Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faiha Yasmine

Kontroversi Atlet Wanita Transgender dalam Kompetisi Olahraga, Bagaimana Semestinya?

Olahraga | Monday, 05 Jun 2023, 17:05 WIB
Image by rawpixel.com on Freepik " />
Image by rawpixel.com on Freepik

Saat ini dunia olahraga, menghadapi tantangan bagaimana melibatkan orang-orang transgender dalam kompetisi olahraga. Kesetaraan kompetitif dan keadilan dalam kompetisi atletik adalah topik yang kompleks dan kontroversial yang selalu membayangi dunia olahraga. Atlet transgender khususnya, telah terperangkap di tengah-tengah perdebatan dan telah menimbulkan banyak kontroversi di antara para pesaing di seluruh dunia.

Beberapa contoh atlet transgender wanita yang mengikuti ajang kompetisi olahraga putri, seperti Laurel Hubbard, atlet angkat besi asal Selandia Baru yang mencatat sejarah sebagai transgender pertama yang berkompetisi di ajang Olimpiade Tokyo 2021. Kanada Quiin seorang pesepak bola transgender yang memenangkan medali emas di Olimpiade Tokyo 2021. Lia Thomas, seorang atlet renang transgender asal Amerika Serikat yang berhasil memenangkan gelar NCAA (National Collegiate Athletic Association) setelah memenangkan renang gaya bebas putri sejauh 500 yard (±400 meter) di Atlanta.

Jika dilihat dari fisiologis manusia antara pria dan wanita, hal ini tentunya berbeda. Dalam olahraga yang memerlukan ketahanan, peran hemoglobin sangatlah penting. Hemoglobin adalah protein yang dibawa oleh sel darah merah yang bertanggung jawab untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Jika hemoglobin rendah, atau volume sel darah merah yang dibandingkan dengan volume darah total (HCT) rendah, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan. Kurangnya oksigen dalam jaringan akan berefek langsung pada kinerja daya tahan.

Nilai hemoglobin berbeda antara pria dan wanita, dengan nilai 'normal' berkisar antara 131–179 g/L untuk pria dan 117–155 g/L untuk wanita. Nilai HCT juga lebih tinggi pada pria (42%-52%) daripada wanita (37%-47%). Hormon testosteron memiliki efek menghasilkan peningkatan HCT dan hemoglobin. Pada transpuan yang melakukan terapi hormon, kadar hormon testosterone menurun secara signifikan, hal ini memungkinkan mereka mengalami pengurangan HCT dan hemoglobin, namun hal ini masih belum bisa dipastikan kebenarannya.

Sedangkan, dalam olahraga yang menuntut kecepatan dan kekuatan, kekuatan otot dan kemampuan untuk menghasilkan tingkat kekuatan yang tinggi diyakini sebagai penentu utama dalam keberhasilan atletik. Pada laki-laki cisgender, peningkatan testosteron karena pubertas meningkatkan kekuatan otot, yang dalam kaitannya dengan peningkatan luas penampang otot dan peningkatan massa otot tanpa lemak. Telah diteliti, bahwa otot dapat mempertahankan memori jangka panjang yang memungkinkannya melakukan tugas-tugas yang telah dilakukan berkali-kali sebelumnya. Memori otot, mengacu pada kemampuan otak untuk menyimpan informasi keterampilan motorik, yang memungkinkan seseorang untuk melakukan gerakan dengan lebih baik dan dengan sedikit usaha dari waktu ke waktu. Ini berarti bahwa dengan gerakan berulang, otak menyimpan informasi dan beradaptasi dengannya, menghasilkan adaptasi saraf, peningkatan kekuatan, dan kekuatan.

Selain itu, retensi myonuclei (Badan inti dari serat otot) juga memainkan peran penting dalam memori otot. Jumlah myonuclei meningkat dengan pelatihan dan dengan penggunaan steroid anabolik. Namun, pengurangan olahraga tidak mengurangi jumlah myonuclei dan telah dihipotesiskan bahwa penghentian steroid juga tidak dapat menyebabkan pengurangan jumlah myonuclei. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa keuntungan kekuatan yang diperoleh ketika melakukan banyak latihan otot di lingkungan testosteron tinggi mungkin tidak sepenuhnya dapat dibalik oleh penekanan testosteron. Sehingga pada atlet transpuan memiliki memori otot dan jumlah myonuclei yang lebih banyak daripada atlet wanita cisgender.

Dalam penelitian terbaru yang dibahas di British Journal of Sport Medicine pada Agustus 2021, didapatkan bahwa:

 

  1. Terapi hormon pada transpuan menurunkan luas penampang otot, massa tubuh tanpa lemak, kekuatan dan kadar hemoglobin, dengan perbedaan yang dicatat dalam perjalanan waktu perubahan.
  2. Tingkat hemoglobin transpuan menurun setelah 4 bulan terapi hormon. Sebaliknya, meskipun ada penurunan yang signifikan pada area penampang otot, massa tubuh tanpa lemak dan kekuatan setelah 12-36 bulan terapi hormon, nilai tetap lebih tinggi daripada pada wanita.
  3. Ada kemungkinan bahwa transpuan yang bersaing dalam olahraga dapat mempertahankan keunggulan kekuatannya dibandingkan wanita cisgender, bahkan setelah 3 tahun terapi hormon.

Pada tahun 2021, World Athletics mensyaratkan bahwa atlet transgender dan atlet dengan perbedaan perkembangan seksual harus memiliki kadar testosteron ≤5 nmol/L agar memenuhi syarat untuk kategori wanita. Peraturan berbasis testosteron ini dan sebelumnya mendapatkan kritikan keras. Terdapat banyak perbedaan terkait kinerja yang dapat diukur antara atlet pria dan wanita. Sebaliknya, perbedaan terkait kinerja antara transpuan yang telah menerima pengobatan hormon penegasan gender (GAHT) dan wanita cisgender kurang jelas. Sampai saat ini, belum ada studi prospektif yang menyelidiki perubahan kinerja atletik pada atlet transgender setelah transisi hormonal.

Pada tanggal 20 Juni 2022, Federasi Renang Internasional (FINA) mengeluarkan kebijakan baru yang akan membatasi sebagian besar atlet transgender untuk bersaing dalam kompetisi olahraga air dalam kategori wanita. Dalam kebijakan itu mengatakan bahwa atlet transpuan hanya diizinkan untuk mengikuti kompetisi dalam kategori wanita di kompetisi FINA jika mereka melakukan transisi sebelum usia 12, atau sebelum mereka mencapai tahap dua pada Skala Tanner pubertas.

Dari beberapa informasi yang telah disampaikan di atas, opini saya sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga adalah memang terlihat tidak adil bila atlet transpuan yang mengubah kelaminnya menjadi wanita setelah pubertas kedua tetap diizinkan untuk mengikuti perlombaan kategori putri. Hal ini dikarenakan perubahan-perubahan yang terjadi pada pubertas, sudah mengubah fisiologi tubuhnya menjadi seorang laki-laki dewasa. Jika dibandingkan dengan wanita cisgender tentunya mereka memiliki banyak keuntungan. Penggunaan terapi hormon yang dilakukan oleh atlet transpuan belum terbukti mengubah kekuatan tubuhnya seperti atlet wanita cisgender. Perlu banyak penelitian dan inovasi lebih lanjut yang dapat digunakan untuk menyetarakan atlet transpuan dan atlet wanita cisgender.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image