Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Tren Restoran Minangkabau di Daerahku

Kuliner | Friday, 02 Jun 2023, 21:39 WIB

TREN RESTORAN MINANGKABAU DI DAERAHKU

Siang baladang;

malam barundo.

randang padang;

memang tiado duonyo.

(@rhyzondaz)

Tulisan ini terinspirasi dari status Facebook temanku bahwa di daerahnya kini sedang menjamur restoran Minangkabau. Saking banyaknya, hingga bak cendawan tumbuh subur di musim penghujan. Ternyata, tren itu berlaku juga di daerahku akhir-akhir ini.

Sebelum aku lanjutkan, ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, istilah “Restoran Padang” sudah kadung populer daripada Restoran Minangkabau. Padahal yang lebih tepat adalah istilah yang kedua. Padang hanya merujuk kepada sebuah kota yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Minangkabau merujuk kepada suku yang berada di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Barat, maupun yang berada di luar provinsi, termasuk yang berada di luar negeri (terutama negeri Jiran).

Kedua, di Indonesia, istilah restoran hanya merujuk kepada yang wujud bangunannya besar dan mewah. Sementara yang bangunannya kecil dan sederhana disebut warung makan atau rumah makan. Padahal, kalau di luar negeri, terutama dari istilah restoran itu berasal, mau besar atau kecil tetap saja disebut sebagai restoran.

sumber gambar: https://food.detik.com/

Awal Mula

Pertama kali aku mengenal restoran Minangkabau ketika di tahun 1997, aku lulus SMA dan pergi merantau ke kota Yogyakarta. Ada dua hal menarik dari restoran ini. Pertama, konsep swalayan. Padahal warung makan atau restoran lainnya waktu itu belum ada yang memberlakukannya. Hal ini tentu sangat menguntungkan para mahasiswa perantauan yang uang kiriman dari orang tuanya sangat pas-pasan. Bisa mengambil nasi lebih banyak dan merasa awet kenyang. Sehari cukup makan dua kali saja, atau bahkan hanya sekali saja, diselingi makan bubur kacang ijo (burjo) khas Sunda.

Kedua, sayurnya yang hanya satu macam yaitu daun singkong. Jikalau orang Jawa memasak sayur daun singkong hanya dipilih yang muda saja (daun pucuk), sedangkan ala Minangkabau, seluruh daun hingga yang tua-tua sekalipun. Mereka merebusnya dengan kapur sirih (Jawa=enjet), sehingga daun tua pun tetap bisa lunak.

Masakan Minangkabau memang sangat mengenyangkan. Selain nasinya yang dimasak pero (keras), ditambah lagi berbagai macam kuah bersantan. Apalagi memilih dengan lauk daging atau ikan. Kenyang pokoknya. Rasa atau bumbunya enak lagi. Waktu itu, lauk yang paling terkenal adalah rendang daging.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku berkesempatan berkunjung ke Sumatera Barat, aku bisa merasakan masakan Minangkabau yang asli. Asli di daerah asalnya, asli pula bumbu-bumbunya. Aku sempat terkejut, benar-benar enak. Jauh berbeda dengan yang ada di Yogyakarta. Rasa enak didukung pula oleh kondisi lingkungan geografis yang berhawa sejuk dan daerah yang berbukit-bukit sekaligus dengan lembah-lembahnya. Makan enak plus menikmati pemandangan alam yang indah, membuat negeri Minangkabau serasa bak sepotong surga yang jatuh ke bumi.

Kini Begitu Menjamur

Lima tahun lalu, di daerahku, Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, kalau ingin makan masakan Minang mesti pergi ke kota Solo, yang harus menempuh jarak sekitar 25 km atau satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor.

Kini, di sepanjang jalan raya, ada puluhan rumah makan Minang. Di ibukota kecamatan, setiap 200-300 m ada rumah makan Minang. Kemudian muncul pula hingga jauh dari ibukota kecamatan, di daerah yang masih agak sepi, perdesaan. Semuanya laku, semuanya laris. Pelan tapi pasti, lidah orang Jawa mulai suka dengan menu masakan Minangkabau.

Pemiliknya ada yang asli orang Minangkabau. Ada pula pemiliknya orang lokal (Jawa) yang dulunya pernah bekerja di rumah makan Minang.

Tren munculnya rumah makan Minang kian diperkuat dengan promo unggulan “SERBA 10 RIBU”. Mau pakai lauk apa saja, harganya sama, yaitu sepuluh ribu rupiah. Satu harga gitu dech. Inilah yang membuat masakan Minang semakin diminati, selain enak murah lagi. Padahal, warung makan masakan Jawa saja harganya bisa di atas 10 ribu lho.

Salah satu faktor mengapa rumah makan Minang begitu menjamur adalah ibukota kecamatan daerahku yang mengalami perkembangan yang begitu pesat. Sudah seperti setengah kota gitulah (Inggris setara dengan town kali). Ditambah lagi, berkah adanya jalan tol Semarang – Solo yang melintas di Kabupaten Boyolali, membuat jalan raya di daerahku dilewati bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) jurusan Jakarta.

Bus-bus jurusan Jakarta dari arah Jawa Timur kini melewati daerahku. Sebelumnya, jalur mereka hanya melewati kota Solo. Makanya, dulu kalau mau pergi ke Jakarta mesti ke Solo dulu yang jaraknya sekitar 25 km atau satu jam perjalanan dengan sepeda motor. Kini, mau ke Jakarta tinggal naik dari dekat rumah. Jalur ramai dan padat inilah yang menarik para pemilik modal untuk mendirikan rumah makan Minang.

Apakah Masakan Lain Tidak Enak?

Negeri Indonesia yang sedemikian luas, tentu memiliki banyak masakan khas daerah. Ada masakan khas Melayu, Mandailing, Sunda, Jawa, Banjar, Manado, Maluku, Papua, dll. Akan tetapi, mengapa yang paling menonjol dan terkenal adalah masakan Minangkabau? Apakah menu masakan daerah lain tidak enak?

Ini bukan persoalan enak atau tidak enak. Sebab, setiap daerah memiliki ciri khasnya tersendiri dengan segala keunikan dan kelebihannya masing-masing. Menurut aku, hal utama yang membedakan adalah orang-orang Minangkabaulah yang secara serius dan sungguh-sungguh menggarap usaha di bidang kuliner ini dibanding lainnya.

Dengan model bisnis jaringan keluarga, membuat bisnis di bidang kuliner ini mampu menyebar ke seantero jagad raya. Awalnya si adik ikut kakaknya, setelah memiliki cukup modal lalu ia buka usaha sendiri. Mulanya si keponakan membantu pamannya, usai mempunyai keahlian kemudian ia pun membuka restoran baru. Demikian seterusnya. Selain itu, usaha ini terus-menerus diwarikan kepada anak keturunannya.

*****

Fenomena menjamurnya rumah makan Minang sepertinya tidak hanya terjadi di daerahku, atau di daerah teman FB-ku, namun sepertinya terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, muncul pula di di benua Eropa, Amerika, dan Australia. Ke seluruh dunia lah pokoknya.

(Kalau orang pada takut ada penjajahan model baru di bidang ekonomi-sosial-budaya, kalau ekspansi di bidang menu masakan ini masuk dalam kategori penjajahan apa ya, hehe )

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image