Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dita Cahyani Haryanti Budiningrum

Kekerasan Hewan Makin Melonjak: Perlunya Kesadaran terhadap Kesejahteraan Hewan

Eduaksi | 2023-06-03 00:21:05
Sumber Foto: https://www.freepik.com/free-photo/

Sejatinya, semua yang telah diciptakan oleh Tuhan itu memiliki alasan untuk lahir di dunia. Bukankah pernyataan tersebut terlalu konkret untuk membuktikan bahwa hewan juga makhluk yang mempunyai hak perlindungan dan hak hidup sama dengan manusia?

Akhir-akhir ini, berbagai macam perlakuan tidak wajar oknum tindak kekerasan hewan sudah sering kita dengar. Kasus kekerasan hewan, tindakan tidak menyenangkan kepada hewan, dan perilaku biadab manusia lainnya yang tidak mencerminkan pengimplementasian animal welfare turut mewarnai jagat maya publik. Pun itu tidak semua yang ‘terlihat’ di media sosial maupun elektronik, bisa saja di luar sana lebih parah adanya dari perkiraan kita. Tindakan kekerasan terhadap hewan memiliki banyak definisi. Namun, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku tersebut merupakan tindakan sengaja yang menimbulkan rasa tidak nyaman, sakit, terancam, dan menderita pada hewan. Humane Society of the United States mendefinisikan kekejaman terhadap satwa secara umum dan sederhana menjadi: “Serangkaian perilaku menyakiti satwa, dari penelantaran hingga pembunuhan sadis.” Melansir dari laporan Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) 2021 yang diterbitkan oleh Asia for Animals Coalition (AFA), dalam kurun waktu 13 bulan, ditemukan setidaknya 5480 video di platform media sosial yang menampilkan kekejaman terhadap satwa. Indonesia sendiri menjadi peringkat pertama dalam urutan lokasi tempat konten video kekejaman terhadap satwa total sebanyak 1626 tempat.

Konten Kekerasan Hewan yang Terus Bertambah

Jika menelisik lebih lanjut, makin bertambahnya konten video kekerasan hewan di media sosial memang nyata adanya. Baru-baru ini, hangat diperbincangkan di platform Twitter dengan nama akun @OpikHanapi4 terkait perlakuan biadab seorang tiktokers asal China yang tega memblender kucing hidup-hidup. Perlakuan sadis tersebut tentu saja mengundang emosi para warganet yang menanggapi video viral tersebut. Beralih ke negara kita sendiri, pada April lalu, sebuah video viral menampilkan seorang pria yang mementung kucing peliharaannya sendiri berkali-kali. Penyebabnya adalah pelaku jengkel dengan kucing peliharaannya yang sering buang air besar sembarangan. Meski keduanya sudah ditangani oleh pihak berwenang, namun kedua tragedi tersebut sudah cukup membuktikan bahwa konten kekerasan hewan akan terus bertambah jika terus dibiarkan tanpa ada kesadaran lebih pada setiap individu itu sendiri.

Konten Kekerasan Hewan yang Tidak Disadari

Selain konten video yang secara eksplisit menampilkan tindak kekerasan, terdapat beberapa kategori kekejaman terhadap hewan lainnya. Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun yang dilakukan oleh anggota SMACC, dikelompokkan dari seluruh konten kekejaman secara luas dalam empat kategori. Kategori pertama yakni kekejaman yang jelas dan disengaja. Dengan contoh kasus seperti melukai hwan hidup. Kategori kedua, kekejaman yang ambigu dan disengaja, dengan kasus penampilan satwa atau satwa liar sebagai hiburan. Kemudian kategori selanjutnya yaitu kekejaman yang jelas dan tidak disengaja, dengan contoh kasus membuat seekor monyet tersenyum yang mungkin hal tersebut merupakan misinterpretasi dari perilaku ketakutan atau stres. Kategori terakhir, kekejaman yang ambigu dan tidak disengaja dengan contoh kasus memelihara satwa liar sebagai satwa peliharaan.

Mengingat kembali jejak terkait pro dan kontra warganet tempo lalu yang berdebat terkait viralnya seorang influencer yang memelihara sejumlah satwa liar di kediamannya, membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kurang teredukasi terkait kesejahteraan hewan. Satwa liar yang seharusnya diberi rehabilitasi agar bisa beradaptasi di habitat aslinya, hutan, malah dibiarkan tinggal di rumah manusia. Tentu saja memelihara satwa liar yang jelas dilindungi keberadaannya itu termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap hewan.

Belum lagi, beberapa kalangan penikmat video di platform Youtube yang masih saja menonton pertunjukan aksi kekerasan terhadap hewan, misal pertunjukan topeng monyet, dengan dalih mencari hiburan. Mereka tidak menyadari bahwa di balik lucu dan kocaknya penampilan monyet tersebut, ada makhluk hidup yang tengah dikurung kebebasannya.

Hewan Juga Makhluk Hidup

Setiap hewan memiliki lima hak asasi yang tertuang dalam konsep kesejahteraan hewan atau animal welfare, yakni bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan tertekan; serta bebas mengekspresikan tingkah laku yang normal dan alami.

Hak dasar hewan tersebut sudah dideklarasikan pada 1978 di Kantor Pusat UNESCO, Paris, Prancis. Di Indonesia, konsep hak asasi hewan juga diatur dalam UU No 18/2019 yang diamandemen menjadi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada UU ini pula terdapat pasal yang mengatur terkait Tindakan manusia terhadap hewan (Pasal 66A) dan pidananya (Pasal 91B). Turunan UU ini juga dikuatkan dengan PP No 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Kemudian UU terbaru yang disahkan pada bulan Desember 2022, yakni UU No 1/2023 tentang KUHP juga memiliki pasal 336-338 yang mengatur tentang hewan, khususnya penganiayaan hewan.

Hidup berdampingan dengan makhluk Tuhan yang lain, sudah selayaknya manusia, sebagai makhluk yang mendapatkan takdir ‘makhluk paling sempurna’ ini membuktikan bahwa takdir tersebut bukanlah hanya predikat semata. Empati, rasa hormat, dan saling mengasihi tidak hanya dilakukan sesama manusia saja, tetapi juga untuk makhluk lainnya. Pelan tapi pasti, pola pikir terhadap hewan yang dijadikan media pelampisasan dan hiburan harus dilenyapkan demi mewujudkan kesejahteraan hewan ke depannya. Hewan memang tidak bisa berbicara dengan bahasa kita, namun mereka dapat merasakan penderitaan dan kesakitan bila diperlakukan secara tidak beradab. Berhenti melakukan tindak kekerasan terhadap hewan, mereka juga makhluk hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image