Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image 26.Rayhan Ghani

Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak dengan HIV/AIDS

Edukasi | 2023-05-30 18:32:00

HIV (human immunodeficiency virus) merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus tersebut bekerja dengan cara menginfeksi dan menghancurkan sel darah putih. Akibatnya, kekebalan tubuh seorang yang terjangkit virus HIV akan semakin lemah, sehingga rentan terserang berbagai penyakit. Infeksi HIV yang berkelanjutan akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah tingkat akhir dari kondisi seseorang yang terinfeksi virus HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.

HIV/AIDS tergolong sebagai penyakit yang sangat berbahaya, karena sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Obat yang tersedia hanya sebatas memperlambat perkembangan virus tersebut. Berdasarkan data UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS), terdapat 36,9 juta orang di seluruh dunia yang terjangkit HIV/AIDS pada 2017. Kawasan Asia Pasifik, yang mencakup wilayah Indonesia, menduduki peringkat ketiga sebagai wilayah dengan pengidap HIV/AIDS terbanyak di seluruh dunia dengan total penderita sebanyak 5,2 juta jiwa. Pada tahun 2017, jumlah kematian yang disebabkan oleh AIDS tercatat sebanyak 940.000 kasus di seluruh dunia. Usia dewasa sebanyak 830.000 dan usia anak sebanyak 110.000 jiwa.

Penularan HIV/AIDS dapat terjadi pada

setiap golongan usia, termasuk pada kelompok anak. Data Kementrian Kesehatan RI melaporkan terdapat 1.409 kasus anak dengan HIV/AIDS usia 0-4 tahun (Kementrian Kesehatan, 2014). Kemungkinan jumlah itu akan meningkat, hal ini disebabkan kasus HIV/AIDS merupakan fenomena ‘gunung es’ yaitu yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari fakta seluruhnya.

Menurut Konvensi Hak Anak (KHA), anak dengan HIV/AIDS ada dalam kategori “children in need special protection” atau anak memerlukan perlindungan khusus. Bentuk perlindungan khusus bagi anak dengan HIV/AIDS ini berupa pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan dan rehabilitasi. Tugas-tugas ini adalah komponen di dalam tugas pengasuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh, yaitu orangtua.

Pengasuhan kepada anak dengan HIV/AIDS memiliki beberapa kekhususan yang harus diperhatikan, terutama dalam segi kesehatan anak. Hal yang perlu diperhatikan dari segi kesehatan anak adalah imunisasi lengkap bagi anak, menjaga asupan makanan yang kaya energi dan mengandung mikronutient, mejaga pola hidup sehat, tepat waktu dalam konsumsi ARV, memberikan obat dengan dosis yang tepat, segera di periksa ke dokter ketika anak sakit. (Poindexter, 2010; Brinkhoft, MWG & Boule, A., Weigel, R, Marthers, C. 2009).

Isu lainnya berkaitan dengan anak dengan HIV adalah seperti isu HIV di masyarakat dimana masih terdapat stigma sehingga dilihat dari segi sosial, anak dengan HIV/AIDS rentan mengalami masalah diskriminasi. Stigma dan diskriminasi dapat menjadi sumber kecemasan pada orangtua. Proses pelaksanaan pengasuhan kepada anak dengan HIV/AIDS akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki orangtua. Sementara, Anak dengan HIV/AIDS membutuhkan perawatan orang tua yang lebih komprehensif dibandingkan anak lain pada umumnya karena penderita HIV menghadapi masalah pada kesehatan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Poindexter, 2010; Ellya Susilowati, 2010)

Kondisi tersebut makin parah apabila orangtua juga kurang memiliki pengetahuan dan sikap menghadapi HIV & AIDS yang mengakibatkan pengasuhan kurang efektif (Amalia, 2013). Sementara, suatu penyakit dan akibat yang diderita, baik akibat penyakit ataupun intervensi medis tertentu dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif. Dan kondisi anak sakit juga akan berpengaruh pada kecemasan orangtua anak (Safarino, 2006)

Aspek-aspek kecemasan menurut Nevid (2005), membagi aspek kecemasan dalam tiga aspek, yakni, aspek fisik, kognitif, dan aspek perilaku.

Saat ini pemerintah mulai menaruh perhatian yang lebih besar dalam upaya melindungi anak yang terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini ditunjukkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Melalui undang- undang tersebut anak dengan HIV/AIDS mendapatkan kepastian perlindungan hukum yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dengan adanya kehadiran organisasi pelayanan sosial peduli HIV/AIDS adalah bentuk implementasi konkrit dari perlindungan terhadap anak dengan HIV/AIDS.

Masyarakat seluruh dunia terfokus pada Pandemi Covid - 19 yang menjadi permasalahan aktual saat ini. HIV/AIDS juga menjadi permasalahan utama dunia karena peningkatan pada kasus termasuk di Indonesia.

Sejak Covid-19 jadi pandemi dunia, HIV/AIDS pun seakan tenggelam padahal penyebarannya tetap terjadi, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Selain itu faktor risiko lain adalah transfusi darah yang tidak diskrining HIV, jarum suntik yang dipakai bergiliran seperti pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), serta melalui air susu ibu (ASI) perempuan yang mengidap HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS penderitanya tersebar hampir di seluruh Indonesia. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 640.443, tapi yang bisa dideteksi sejak tahun 1987 sd. 31 Maret 2020 hanya 511.955 atau 79,94 persen. Penyakit yang menakutkan ini merupakan ancaman yang serius di negara kita, bila akar permasalahan terjangkitnya virus ini tidak ditangani dengan cepat secara bersama, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menghasilakan generasi yang berkualitas.

Remaja merupakan kelompok usia yang sangat rentan terhadap resiko triad (tiga masalah pokok) kesehatan reproduksi remaja, yakni, seksualitas (pergaulan seks bebas), HIV/AIDS, dan penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang, Indonesia mempunyai banyak potensi untuk mengedukasi anak remaja dengan program yang positif dan produktif.

Masyarakat Indonesia sering dikejutkan dengan maraknya protistusi online, adanya komunitas LGBT dan penyimpangan seksualitas lainnya, kejahatan penyalahgunaan narkoba, yang semua itu berpotensi terhadap Penularan HIV/AIDS dan merusak generasi muda dengan berbagai macam modus yang digunakan dari pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini.

Belum lagi masalah stigma dan diskriminasi yang masih kental di tengah masyarakat terhadap ODHA orang dengan HIV/AIDS yang selalu melihat penyakit ini dari sisi etika dan sosial bagaimana ODHA begitu dijauhi oleh masyarakat bahkan keluarga menambah buruk psikologis penderita.

Diskriminasi dan stigma masyarakat selalu melekat erat terhadap anak pengidap HIV/AIDS, banyak masyarakat melakukan diskriminasi hal ini menempatkan mereka pada risiko pelecehan dan pengucilan masyarakat yang membuat mereka kehilangan kebutuhan primer seperti rumah dan pendidikan. Stigma yang selalu dikaitkan dengan penyakit ini pun membuat anak-anak lebih sulit mengatasi penyakit dan kematian.

Dengan meningkatnya angka kematian di kalangan orang dewasa, beban untuk merawat anak sering diambil alih oleh kakek-nenek mereka, yang mungkin sudah tidak lagi memiliki kemampuan fisik dan finansial. Hasilnya, banyak anak yatim piatu karena AIDS tumbuh dalam kondisi miskin dan beberapa akan menjadi tunawisma dan dipaksa tinggal di jalanan.

Keluarga yang terkena HIV/AIDS berkemungkinan tidak mendapatkan makanan dengan nutrisi yang cukup. Nutrisi yang buruk akan mengakibatkan masalah perkembangan dan pertumbuhan pada anak, dan membuat mereka gagal di dunia pendidikan. Akibatnya, anak-anak terutama anak perempuan, mungkin harus putus sekolah untuk merawat orangtua yang sakit, bekerja, atau merawat rumah tangga. Anak yatim juga bisa meninggalkan sekolah karena diskriminasi atau tekanan emosional, atau karena mereka tidak mampu membayar uang sekolah. Kebanyakan dari mereka cenderung tidak mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang memadai, mereka rentan terhadap perilaku seks yang tidak aman dan eksploitasi seksual.

Terkadang orangtua meninggal tanpa membuat ketentuan keuangan untuk anak-anak mereka, atau dengan utang finansial yang belum diselesaikan. Dalam beberapa kasus, wasiat dikesampingkan oleh keluarga atau hukum adat, yang mengakibatkan hilangnya warisan bagi anak-anak. Terkadang anak-anak kehilangan rumah tempat mereka tinggal, Pelecehan fisik dan seksual. Anak-anak tanpa perlindungan orangtua atau keluarga lebih rentan terhadap pelecehan fisik dan seksual, yang meningkatkan risikonya terhadap infeksi HIV. Tidak adanya perlindungan dan perawatan orangtua, dikombinasikan dengan infeksi HIV, berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kematian anak-anak di negara-negara yang paling banyak terkena dampak HIV/AIDS.

Keluarga dengan anak pengidap HIV/AIDS menghadapi berbagai permasalahan dalam merawat anak mereka. Permasalahan tersebut diantaranya masalah pengobatan, asupan nutrisi, emosional, dan sosial.

Perawatan medis sangat dibutuhkan namun kebanyakan masih lamban untuk melakukan perawatan medis disebabkan oleh kendala keuangan.

Asupan nutrisi sangat penting diperhatikan oleh keluarga untuk memberi asupan nutrisi yang berimbang agar dapat menjaga daya tahan tubuh anak pengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV umumnya rentan terhadap penyakit lain, seperti flu, alergi, batuk, bahkan tuberkulosis.

Masalah emosional anak pengidap HIV/AIDS sering kali menjadi permasalahan, pasalnya akibat penyakit yang diderita sang anak menjadikan anak sering kali rewel dan menangis hal itu mengganggu kegiatan kluarganya. Bahkan ada yang mengaku sampai memberi obat tidur agar anak dapat beristirahat serta keluarganya pun tak terganggu.

Sosial ini dalam hal anak memerlukan kesempatan untuk bermain dan mengkreasikan keterampilan sosialnya yang mereka butuhkan seperti berinteraksi dengan orang lain atau teman sebayanya. Namun sayangnya, banyak anak yang kemudian dikucilkan karena mengetahui sang anak mengidap penyakit HIV/AIDS. Serta seringnya mendapat perlakuan berbeda dalam kehidupannya sehari-hari ketika melakukan interaksi sosial.

Peran keluarga sangat penting untuk pengidap HIV/AIDS karena apabila keluarga sudah mengetahui status HIV mu, maka mendapatkan dukungan keluarga dan orang-orang terdekat untuk mempercepat proses pemulihan kondisi, baik fisik maupun psikisnya. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Jika seseorang merasakan hadirnya penyakit ditubuh dan jiwanya, maka iya akan berupaya untuk kesembuhannyaa. Pun sama halnya dengan kasus HIV ini. Maka dari itu pentingnya peran keluarga dalam hal ini. Dari keluarga mengetahui status HIV mu salah satu therapy juga. Untuk pengobatan secara medis sudah ada tentunya dengan therapy ARV, akan tetapi perlu diketahui bukan hanya pengobatan medis saja yang dibutuhkan, tetapi pengobatan psikis yang tentunya keluarga yang sangat berperan disini. Bagaimana meyakinan bahwa dengan keadaan HIV akan baik baik saja dan mempunyai hak yang sama.

Oleh sebab itu diperlukan juga pencegahan dini di dalam keluarga dengan mengajarkan anak remaja tentang agama yang melarang perbuatan maksiat dan melaksanakan perintah agama agar terhindar dari perbuatan tersebut. Peran orang tua sebagai role model di dalam keluarga sangatlah perpengaruh terhadap perkembangan anak.

Pemberian informasi atau pengetahuan mengenai HIV/AIDS bisa dilakukan sejak dini pada anak remaja dalam lingkungan keluarga. Anak diberi informasi bagaimana proses penularan HIV/AIDS itu sendiri yakni melalui cairan sperma, vagina, air asi, dan darah. HIV/AIDS juga tidak akan menular jika kontak fisik, kontak sosial dan sebagainya. Informasi yang benar dapat membantu dalam mencegah anak remaja melakukan berbagai tindakan yang memunculkan resiko terkena HIV.

Tujuan pemberian informasi sejak dini agar anak dapat menghindari bahaya HIV/AIDS dan mengembangkan pola hidup sehat di dalam keluarga,diharapkan agar anak remaja kelak dapat memunculkan perilaku yang tidak diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.

Seorang anak penderita HIV/AIDS mendapatkan serangan masalah yang cukup berat. Hal tersebut terjadi karena pada hakekatnya mereka tidak hanya terganggu secara fisik tetapi, secara psikologis, spiritual maupun sosial.

Permasalahan ini akan semakin besar ketika adanya stigma dan diskriminasi sosial terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma dan diskriminasi masyarakat menempatkan penderita HIV/AIDS pada risiko pelecehan dan pengucilan masyarakat yang membuat mereka mengalami kesulitan, bahkan kehilangan kebutuhan primer dan sekundernya.

Dalam proses penanggulangan HIV/AIDS, penderita dalam usia anak akan mendapatkan kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dalam usia dewasa. Hal tersebut terjadi karena dalam usia anak masih banyak ketidaktahuan yang mereka miliki. Dengan begitu, dalam penyembuhan HIV/AIDS dikalangan anak-anak diperlukan penanggulangan yang lebih ekstra.

Secara garis besar penanggulangan tersebut dapat dijabarkan sebagai pengobatan medis dan nonmedis. Pengobatan medis dilakukan dengan pemberian obat dan therapy ARV. Sedangkan pengobatan nonmedis disini dimaksudkan dengan pengobatan psikis yang memerlukan peranan aktif keluarga, khususnya dari kedua orangtua. Karena sejatinya keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama. Dalam kondisi tersebut maka orangtua dari anak penderita HIV/AIDS juga harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahaya dampak penyakit HIV/AIDS.

Anak dengan HIV/AIDS memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang optimal. Orangtua juga bertanggung jawab untuk memberikan pengasuhan yang baik dan benar sehinga dapat mendorong tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, pemberian informasi atau edukasi mengenai HIV/AIDS harus dilakukan sejak dini pada anak baik dalam forum pendidikan formal maupun nonformal (dalam lingkungan keluarga). Selain itu anak juga perlu dibekali ajaran agama yang melarang perbuatan maksiat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image