Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image cindy novita anggraini

Guilt and Inferiority, Efek Pelecehan Seksual pada Anak

Eduaksi | Thursday, 08 Jun 2023, 12:02 WIB

Hal tersebut terdengar miris dan amat disayangkan bila terjadi pada siapapun. Namun ternyata, kini kasus terkait kekerasan seksual pada anak justru kian meningkat. Hal ini didukung oleh fakta yang dipaparkan oleh CNN Indonesia (2023) bahwa berdasarkan catatan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kasus kekerasan seksual pada anak pada tahun 2021 mencapai 4.162 kasus dan meningkat menjadi 9.588 kasus. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan hingga 5.426 kasus.

Salah satu kasus pelecehan seksual pada anak yang sempat terjadi dilaporkan melalui situs Kompas.com. Hapsari (2022) mengatakan bahwa terdapat seorang paman yang melakukan pelecehan seksual kepada keponakan perempuannya sejak korban masih berusia 8 tahun. Hal tersebut dilakukan selama lebih dari 10 kali dan hampir setiap hari. Kasus tersebut menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan oleh orang terdekat sekalipun.

Melihat dari sudut pandang teori psikologi perkembangan yang diajukan Oleh Erikson, anak yang berada pada usia tersebut, yakni 3-5 tahun dan 5-13 tahun tengah berada pada tahap Initiative vs Guilt dan Industry vs Inferiority. Miller (2016) mengatakan bahwa ketika anak berada pada tahap Initiative vs Guilt, mereka tengah berada di fase di mana cenderung memiliki konsep terkait contoh yang ideal. Lebih lanjut Miller juga mengatakan bahwa hal ini cukup dipengaruhi significant persons yang berada pada tahap tersebut; keluarga. Pada kasus di atas dapat dilihat bagaimana sang anak mendapat perlakuan keji dari keluarganya sendiri dan akan memengaruhi bagaimana caranya memandang suatu konsep panutan ideal. Saat anak gagal memaksimalkan perkembangannya di tahap ini, mereka akan mengembangkan perasaan guilt atau bersalah pada dirinya (Miller, 2016). Ketika berada pada usia tersebut, rasa bersalah yang hadir ialah ketika muncul pikiran imoral dan fantasi seksual. Papalia et al. (2009) mengatakan bahwa pada tahap ini seharusnya anak dapat melakukan eksplorasi. Apabila hal ini dibatasi, maka mereka akan tumbuh tanpa ambisi. Saat anak mengalami pelecehan seksual, maka hal tersebut tentunya membawa pengalaman tidak menyenangkan dan mengganggu tahap perkembangan.

Berlanjut pada usia 5-13 tahun pada tahap Industry vs Inferiority. Melalui Miller (2016) disebutkan bahwa seseorang akan menjadi dirinya dari apa yang telah ia pelajari sebelumnya. Ketika berhasil memenuhi aspek perkembangan pada tahap ini, anak akan tumbuh dengan memiliki tingkat kepercayaan diri yang baik dan yakin untuk dapat melakukan suatu hal. Namun, berdasarkan kasus di atas, kembali kita ketahui jika pengalaman traumatis tersebut akan menghambat tahap perkembangannya. Maka hal yang dapat terjadi ketika terjadi kegagalan dalam memaksimalkan tahap perkembangan ini ialah anak akan mengembangkan perasaan inferior dan selalu merasa gagal dalam setiap hal (Miller, 2016).

Jika melihat bagaimana pada tahap Industry vs Inferiority, maka hal ini juga akan memengaruhi diri sang anak karena pengalaman yang dipelajari sebelumnya. Selain perasaan inferior, kemungkinan untuk menjadi pelaku juga dapat terjadi. Salah satu temuan ini dilaporkan oleh Ferdiansyah (2023) yakni terdapat seorang guru yang melakukan pelecehan terhadap belasan muridnya dan mengaku pernah juga diperlakukan serupa sewaktu kecil. Konsep ataupun peristiwa yang pernah dialaminya membuatnya belajar sehingga ditambah faktor lain pun membuatnya melakukan hal yang sama.

Hal-hal di atas menunjukkan bagaimana pelecehan seksual pada anak dapat memberi efek bagi tahap perkembangannya. Bahkan, sebenarnya dampak ini dapat lebih luas dan kompleks dari apa yang tampak dari permukaan saja. Oleh karena itu, peran orang tua untuk dapat mengawasi lingkungan anak memiliki pengaruh yang cukup besar. Selain mengarahkan tahap perkembangan anak, namun orang tua juga dapat mengantisipasi kasus-kasus di atas terjadi pada buah hati.

Referensi

CNN Indonesia. (2023, Januari 28). KemenPPPA: RI darurat kekerasan seksual anak, 9.588 kasus selama 2022. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230127173509-20-905780/kemenpppa-ri-darurat-kekerasan-seksual-anak-9588-kasus-selama-2022

Hapsari M. A. (2022, Mei 24). Paman di Cengkareng perkosa ponakan berulang kali sejak korban berusia 8. Megapolitas Kompas. https://megapolitan.kompas.com/read/2022/05/24/19142761/paman-di-cengkareng-perkosa-ponakan-berulang-kali-sejak-korban-berusia-8

Ferdiansya, F. (2023, Juni 1). Guru lecehkan belasan siswa laki-laki, ngaku pernah jadi korban pelecehan. News Okezone. https://news.okezone.com/read/2023/06/01/525/2823766/guru-lecehkan-belasan-siswa-laki-laki-ngaku-pernah-jadi-korban-pelecehan

Miller, P. H. (2016). Theories of developmental psychology. Worth Publishers.

Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldman R. D. (2009). Human development (11th Ed.). Mc-Graw Hill

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image