Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kharisma Putri

Berawal dari Pola Asuh, Banyak Anak Muda Enggan Menikah Muda Penyebabnya Apasih?

Eduaksi | Saturday, 03 Jun 2023, 18:52 WIB

Menikah merupakan kebutuhan dasar manusia. Di dalam pernikahan terkandung pemenuhan terhadap aspek seksual, cinta dan kasih sayang (Santrock, 2002). Jika kebutuhan dasar terpenuhi manusia akan mencapai hidup yang bermakna dan ia akan lebih mudah memenuhi kebutuhan tambahan lainnya. Tapi apa kalian tahu, tidak sedikit orang menunda untuk menikah terutama bagi anak muda, jika ditelaah alasan utama mereka menunda untuk menikah itu, apa? Pada beberapa kasus terhadap keinginan di kalangan pemuda untuk menunda atau bahkan mengabaikan pernikahan, mereka mengeluh tentang belum siapnya bekal dan materi. Tetapi ada juga karena kecenderungan hidup melajang (R. Rachmy, 2018). Seperti yang dilansir dari sarana komunikasi online CNN Indonesia, survey yang dilakukan oleh Populix mengenai alasan mengapa Gen Z dan Milenial memilih untuk menunda pernikahan mereka, dibuktikan bahwa ada 57 persen gen Z juga milenial yang menunda pernikahan dan alasan utama mereka karena ingin focus untuk berkarir. Sedangkan menurut laporan Badan Pusat Statistik (Nada, 2023) melalui laporannya pada tahun 2021, presentase pemuda yang berstatus belum kawin meningkat selama supuluh tahun terakhir, 37,69 persen pemuda yang telah menikah dan sebanyak 61,09 persen tercatat berstatus belum menikah.

Apakah kamu tahu bahwa pemikiran mengenai keinginan untuk tidak menikah, hal ini mungkin saja karena pola asuh yang kamu dapatkan pada saat kecil. Menurut Petranto (Suarsini, 2013) pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pada tokoh psikologi yaitu John Bowlby dengan teorinya mengenai attachment. Kemelekatan didefinisikan sebagai "keterikatan manusia di antara psikologis abadi" (Bowlby, 1969, P. 194), dan dapat dianggap dapat dipertukarkan dengan konsep seperti "ikatan kasih sayang" dan "ikatan emosional." (Cherry, Kendra. 2010) Juga menegaskan attachment style adalah keterikatan yang bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada orang tua. Dengan kata lain attachment merupakan pentingnya ikatan antara orangtua dan anak-anak, memenuhi kebutuhan basis yang aman, merasa terikat, dan memiliki realisasi.

Ada 4 jenis pola attachment yang dimiliki seseorang:

- Secure attachment, seseorang dengan secure attachment menunjukkan gaya hubungan yang konsisten, saling bergantung, dan percaya diri dalam suatu hubungan.

- Anxious Preoccupied Attachment, menggambarkan individu yang merasa tidak aman dan cemas dalam hubungannya dengan orang lain. Individu yang sibuk mungkin memiliki kebutuhan yang sangat kuat untuk menjadi bagian, menyesuaikan diri, atau merasa diterima.

- Dismissive Avoidant Attachment, Mereka lebih suka menghindari hubungan dekat dan keintiman dengan orang lain untuk mempertahankan rasa kemandirian dan kekebalan. Ini berarti mereka bergumul dengan keintiman dan menghargai otonomi dan kemandirian

- Fearful Avoidant Attachment, seseorang yang sangat membutuhkan kedekatan dan dukungan. Tetapi , mereka juga takut dan merasa perlu menjauhkan diri dari orang lain pada saat yang bersamaan(Junichi Takahashi, 2013).

Penelitian Hazan dan Shaver (1987) adalah salah satu studi yang menggali hubungan antara avoidant attachment dan ketidakkeinginan untuk berkomitmen dalam pernikahan. Studi ini berfokus pada pola keterikatan pada hubungan romantis dan bagaimana pola tersebut dapat mempengaruhi sikap terhadap pernikahan. Survei tersebut mencakup pertanyaan tentang pola keterikatan pada masa kanak-kanak, sikap terhadap hubungan romantis, dan pandangan terhadap pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara avoidant attachment dan ketidakkeinginan untuk berkomitmen dalam pernikahan. Individu dengan pola avoidant attachment cenderung menunjukkan sikap yang lebih negatif terhadap pernikahan, seperti merasa tidak nyaman dengan intimasi emosional, takut terhadap ketergantungan, atau menghindari keterikatan yang mendalam. Mereka juga cenderung memiliki pandangan yang lebih skeptis terhadap kemampuan pernikahan untuk memberikan kebahagiaan dan kepuasan. Penelitian ini memberikan bukti bahwa pola keterikatan menghindar dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap pernikahan. Individu dengan avoidant attachment mungkin lebih rentan terhadap ketidakkeinginan untuk berkomitmen dalam pernikahan karena mereka cenderung menghindari keterikatan emosional yang mendalam dan lebih memilih independensi.

Seseorang yang memiliki pola avoidant attachment cenderung memiliki ketakutan terhadap ketergantungan pada orang lain. Mereka mungkin takut menjadi terlalu bergantung pada pasangan dalam pernikahan dan kehilangan kemandirian atau kontrol atas hidup mereka sendiri. Mereka lebih memilih untuk menjaga jarak emosional sebagai cara untuk menjaga kemandirian dan menghindari rasa terjebak dalam hubungan yang erat (Jeffry A. Simpson, 2015). Menurut (Shorey, Hal, 2015) Individu dengan pola keterikatan menghindar mungkin merasa tidak nyaman atau tidak terampil dalam mengungkapkan emosi mereka atau menghadapi emosi orang lain. Mereka cenderung menghindari situasi yang memerlukan pengungkapan emosi yang mendalam dan lebih suka menjaga kontrol emosional mereka. Dalam konteks pernikahan, di mana emosi dan keterlibatan emosional sering kali terlibat secara intens, individu dengan avoidant attachment mungkin merasa tidak siap atau tidak nyaman dalam menghadapinya. Pola asuh yang dihadapi saat kecil, seperti kedua orang tua yang sibuk bekerja dan kurang memberikan perhatian atau keterlibatan emosional, dapat membentuk pandangan dan sikap seseorang terhadap pernikahan. Pengalaman tersebut mungkin mengakibatkan seseorang terbiasa dengan kesendirian, merasa nyaman dengan independensi, dan mengembangkan ketidakpercayaan terhadap hubungan yang mendalam. Polanya, individu dengan avoidant attachment cenderung merasa tidak nyaman dengan intimasi emosional, takut terhadap ketergantungan, dan memiliki kerentanan terhadap penolakan atau kekecewaan dalam hubungan. Hal ini dapat menyebabkan mereka enggan untuk menikah karena mereka menghindari keterikatan emosional yang mendalam, lebih memilih independensi, dan melindungi diri dari kemungkinan sakit hati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image