Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Azhar Azimy

Krisis Ekonomi Turki Menggetarkan Negara-Negara Di Dunia

Politik | Saturday, 25 Dec 2021, 13:13 WIB
Oleh: Ahmad Azhar Azimy, Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Program Studi Hubungan Internasional

Turki menghadapi ancaman akibat terjerat ke dalam krisis mata uang lagi yang mengakibatkan depresi mata uangnya, yakni lira. Hal ini disebabkan karena kebijakan Erdogan yang dinilai tidak lazim dikarenakan mempertahankan suku bunga rendah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Turki dan potensi ekspor dengan jumlah tukar yang sangat bersaing. Kemudian daripada itu hal buruk tersebut pun semakin menjadi-jadi jika bank sentral negara tersebut tidak juga mengambilkan tindakan pencegahan, seperti menaikkan suku bunga. Sebagaimana yang telah dilaporkan pada sebuah media massa yang menyebutkan nilai lira minggu ini sedang tergelincir di level terendahnya sejak awal bulan Mei lalu. Pelemahan mata uang tersebut telah memicu inflasi, dimana inflasi pada bulan Juni dilaporkan sebesar 12,6% yang di mana dalam hal itu melampaui perkiraan para pengamat pertumbuhan ekonomi.

Bagi berbagai pendapat serta analisis ekonom pun memperkirakan bahwa inflasi dan devaluasi mata uang tidak akan menunjukkan perbaikan dikarenakan cadangan dari devisa, makin hari makin menyusut dengan cepat. Kemudian, langkah intervensi mata uang asing oleh bank sentral untuk mendukung lira telah menguras cadangan negara tersebut. Cadangan tersebut yakni cadangan bruto seperti emas dan swap, yang turun menjadi $33 miliar pada akhir Juni dari $87 miliar pada akhir 2019.

Selama menjabat, Erdogan juga lebih mendukung pemotongan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan dan pengeluaran. Keputusan tersebut pun mulai timbul dampaknya secara intensif setelah pandemi COVID-19 menyerang negara tersebut yang di mana setiap bahan-bahan pangan dan tekstil mengalami kenaikan harga yang sangat meroket lalu kenaikan nilai dolar langsung pada harga-harga barang keperluan. Dapat diambil contoh buah tomat yang menjadi bahan utama pada setiap masakan Turki mengalami kenaikan sampai 75% pada Agustus dibanding harga satu tahun sebelumnya. Di sisi lain, bank sentral Turki telah lama dianggap investor sebagai lembaga yang sangat dipengaruhi oleh Erdogan. Bank Sentral telah mempertahankan suku bunga acuannya yang tidak berubah pada angka 8,25% pada saat rapat pengambilan keputusan kebijakan moneter terakhirnya pada akhir bulan Juni lalu, sebelumnya bank telah meminimalisir suku bunganya sebanyak sembilan kali berturut-turut yang awalnya pada level 24% sejak awal tahun 2019. Lalu, inflasi tahunan meningkat kembali di atas 24% di Turki, namun Bank Sentral Republik Turki, dikendalikan kembali oleh Erdogan, yang hanya menurunkan suku bunga dari 16% ke angka 15%, hal ini merupakan pemotongan ketiga pada tahun ini.

Lira sendiri telah mencapai titik terendah bersejarah di awal Mei yaitu di 7,269 per dolarnya. Kemudian dari itu, kebijakan ekonomi Turki juga disebut-sebut sebagai Moody’s yang kiranya dapat mengancam pertumbuhan ekonominya sendiri.

Selain itu, perang dagang yang semakin meningkat membuat Turki terancam akan posisinya di dunia ekonomi global. Anjloknya nilai lira Turki ditambah dengan berbagai inflasi yang terjadi sehingga memungkinkan untuk mengalami kegagalan bayar, mengancam serta menyeret negara-negara lain masuk ke dalam permasalahannya serta menimbulkan efek bola salju. Hal ini dikarenakan Turki mengalami depresi ekonomi dengan nilai tukar lira terhadap dolar hingga berada pada angka 42% dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun terakhir.

Masalah Turki ini juga sudah mulai terciprat kepada negara-negara di dunia, contohnya seperti Indonesia dan Argentina yang mana Turki membebani nilai mata uang Asia serta menyulut fluktuasi mata uang di seluruh Dunia. Indonesia juga terseret dalam hal ini dikarenakan struktur ekonomi Indonesia yang kurang lebih sama dengan Turki, meskipun bisa dikatakan Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan Turki, dibuktikan dengan sebuah pernyataan menyebutkan bahwasanya defisit transaksi berjalan pada negara Turki sebesar 5,3% dari PDB, sedangkan Indonesia sendiri masih di bawah 3% sehingga hal ini dapat mengartikan hal yang demikian.

Seorang pakar mengatakan “Besarnya pengaruh ekonomi seluruh dunia bergantung kepada bagaimana pemerintah turki dapat mengambil langkah yang tepat untuk menangani krisis ini”. Sebagaimana perekonomian Eropa yang akan menjadi urutan yang paling pertama terkena efek krisis di Turki, sehingga Perbankan di tiga negara Eropa saja seperti Italia, Spanyol, dan Perancis memiliki paparan penyaluran kredit hingga $138 miliar kepada Turki.

Apabila terjadi kredit macet, tentunya potensi untuk terjadinya “snowball effect” juga semakin berpeluang besar untuk terjadi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image