Pelecehan Seksual Bukanlah Suatu Hal untuk Dinormalisasikan
Edukasi | 2023-06-04 20:27:26Berbicara mengenai pelecehan seksual sering kali dinormalisasikan yang seharusnya menjadi masalah serius sekaligus mengkhawatirkan. Menurut Majalah Inggris The Economist, Indonesia menduduki peringkat ke 32 dari 40 negara yang menangani pelecehan anak, artinya Indonesia termasuk negara yang kurang dalam memperhatikan dan menangani kasus pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual melibatkan eksploitasi, intimidasi, atau pemaksaan seksual terhadap individu tanpa persetujuan. Pelecehan seksual melanggar hak-hak individu untuk privasi, keamanan, dan integritas fisik serta emosional. Selain itu, pelecehan seksual dapat merugikan korban secara fisik, emosional, dan psikologis, serta meninggalkan bekas yang mendalam dalam kehidupan mereka.
Banyak dari korban pelecehan seksual yang enggan untuk melaporkan kasusnya karena merasa takut bahwa dirinya tidak akan mendapatkan dukungan dan seringkali merasa malu terkait stigma sosial. Pelecehan seksual dapat terjadi tanpa memandang usia baik dewasa maupun anak-anak usia dini. Anak-anak dan remaja rentan terhadap korban pelecehan seksual di dalam lingkungan pendidikan. Perlakuan pelecehan seksual bisa didapatkan dari teman sebaya atau bahkan guru.
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sebanyak 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan, baik yang berasrama maupun tidak. Jumlah korban yang ditemukan FSGI ada 86 anak. Data tersebut didapat sejak Januari sampai 18 Februari 2023. Berbagai macam bentuk perlakuan pelecehan seksual yang terjadi pada anak usia dini, salah satunya adalah sentuhan fisik yang tidak pantas. Sentuhan fisik yang tidak pantas meliputi memegang, meraba, mencolek, atau meremas bagian-bagian tubuh anak yang tidak pantas. Pada anak usia dini, intensitas untuk bermain merupakan bagian normal dari perkembangan anak baik dalam pemahaman dunia sekitar maupun keterampilan kognitif dan motorik. Namun perlu diperhatikan ketika anak tersebut bermain dapat memberikan situasi yang tidak aman dan memberikan risiko terhadap pelecehan seksual meningkat.
Dalam era digital, media sosial dinilai sebagai platform yang paling berpengaruh terhadap kasus pelecehan seksual pada anak usia dini. Salah satu platform yang saat ini mudah dijangkau oleh semua kalangan termasuk anak-anak yaitu Tiktok. Secara psikologis, anak usia dini memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dimana hal tersebut normal dalam perkembangannya. Akan tetapi, Tiktok seringkali menjadi wadah di mana konten pornografi, gambar dan video yang tidak senonoh. Anak-anak yang tidak memiliki pemahaman yang cukup dapat rentan terhadap dampak negative dari eksposur tersebut. Penting bagi orang tua maupun guru dalam mengawasi dan membatasi akses anak terhadap konten yang tidak pantas di media sosial.
Sebagai bentuk upaya preventif, kami dari mahasiswa Universitas Airlangga telah melakukan sebuah project pengabdian masyarakat dengan tema edukasi pendidikan seks untuk anak usia dini. Project kali ini dilaksanakan di TPQ Darussalam dengan sasaran anak yang berusia 7-11 tahun termasuk laki-laki dan perempuan. Dalam project tersebut kami mengajarkan anak anak untuk mengenal pendidikan seks dengan metode lagu. Lagu yang kami berikan adalah lagu sentuhan. Alasan kami memilih lagu tersebut agar anak-anak dapat mengenali bagian anggota tubuhnya yang boleh disentuh dan tidak oleh orang lain. Kami juga memberikan pre-test dan post-test untuk mengukur pengetahuan anak-anak mengenai seputar pendidikan seks. Hasil dari pre-test dan post-test menunjukkan bahwa ada sebagian anak yang sudah memahami terkait dengan pendidikan seks. Harapan kami dengan adanya project tersebut anak-anak lebih aware terhadap dirinya dari risiko pelecehan seksual. Selain itu, harapannya pemerintah juga dapat lebih memperhatikan terhadap kasus pelecehan seksual dan memberikan keadilan kepada mereka yang sudah menjadi korban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.