Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Najwa Ambarwati

Korban Pelecehan Seksual tidak Melawan, Bukan Berarti Menikmati

Edukasi | Tuesday, 30 May 2023, 15:34 WIB

“Aku terdiam”, “Aku tidak ingat apa - apa”, “Aku membeku”. Berikut merupakan kalimat - kalimat yang sering terlontarkan dari mulut para korban pelecehan seksual. Sebagai individu yang awam tentunya akan bingung, bagaimana mungkin sudah diperlakukan sedemikian kejamnya, alih - alih melawan, korban justru terdiam dan tidak melakukan perlawanan apapun. Hal ini juga yang dapat memberatkan korban pelecehan seksual, karena seringkali mereka dianggap “menikmati” perlakuan pelecehan tersebut karena tidak melakukan perlawanan apapun. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap korban pelecehan seksual tersebut, artikel ini akan membahas apa yang menyebabkan terdiamnya korban.

Ketika kita berada dalam keadaan berbahaya atau tertekan, otak kita akan mengubah perilaku kita ke refleks atau kebiasaan. Reaksi terdiam atau freezing merupakan bentuk dari refleks untuk bertahan hidup. Refleks terdiam membuat kita menghentikan seluruh aktivitas, menerima informasi, kemudian menunggu respon dari otak untuk langkah selanjutnya. Dalam keadaan biologis, terdiam dapat dikategorikan ke dalam 3 bentuk.

Bentuk pertama, yaitu detection freezing atau deteksi pembekuan. Tahap ini merupakan tahapan awal dari apa yang dirasakan korban terhadap pelecehan. Korban akan mengira aktivitas yang dilakukan pelaku pelecehan merupakan hal yang normal. Sampai dimana korban merasa hal tersebut bukanlah hal yang normal. Di sinilah terjadi detection freezing. Detection freezing bisa terjadi ketika lengan korban dicengkeram, kemeja dibuka secara paksa, atau pelaku pelecehan mengedipkan mata yang mengatakan, "Kamu tidak bisa menghentikanku".

Tahap terdiam selanjutnya, yaitu shocked freezing. Tahap ini merupakan lanjutan dari detection freezing. Dalam tahap ini, otak tidak memberikan opsi apapun untuk dikeluarkan sebagai respon. Ini adalah kondisi yang tidak berdaya dan mengerikan, terutama ketika hal-hal yang tidak diinginkan dan hal-hal yang mengganggu sedang dilakukan pada tubuh seseorang.

Tahapan terakhir dalam kondisi terdiam adalah no-good-choices freezing. Para korban kekerasan seksual mengingat bahwa setelah pelaku melancarkan aksinya, mereka memiliki pikiran yang sangat sempit. Mereka hanya memiliki pikiran yang tidak masuk akal. Mereka akan memikirkan dua kemungkinan, misalnya, “aku lari telanjang dan memberitahu orang atau aku diam saja sampai semua ini selesai?”. Beberapa korban juga mengingat bahwa pikiran mereka terkunci. Mereka hanya mengeluarkan pikiran “Tuhan, tolong aku” atau “Ini tidak boleh terjadi”. Pikiran mereka tidak memberikan jawaban yang terbaik sehingga korban terdiam.

Pemahaman terhadap tiga jenis respons pembekuan yang berbeda dapat sangat bermanfaat. Hal ini dapat mendukung seseorang yang telah mengalami pelecehan seksual, mencoba memahami pengalaman kita sendiri, atau menyelidiki serta menuntut pelanggaran semacam itu terhadap pelaku pelecehan seksual. Meskipun memerlukan waktu, usaha, dan melibatkan studi, pelatihan, dan praktik, pengetahuan ini memiliki nilai yang sangat berarti. Dengan pengetahuan ini, kita dapat lebih mendengarkan dengan pemahaman yang lebih besar, mengurangi sikap penilaian, dan meningkatkan empati. Ini merupakan kunci dalam mendukung korban, melakukan penyelidikan yang efektif dan adil, serta menuntut pertanggungjawaban para pelaku.

Untuk itu, saya berharap semua orang mengerti bahwa anggapan buruk yang membebani korban pelecehan seksual dari segi sosial maupun hukuman yang menyalahkan korban karena ia tidak melakukan perlawanan adalah hal yang salah. Sekali lagi, respons korban terhadap pertanyaan "Mengapa kamu tidak melawan?" dan korban menjawab "Saya membeku. Satu-satunya yang saya bisa pikirkan adalah..." dan melengkapi kalimat dengan satu atau dua pemikiran sederhana yang tidak memberikan jawaban terbaik itu, karena tidak pernah muncul dalam benak mereka sekalipun bahwa mereka akan mengalami pelecehan seksual.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image