Kasus Penipuan Koperasi Indosurya Dilihat dari Sudut Pandang Hukum
Eduaksi | 2023-06-06 17:30:05Kasus koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya kembali menyedot perhatian publik. Terlebih, setelah para tersangka divonis bebas. Padahal, kasus ini menjadi kasus penipuan terbesar yang rugikan nasabah hingga Rp 106 triliun. Kasus Indosurya dimulai sejak laporan pertama ke Bareskrim Polri pada tahun 2020. Saat itu, Henry Surya yang merupakan pemilik KSP Indosurya langsung diamankan oleh Bareskrim Polri. Dalam keterangan korban, pada 24 februari, beberapa nasabah menerima surat dari koperasi Indosurya bahwa uang di depositonya tidak bisa dicairkan. Indosurya berdalih uang itu hanya bisa diambil 6 bulan sampai 4 tahun tergantung nominal asset under management.
Selanjutnya, pada 7 Maret, para nasabah mengaku menerima pemberitahuan via whatsapp bahwa mereka bisa menarik tabungan mereka mulai 9 Maret dengan batas pengembalian Rp 1 juta per nasabah. Pada 12 Maret pun, nasabah diundang untuk bertemu dengan pihak ISP. Pada pertemuan tersebut nasabah diminta memilih opsi pembayaran yang diinginkan. Akibat hal ini, isu Indosurya sempat mereda. Baru pada Juni 2021, isu KSP Indosurya kembali menyeruak. Bahkan, DPR RI sempat memanggil pihak Kementerian Koperasi atas kasus ini. Dari sini terungkap, ternyata KSP Indosurya telah gagal bayar hingga masuk dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Selanjutnya kasus indosurya dibawa ke persidangan pidana pertama kasus koperasi bermasalah ini pun mulai digelar pada September 2022. Kasus Indosurya disebut sebagai kasus pemungutan dana ilegal dari masyarakat terbesar di Indonesia. Total dana yang dikumpulkan ditaksir mencapai Rp 106 triliun dari 23.000 korban.namun terdakwa Henry Surya tersebut terbukti melakukan perbuatan tindak pidana, melainkan perkara perdata.
Henry Surya pun diminta untuk segera dikeluarkan dari Rutan Salemba Cabang Kejagung setelah sidang tersebut. Padahal, sebelumnya ia dituntut 20 tahun bui dan denda Rp 200 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam persidangan sebelumnya.
Dilihat dari sudut pandang hukum :
Awalnya masalah ini masuk ke ranah perdata. Kemudian ketika Indosurya gagal bayar, maka diajukan kepailitan dan pihak Indosurya menjawab dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sehingga kasus ini dapat diperkaran dengan legal standing, sebagai berikut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut pihak debitor dan kreditor diberi kesempatan untuk melakukan musyawarah tata cara pembayaran utang, yang mana pihak debitor memberikan rencana pembayran seluruh atau sebagian utangnya.
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena adanya perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undan yang dapat ditagih di muka pengadilan. Adapun dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan definisi bahwa Kreditor adalah baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis maupun Kreditor Preferen, khusus Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Pada dasarnya, peraturan tentang kepailitan memiliki maksud dan tujuan untuk menghindari terjadinya perebutan atas harta kekayaan Debitor yang dilakukan oleh para Kreditornya. Pada hakikatnya, hukum harus dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat. Demikian juga halnya Hukum Kepailitan, harus dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, Kreditor, dan Debitor secara adil. Undang-Undang Kepailitan tidak hanya memberikan perlindungan hukum kepada Kreditor, tetapi juga kepada masyarakat umum.
Penulis: Ni’mah Rizki Hayati, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.