khususnya dalam konteks sosial dan kemasyarakatan Indonesia.

Artikel Abdurrahman Sahir “Harmonisasi Peradilan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Marrakech” (2017) menemukan bahwa harmonisasi hukum positif dan hukum Islam membutuhkan kerjasama semua pihak, baik organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. . dan partai agama.. Pada prinsipnya, kedua jenis hak ini tidak dapat sepenuhnya bertentangan. Hukum positif dan hukum Islam memiliki landasan yang berbeda, namun tujuan keduanya sama, yaitu. untuk menjamin keadilan dalam masyarakat.

Dalam praktiknya, hukum positif dan hukum Islam sering bertabrakan, terutama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan hak-hak rakyat. Misalnya, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) atau minoritas seksual didiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, kaum LGBT seringkali dikriminalisasi dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara, sementara hukum Islam memandang orientasi seksual ini sebagai dosa dan melarangnya.

Ditulis oleh Profesor DR. HANAFI Asy'ari menyatakan dalam “Kebijakan Syariah dan Peradilan Islam di Indonesia PASCA Rezim Orde Baru” (2013) bahwa konflik antara hukum positif dan hukum Islam seringkali muncul karena ketidaktahuan publik baik dalam masyarakat secara keseluruhan maupun antar individu. . pemerintah Penyelesaian konflik ini memerlukan modus operandi antara hukum positif dan hukum Islam agar kedua jenis hukum tersebut dapat terintegrasi dengan baik. Harmonisasi Hukum Positif dan Hukum Islam dalam Konteks Sosial Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang multikultural dan beragam. Perbedaan budaya, adat istiadat, agama dan bahasa menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk membuat undang-undang. Oleh karena itu, harmonisasi hukum positif dan hukum Islam penting untuk keadilan yang efektif.

Dalam artikel yang dimuat dalam laporan Indonesia Human Rights Monitor 2020, pengacara senior M. Abdul Aziz menekankan pentingnya harmonisasi hukum positif dan hukum Islam untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Menurutnya, harmonisasi kedua undang-undang tersebut akan lebih melindungi hak asasi manusia, terutama terkait dengan perlindungan hukum yang menjamin perlindungan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia.

Menurut pendapat Asmaul Azahrah yang disampaikannya dalam tulisannya “Harmonisasi Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Rangka Pemecahan Masalah Indonesia” (2019), harmonisasi hukum positif dan hukum Islam dapat dilakukan dengan melihat dan memperhatikan kepentingan warga negara. masyarakat secara keseluruhan, tanpa mempertimbangkan konsep hukum yang ada.

Azahrah menambahkan, harmonisasi kedua undang-undang tersebut tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga membuka peluang bagi legislasi Indonesia untuk memperluas kebenaran ke dalam perspektif yang lebih luas dan menginisiasi harmonisasi nilai inti dan konsep dengan nilai-nilai agama.

Pentingnya harmonisasi hukum positif dan hukum Islam

Untuk menyelesaikan masalah Indonesia, khususnya masalah hak asasi manusia, diperlukan harmonisasi hukum positif dan hukum Islam. Harmonisasi juga penting bagi pemerintah untuk menilai kembali kebijakan dan undang-undang. Menurut Zakiyudin Baidhow, harmonisasi hukum positif dan hukum Islam dapat digalakkan dalam artikelnya “Analisis Harmonisasi Hukum Perdata dan Hukum Syariah di Pengadilan Agama untuk Perkara Pengesahan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surabaya)” (2019). menciptakan administrasi peradilan yang lebih baik dan memberikan solusi yang lebih baik untuk berbagai kasus di Indonesia.

Hal ini sejalan dengan pendapat Firmanzah dan Muhibbin Syah dalam Constitutional Theory and Practice (2017) yang menyatakan bahwa harmonisasi hukum positif dan hukum Islam memperkuat kedaulatan negara dan memperluas hak dan kebebasan individu.

Untuk menyelaraskan hukum positif dan hukum Islam, perlu diketahui hukum positif dan hukum Islam sebagai konsep hukum yang terintegrasi dengan baik. Perlindungan hukum yang adil sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan akan lebih mudah dicapai jika kedua undang-undang tersebut diselaraskan.

Kesimpulan

Dalam konteks Indonesia yang heterogen, harmonisasi hukum positif dan hukum Islam menjadi penting untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat secara efektif. Kedua undang-undang ini memiliki implikasi yang kompleks dan harus dilihat secara proporsional dan terintegrasi dengan baik untuk memberikan dampak positif dan kesejahteraan masyarakat.

Solusi harmonisasi hukum positif dan hukum Islam dapat ditemukan dengan menciptakan dialog dan kerjasama yang baik antara semua pihak, baik itu pemerintah, LSM maupun pihak agama. Implementasinya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang hukum positif dan hukum Islam untuk memahami konsep dasar dan posisi terkait dengan berbagai masalah sosial dan kesejahteraan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image