Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fara Amalia

Fenomena KDRT : Patriarki Sebagai Faktor Kuat Untuk Bertindak Kekerasan

Edukasi | 2023-06-01 19:47:01

Kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok yang menghantui bagi setiap pasangan diluar sana saat ini. KDRT merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. (Komnas Perempuan, 2002). Alih-alih berharap memiliki pernikahan yang bahagia dan penuh cinta, banyak pasangan yang berakhir di Kantor Pengadilan Agama karena kasus KDRT. Terlebih saat ini kasus KDRT sedang marak terjadi di kalangan selebriti. Akibatnya, masyarakat jadi menaruh fokus mereka pada isu tersebut. Kehidupan pernikahan yang bahagia tidaklah selamanya, pasti ada asam-garam didalamnya, konflik dan pelik tentu saja akrab menyapa. Tak jarang konflik dalam rumah tangga menjadi akar dari KDRT. Kekerasan awalnya dilakukan tanpa sadar karena merupakan respons dari amarah dan kurangnya kontrol diri.

Tak jarang para pelaku berani melakukan kekerasan karena merasa dirinya punya kuasa atas diri korban. Dalam hal ini contohnya pria yang dominan dalam suatu hubungan dan merasa dirinya lah yang lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan. Hal ini pun didukung dengan adanya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat yang selalu menempatkan posisi wanita dibawah pria. Patriarki menjadi semakin toxic ketika mencampurkan urusan rumah tangga dengan ajaran agama. “Jadi istri harus patuh sama suami, kalau ngga nanti durhaka” itulah kiranya paham yang memaksa para istri untuk tunduk dan diam yang akhirnya disalahgunakan oleh oknum pelaku kekerasan. Faktor lain yang mendukung terjadinya KDRT yaitu antara lain :

1. Faktor Ekonomi.

Alasan terjadinya KDRT salah satunya yaitu sang istri ketergantungan ekonomi oleh suamiya. Lagi-lagi paham patriarki yang berada di masyarakat menanamkan bahwa sudah seharusnya istri tidak usah bekerja dan bergantung saja kepada suami. Hal tersebut yang kemudian membuat para istri tidak mandiri secara finansial yang akhirnya ketika terjadi KDRT para korban mau tidak mau harus bertahan demi terpenuhinya kebutuhan, oknum pelaku jadi semakin merasa memiliki kuasa akan sang korban (istrinya).

2. Faktor Kekerasan Sebagai Alat Penyelesai Konflik

Ketika terjadi perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian ekspektasi pelaku menggunakan cara kekerasan untuk memaksa sang istri menuruti keinginan dan ekspektasinya.

3. Faktor Persaingan

Sejatinya kita sebagai manusia pasti memiliki rasa ingin menang dan tidak mau kalah. Persaingan pun terjadi ketika sang suami tidak setara dengan sang istri. Tidak setara dari latar belakang keluarga, pendidikan, pergaulan, maupun karir. Framing yang dibentuk oleh budaya patriarki lah yang membuat pria harus selalu lebih unggul daripada wanita. Hal itu lah yang menjadi akar KDRT yang seringkali hanya untuk melampiaskan ego sang pelaku.

4. Faktor Frustasi

Pada faktor ini sering kali dialami oleh pasangan yang belum siap nikah, belum siap secara keuangan maupun secara mental. Belum memiliki penghasilan tetap dan masih terbatas tercekik kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nya. Dalam kasus ini biasanya sang suami mencari pelarian ke judi dan mabok-mabok an. Dari kemaksiatannn tersebut bisa mengarah ke kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

5. Faktor Kurangnya Kesempatan Proses Hukum

Dalam proses pengadilan hukum istri kurang mendapat kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran yang terjadi. Entah karena mendapat ancaman dari pelaku ataupun tidak adanya aturan tentang hak dan kewajiban sebagai korban kekerasan. Dalam hal ini terkadang istri tidak berani melapor karena kurangnya bukti, dan terkadang kesulitan melakukan visum. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak jadi lapor dan terus-menerus membiarkan hal tersebut.

Dampak Yang Dirasakan Korban KDRT

Segala bentuk kekerasan tentunya meninggalkan bekas luka yang mendalam bagi korbannya. Terlebih jika pelaku kekerasan itu sendiri adalah keluarga dan orang terkasih. Dampak umum yang akan dirasakan korban kekerasan antara lain merasa cemas, ketakutan yang berlebih, depresi, susah tidur, mudah terbayang jika teringat sesuatu yang mirip, sering melamun, dan murung. Tak hanya itu, KDRT juga menyebabkan hilangnya kepercayaan diri korban. Kepercayaan diri dalam memilih dan memutuskan sesuatu dalam hidupnya.

Tidak hanya berdampak kepada istri, KDRT pun juga bisa menimpa dan berdampak bagi anak. Laki-laki yang sudah dibutakan dengan amarah juga akan tega menganiaya anaknya sendiri walaupun dia berstatus sebagai ayah kandung. Anak bisa mendapat kekerasan ketika ingin mencoba melindungi ibunya yang mendapat kekerasan terlebih dahulu. Tidak menutup kemungkinan cara lain anak mendapat kekerassan berasal dari para ibu yang mendapat tindak kekerasan dan melampiaskan emosi nya ke anak-anaknya. Akibatnya anak-anak akan menganggap bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara dalam menghadapi berbagai persoalan. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah. [Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, 2002. Hal 100]

Upaya Penanganan Yang Bisa Dilakukan

Tentunya bila kita melihat atau mengetahui KDRT kita tidak boleh diam saja. Apa sih yang bis akita lakukan apabila orang disekitar mengalami KDRT ? Pastinya kita harus segera memberi pertolongan dan perlindungan kepada korban. Lalu kita harus membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada pihak yang berwenang. Upaya dapat dilakukan dengan pengaduan dan penanganan langsung oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dinaungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Terdapat pula upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani KDRT berupa UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dari hal diatas tentu saja akan lebih baik mencegah daripada mengobati. Untuk itu perlu ditanamkan ke masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi budaya patriarki. Kita selaras, kita sama, dan kita saling menyayangi. Perlu diingat bahwa kekerasan bukanlah cara untuk menyelesaikan suatu masalah, karena yang ada hanya akan menambah masalah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image