Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazwa Meiliza

Menjadi Mahasiswa Bahagia: Korelasi Sifat Qanaah dalam Islam dan Filsafat Stoa Marcus Aurelius

Edukasi | 2023-06-02 21:57:54

Kebahagiaan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan kesenangan, ketentraman hidup secara lahir dan batin yang maknanya adalah untuk meningkatkan visi diri (KBBI). Akan tetapi, setiap manusia memiliki persepsinya masing-masing mengenai definisi kebahagiaan. Ada yang bahagia dengan memiliki barang branded, ada pula yang bahagia karena dapat menikmati sesuap nasi. Namun, kadang kala kita sebagai manusia menginginkan yang lebih, bahkan merasa tidak tenang apabila hal yang kita inginkan hanya menjadi ekspektasi saja.

Pada masa saat ini, dengan segala macam hal kompleks di dalamnya, semakin banyak pula hal-hal yang membuat kita khawatir akan hidup. Rasa khawatir itu berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi atau hal-hal yang telah terjadi tetapi tidak sesuai ekspektasi. Pikiran-pikiran negatif tersebut dapat menjadi faktor pendorong munculnya rasa tidak bahagia dalam hidup kita. Pikiran-pikiran negatif bisa menjadi momok bagi siapa saja. Terlebih ketika menjadi mahasiswa, kita mengalami masa transisi dari usia remaja menuju dewasa. Di mana pada tahap itu, mulai muncul pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masa depan.

Di dunia perkuliahan, masalah yang berkaitan dengan akademik rasanya sudah menjadi hal yang lumrah, misalnya nilai tidak sesuai ekspektasi ketika sudah berusaha maksimal dan juga berdoa. Permasalahan-permasalahan yang hadir saat menjadi mahasiswa sebenarnya dapat kita atasi dengan menerapkan sifat qanaah dan sifat stoic dalam diri. Istilah “Qana’ah" dari segi bahasa berarti ‘cukup’ dan ‘merasa puas dengan setiap sesuatu yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT dan tunduk serta akur dengan karunia-Nya’. Menurut Muhammad Ali Al-Tirmizi, sikap Qanaah ini berupa jiwa yang rela terhadap pemberian rezeki yang telah ditentukan-Nya. Kemudian menurut Abu Abdillah bin Khafif, Qanaah adalah perbuatan meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan merasa cukup dengan sesuatu yang telah ada. Menurut Buya Hamka, qana'ah mengandung lima perkara, yaitu:

1. Menerima dengan rela akan apa yang ada.

2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha.

3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.

4. Bertawakal kepada Tuhan.

5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Di sisi lain, stoic atau stoisisme merupakan paham atau cara berpikir tertentu yang dimulai sejak 300 tahun sebelum Masehi. Menurut stoic, cara untuk bahagia adalah dengan melakukan kebajikan. Pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana mengetahui bahwa suatu hal adalah baik?” Dengan belajar, jika ingin mengetahui sesuatu itu baik atau buruk, kita harus mengetahui ilmunya. Ada empat kebajikan utama menurut Stoisisme:

 

  1. Kebijaksanaan (wisdom)

Kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam situasi apapun.

 

  1. Keadilan (justice)

Memperlakukan orang lain dengan baik dan jujur.

 

  1. Keberanian (courage)

Keberanian untuk berbuat yang benar.

 

  1. Menahan diri (temperance)

Disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri.

Filsafat stoa dan sifat qanaah memiliki korelasi yang sejalan, yakni sama-sama mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang merasa cukup dan bersyukur atas apa yang kita peroleh dalam hidup. Namun, agar hadirnya rasa cukup itu, dibutuhkan tahap pertama yang dilakukan, yakni dengan mengetahui hal-hal apa saja yang berada dalam kendali kita dan apa saja yang berada di luar kendali kita. Setelah kita mengetahui hal tersebut, kita pasti lebih ‘legowo’ dan lebih paham bagaimana cara kita bersikap apabila ekspektasi tidak menjadi realita. Jika kita mengetahui cara bagaimana bersikap untuk menghadapi berbagai kepahitan dalam hidup, terutama permasalahan di dunia perkuliahan, maka kita bisa menjadi mahasiswa yang memiliki rasa cukup dan rasa syukur yang tinggi. Sebagai contoh, apabila kita telah belajar dengan baik dan sungguh-sungguh, kita juga telah berdoa, tetapi hasil akhir yang kita dapatkan tidak sesuai dengan yang kita impikan, maka apa yang harus dilakukan?

Sesuatu yang dapat kita lakukan adalah mengevaluasi diri tanpa perlu menyesali secara berlebihan. Hasil akhir atau nilai ujian adalah hal yang berada di luar kendali kita. Memusingkan dan menjadi khawatir mengenai hasilnya adalah sesuatu tidak masuk akal. Akan tetapi, pastinya ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, misalnya belajar dengan serius dan rutin, mengikuti perkuliahan dengan baik, mental yang disiapkan, menjaga kesehatan tubuh, berlatih mengerjakan soal-soal, dan lain-lain. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa masih ada hal-hal yang dapat kita usahakan untuk mencapai apa yang kita inginkan, terlepas apa yang akan terjadi saat kita ‘berperang’ dengan soal-soal, apa yang akan terjadi saat di perjalanan, itu merupakan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Jika kita sudah berusaha dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang bisa dikendalikan, itu sudah cukup. Selanjutnya, apakah nilai ujian kita sesuai ekspektasi atau bahkan menjauhi ekspektasi, kita harus bisa menerimanya dengan tetap memperbaiki segala sesuatu yang bisa dikendalikan.

Pada dasarnya, setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk memperoleh lebih dari apa yang telah didapat. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa tidak semua hal yang kita inginkan dapat dimiliki. Kita sebagai manusia hanya dapat berusaha terhadap hal-hal yang dapat kita lakukan, lebih dari itu, biarlah Tuhan yang menentukan bagaimana baiknya. Dengan menerapkan sifat stoisisme, rasa cukup dan syukur akan hadir dalam diri kita. Dengan demikian, kebahagiaan yang sejati dapat kita rasakan.

“Manusia tidak memiliki kuasa untuk memperoleh apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.” -Seneca

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image