Fenomena Hubungan Tanpa Status pada Gen Z
Edukasi | 2023-05-31 08:23:20Sebagai generasi yang tumbuh beriringan dengan pesatnya perkembangan serta akses informasi dan teknologi, generasi z (gen z) umumnya cenderung lebih up to date dalam mengikuti perubahan tren dibandingkan generasi terdahulu. Penggunaan sosial media tentunya menjadi salah satu cara mudah gen z dalam mengkonsumsi informasi dan berinteraksi antara satu sama lain di era digital ini. Tidak heran jika gen z telah melahirkan perspektif unik dalam memaknai berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam menjalin hubungan tanpa status (HTS).
HTS telah menjadi hal yang lumrah bagi kalangan anak muda, khususnya generasi z (genz), di tanah air. Tidak jarang gen z lebih memilih untuk menjalani hubungan sebagai pasangan kekasih tanpa terikat dalam suatu status resmi. Jangan salah sangka, HTS bukan berarti menjalani hubungan tanpa komitmen. Menurut seorang pakar seks dan hubungan, Shena Tubbs, MMFT, LPC, CSAT-C, bahwa memiliki status tidak sama dengan memiliki komitmen dalam suatu hubungan. tidak sama dengan memiliki komitmen. Status tidak serta merta menjadi indikator dalam hubungan yang berkomitmen, tapi hubungan tanpa status juga tidak membebaskan pihak terlibat mengenai komitmen. Selain itu, adanya kebebasan dan fleksibilitas dalam menjalani hubungan, baik yang bersifat eksklusif (dua individu terlibat) maupun tidak eksklusif (lebih dari dua individu terlibat), menjadikan fenomena HTS terkenal di kalangan gen z.
Namun, psikolog Ajeng Raviando sebaliknya menilai bahwa HTS merupakan hubungan yang tidak mengandung satu dari ketiga unsur penting dalam hubungan cinta, yakni komitmen. Hal ini dikarenakan suatu hubungan yang dibangun seharusnya terdiri dari tiga elemen, di antaranya keintiman emosional, gairah serta komitmen. Menurutnya, HTS biasanya menjadi pilihan alternatif bagi kalangan gen z yang tidak mudah mengikatkan diri dengan orang lain. Ini dapat menjadi indikasi adanya keraguan terhadap kemampuan diri sendiri atau pasangan dalam menjalani hubungan serius.
Penyebabnya beragam, diantaranya yaitu ketidakcocokan dengan kekurangan dan kelebihan pasangan, lingkungan yang kurang mendukung, sedari awal hanya ingin main-main hingga pengalaman yang traumatis. Pengalaman traumatis tersebut mencakup kekecewaan oleh kekasih sebelumnya, pernah bercerai, atau latar belakang keluarga yang broken home, juga dapat menjadi latar belakang terjalinnya hubungan semacam ini. Trauma inilah yang perlu disembuhkan terlebih dulu sebelum seseorang memulai suatu hubungan. Oleh karenanya, dalam perspektif psikologi, HTS dinilai memberi dampak yang cenderung negatif, menimbulkan rasa tidak nyaman serta beban pikiran pada salah satu atau kedua belah pihak.
Daftar Pustaka https://www.mindbodygreen.com/articles/this-is-when-relationship-without-labels-doesnt-work
https://mywellbeing.com/therapy-101/generation-z-social-media-and-its-impact-on-romantic-relationships Grundström, J., Konttinen,
H., Berg, N., & Kiviruusu, O. (2021). Associations between relationship status and mental well-being in different life phases from young to middle adulthood. SSM - Population Health, 14, 100774.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.