Jiwa Bangsa (Renungan Peringatan Hari Lahir Pancasila)
Rembuk | 2023-05-31 23:41:39Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. (Ir. Soekarno)
Setelah 70 tahun merdeka, menjelang peringatan ke 71 hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 1 Juni 2016 Pemerintah akhirnya pada tanggal tersebut mencanangkan hari kelahiran Pancasila. Apakah bangsa ini terlalu lama mempertimbangkan hal tersebut sehingga setelah lebih dari tujuh dekade baru mengakuinya? Tentu sangat menarik dikaji. Terlebih eksistensi Pancasila di tengah arus globalisasi yang semakin deras dewasa ini, kembali diuji “kesaktiannya”.
Adalah akhir dari ucapan Bung Karno di atas bahwa dari kelima dasar itulah bangsa ini mendirikan sebuah negara. Bukan hanya untuk 10 tahun. Tidak juga 100 tahun. Tetapi kekal abadi, selama-lamanya. Dan ini bukan hanya sekedar retorika belaka tetapi ini adalah cita-cita luhur sejak bangsa ini ada. Menjadi bangsa yang tampil di depan di tenagh masyarakat dunia dengan menjujung tinggi lima asas yang menjadi jiwa di setiap desah nafas kehidupan.
Sebagai jiwa bangsa, Pancasila merupakan desah nafas kehidupan dalam setiap langkah bangsa Indonesia. Selain itu, melalui penjabaran instrumentalnya yang merupakan acuan hidup serta merupakan cita-cita setiap anak bangsa dalam menggapai kehidupan adil, makmur, dan sejahtera.
Di samping itu, Pancasila tampil sebagai sikap mental, perilaku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa lima sila yang ada padanya merupakan kepribadian sejak bangsa ini lahir ke muka bumi.
Di sisi lain, sikap, watak, perilaku, tata nilai, norma, dan etika dibentuk dari pengalaman sejarah yang panjang bangsa, menjadikannya sebagai pandangan hidup yang tidak tergoyahkan. Selanjutnya, Pancasila pun dipakai sebagai acuan dalam mengatur tatanan kehidupan bangsa, dan negara Indonesia.
Selain dari sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur bangsa saat mendirikan negara ini. hal ini mengandung arti bahwa keberadaannya haruslah di pelihara, dilaksanakan, dan dilestarikan, karena di dalamnya mengandung cita-cita dan tujuan mendirikan negara. Sehingga menjadikannya sebagai landasan dan pedoman efektif dalam menjaga keutuhan negara Indonesia.
Kembali ke ucapan Bung Karno di atas, bahwa negeri ini didirikan untuk selama-lamanya. Hal ini mengandung makna bahwa Pancasila sebagai anugerah luar biasa yang diberikan Tuhan yang menjadi modal utama mewujudkan cita-cita mulia tersebut.
Dalam kontek sekarang, untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut tentu haruslah dengan memahami bahwa Pancasila bukan hanya sekedar kata-kata indah di setiap silanya. Bukan pula hanya sekedar dilambangkan di perisai burung garuda. Bukan juga sekedar dicapkan dengan lantang dan diikuti oleh setiap yang hadir di setiap upacara bendera. Namun, harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada yang menarik saat Orde Baru berkuasa. Di setiap instansi dan hampir menyentuh di setiap lapisan masyarakat diperkenalkan penataran pedoman pengamalan Pancasila (P4). Pada awalnya, terlihat kental propaganda ideologi negara. Tapi dari sinilah semua bermula. Bukan hanya sekedar hafal butir-butir Pancasilanya, tetapi setiap lapisan masyarakat menjadi sangat akrab dengan warisan luhur bangsa sendiri.
Hal di atas sebenarnya patut ditiru. Di saat zaman yang semakin dinamis setiap anak bangsa mulai sedikit-demi sedikit kabur pengetahuannya tentang Pancasila. Jangankan hafal urutan silanya mengenal arti dari Pancasila pun sudah mulai pudar. Maka tidak begitu heran, para pengamat politik mnyebut bangsa ini hampir kehilangan jati dirinya. Saling menghormati sesama pemeluk agama sudah mulai kendur. Penghayatan kepada agama sendiri pun sudah mulai kurang. Akibatnya saling hujat sesama pemeluk agama. Bahkan sesama pemeluk agama pun saling bertengkar.
Begitupun dengan nilai-nilai kebangsaan yang terasa melemah. Hingga akhirnya dicanangkan kembali “NKRI Harga Mati”. Belum lagi makin menjauhnya jurang di antara yang kaya dengan yang miskin. Keadilan yang seperti digambarkan bagai pisau yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Dan banyak lagi permasalah komplek yang mendera bangsa ini.
Sesungguhnya jika kita kembali menyadari bahwa Pancasila sebagai jiwa bangsa, maka akan disadarkan tentang kewajiban untuk toleransi antar pemeluk agama, toleransi antar sesama, dan toleransi antar pemeluk agama dengan pemerintah. Juga akan diingatkan tentang kewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga persatuan, gotong royong, dan berkeadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu banyak instrumen yang menjadi acuan dalam merealisasikan hal di atas. Namun yang terpenting, meminjam perkataan Aa Gym, adalah memulainya dari diri sendiri. Menyebarkan kebaikan di setiap gerak perilaku sehari-hari adalah yang paling efektif ketimbang kata-kata. Setelah itu, mulai dari yang kecil, semisal menggelorakan kembali semangat gotong royong, saling membantu sesama anak bangsa yang sedang kesusahan. Kemudian, jangan menunda-nunda di setiap kebaikan yang akan kita lakukan, karena boleh jadi itulah sumbangsih kita dalam melestarikan nilai-nilai luhur Pancasila.
Akhirnya, jiwa bangsa yang sudah ada sejak bangsa ini lahir haruslah dijaga, dipelihara dan dilestarikan keberadaanya. Hanya dengan itulah bangsa ini akan kembali muncul sebagai bangsa yang terkenal akan toleransi beragamanya, ramah, berintegritas, nasionalis, demokratis, mandiri, dan makmur dalam berkeadilan, adil dalam kemakmuran.***
Dari Berbagai Sumber.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.