Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghulam Mujadid

Manfaat Menulis Dan Bercerita Bagi Kesehatan Mental

Edukasi | 2024-12-31 17:01:09

Semua dari kita tentu sudah tahu bahwa menulis dan bercerita ialah hal yang sering digunakan pada kesehariannya untuk berkomunikasi. Baik itu mengobrol santai, berkirim pesan, membuat suatu jurnal, menulis catatan dan lain sebagainya. Tahukah kamu bahwasannya manusia itu ialah makhluk yang penuh lakon cerita dan kisah karena pada dasarnya manusia menggunakan simbol kata dan bahasa kalimat yang mempunyai makna untuk berinteraksi dan tentu dalam berinteraksi terkadang manusia mempunyai catatan dan ingatan tentang kutipan-kutipan kepenulisan yang tertuang dan tersaji. Dan tentu bagian dari kisah itu yang menjadi pesan tertentu yang unik dan berkesan selalu mereka rangkum dalam historia.

Menulis dan bercerita merupakan suatu hal dari kegiatan budaya asli (indigenous) untuk berinteraksi, berkomunikasi, menguak dan mengukap serta menyampaikan informasi dsb. Melalui sebuah kegitan bercerita dan menulis suatu kisah, sejak dahulu manusia menjadikannya sebagai sarana untuk menyampaiakan peristiwa, kenangan, hubungan serta sarana hiburan. Cerita dan menulis adalah sarana untuk memaparkan dan mendemostrasikan suatu nilai dan norma atau bahkan sarana dari merefleksikan suatu kehidupan dari manusia itu sendiri. Kadang kita melihat bercerita dan atau menulis dari sebuah pesan dan kesan menjadi makna simbolik tersendiri bagi keakraban, hubungan antar personal, refleksi dan cermin eksis kehidupan manusia yang sifatnya kompleks atau bahkan sarana menggali suatu hal tersirat pada diri insan pribadi.

Bercerita dan menulis mungkin secara gambaran langsung atau tidak langsung yang mungkin kita sudah sadari dan atau jarang kita sadari ialah mampu mempersentasikan ekspresi emosional, mengurangi stres, serta meningkatkan kecakapan hubungan sosial. Suatu contoh ketika kita sengaja atau tidak sengaja mencurahkan hati kita, tentu apabila menemui suatu manfaat pemuas kebutuhan dalam bercerita atau menuangkannya dalam bentuk literasi dan mampu ditanggapi dengan transparasi dan feedback positif tentu hal ini akan membuat kita senang dan mampu memahami diri dan lingkungan dengan nyaman dan sehat.

Menulis dan menuturkannya dalam sebuah cerita tentu hal ini merupakan suatu kaidah murni yang ada pada diri manusia dan membedakannya dengan makhluk lainnya yang prosesnya melibatkan keutuhan fitrah manusia yang didalamnya ada hati, tubuh, jiwa dan pikiran. Menulis dan bercerita tenang pengalaman pribadi tentu akan memudahkan kita untuk mempersepsikan apa yang menjadi suatu aspek yang menjadi dasar diri kita, dan memahami pesan dan tulisan dan cerita orang lain akan menumbuhkan kepekaan emosional dan sosial serta mampu berempati dan memahami perbedaan pada keunikan tiap individu.

Bagi saya pribadi menulis dan bercerita adalah sarana kebutuhan terapi untuk pemenuhan terhadap kondisi mental dan psikis dimana ia ingin diperhatikan dan didengarkan. Karena dimana sesungguhnya setiap orang di dunia ini butuh didengarkan dan diperhatikan. Ilmuan Syaraf Diana Tamir mengatakan bahwa otak kita mendapat lebih banyak kenikmatan, lebih banyak inspirasi, lebih responsif, dan lebih mampu menyimpan memori secara erat, ketika kita berbicara dan berkisah tentang diri sendiri.[1]

Manusia adalah produsen sekaligus konsumen kisah (Smith:2017)[2]. Manusia pada umumnya menggunakan suatu pemaparan bahasa dengan simbol kata yang tersusun dalam kalimat dalam menyajikan kisah. Rata-rata, secara umum manusia mengucapkan kata sebanyak 16.000 kata per hari. Bayangkan saja, manusia itu amatlah komunikatif dalam mempersentasikan dirinya kepada manusia lainnya, yang menjadikan manusia makhluk yang mempunyai personal interaksi antarpribadi yang menjadikan manusia itu mempunyai suatu dampak hubungan terhadap sesamanya.

Manusia menghubungkan dirinya dengan orang lain melalui kisah dan cerita. Pemaknaan manusia terhadap kisahnya dan kisah orang lain menjadi pengalaman pribadi sekaligus pengalaman bersama. Setiap kali kita menceritakan kembali sebuah cerita pasti ada bentuk dan makna baru. Tampaknya kita menemukan nuansa dan koneksi yang sebelumnya tidak diperhatikan (Lászlȏ, 2008, Ochs & Capps, 2009).[3] Kita pasti pernah merasa dikala kita mampu mencurahkan suasana atau bahkan segenap peristiwa pada diri kita, kita merasa terbawa pada dunia yang membawa segenap pengalaman dimana kita mampu terhubung dan terjalin pada bentuk dan nuansa yang baru dan bertumbuh. Seperti halnya contoh, kita mampu mengobrol yang nyambung dengan orang terkasih, atau bahkan kita mengungkapkan curahan isi hati kita pada orang terdekat dan mampu dipercaya. Kesemuannya itu dapat menumbuhkan flourishing positive relation (hubungan positif yang berkembang).

Menulis kisah dalam diri adalah sebuah seni menulis yang melibatkan “roh” atau jiwa dalam diri untuk menceritakan sebuah momen dengan segala percakapan yang muncul dalam diri. Karena merupakan sebuah seni yang melibatkan jiwa terdalam, aktivitas menulis kisah dalam diri dekat dengan tindakan mengasihi dan mencintai, seperti yang di ungkapkan oleh Hawkins (1995): There is No Art without Love.[4] Bercerita[5] menurut nenek moyang kita adalah proses holistic yang melibatkan hati, tubuh, jiwa dan pikiran. Menceritakan kisah pribadi merupakan salah satu cara untuk memahami pengalaman pribadi. Mendengarkan cerita orang lain juga membantu kita memahami diri sendiri di saat mengidentifikasi diri dengan pengalaman orang lain. Di sisi lain, mendengarkan cerita seputar perbedaan membantu meningkatkan empati dan pemahaman, terutama di antara orang-orang dari budaya yang berbeda (Lawrence & Paige, 2016). Hal ini akan memperluas pengetahuan kita. Bercerita memiliki kekuatan untuk menggangu stereotipe. Stereotipe adalah penilaian mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.

Secara umum cerita memiliki banyak hal yang berhubungan langsung dengan kesehatan mental manusia. Manusia akan menjadi pencerita saat sedang berbagi dengan yang lain tentang peristiwa negatif yang dialami. Ketika kita berbicara tentang peristiwa, karakter, tindakan, tema, perasaan, dan ide, maka teknik yang tepat digunakan adalah bercerita.[6]

Berikut beberapa fakta penelitian yang menunjukkan bahwa cerita begitu penting dalam kesehatan mental manusia :[7]

1. Meningkatkan keterampilan mendengarkan dan menumbuhkan imajinasi

Saat mendengarkan cerita, kita mengarahkan semua indra dan memberikan perhatian penuh. Menjadi pendengar yang baik dan aktif adalah ketrampilan sosial yang bagus untuk dimiliki. Itulah mengapa sangat penting bagi kita untuk bercerita kepada anak. Selain itu, saat membaca buku cerita, sebenarnya kita sedang mengembangkan imajinasi dan memperluas pemikiran. Imajinasi yang baik memungkinkan kita untuk mengatasi stessor kehidupan dengan lebih baik.

2. Meningkatkan empati dan retensi memori

Ketika kita terhubung dengan karakter dalam sebuah cerita, maka otak melepaskan oksitosin. Oksitosin dikaitkan dengan empati, sebuah blok bangunan yang membantu kita terhubung dan memperdalam suatu hubungan. Selain meningkatkan empati, manfaat lain bercerita adalah meningkatkan daya ingat. Jenifer Aaker, seorang profesor pemasaran di Stanford Graduate School of Business, mengatakan bahwa orang akan lebih mampu mengingat informasi ketika dijalani menjadi narasi. Jennifer Aaker (2019) menyebutkan kemampuan cerita untuk meningkatkan memori 22 kali lebih banyak dibandingkan jika informasi disampaikan secara biasa. Itulah mengapa teknik cerita banyak digunakan dalam ilmu bisnis dan pemasaran. Seringkali seseorang terbawa sebuah narasi dan digerakkan secara emosional untuk mengambil keputusan membeli sebuah produk. Bukan fakta dan fitur produk yang menggerakkan dan memengaruhi manusia dalam mengambil keputusan membeli.

3. Meningkatkan emosi positif

Menurut penelitian terbaru dalam psikologi positif, cara dalam bercerita berhubungan secara langsung dengan suasana hati dan citra diri (Rutledge, 2016). Cerita dapat mengangkat dan mengubah suasana hati kita. Perubahan suasana hati dan pandangan ini bukanlah masalah kecil. Sejumlah emosi positif dan optimisme yang wajar memungkinkan kita untuk mengatasi kesulitan dengan lebih baik dan menghadapi rintangan yang sedang dihadapi. Brocington, dkk., (2021) melakukan penelitian efek cerita dengan anak yang dirawat secara intensif di rumah sakit. Sesi mendongeng yang mereka lakukan diklaim mampu menyebabkan peningkatan oksitonin, pengurangan kortisol dan rasa sakit, serta perubahan positif pada anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa cerita memiliki kekuatan dalam mengatur fungsi fisiologis dan psikologis manusia. Bercerita merupakan intervensi sederhana dalam mengurangi rasa sakit dan ketidak nyamanan, serta merubah lanskap emosional.

4. Membantu orang dengan dimensia

Orang dengan dimensia dapat memperoleh manfaat dari partisipasi dalam bercerita dan terapi kenangan komunitas. Seperti seni lainnya termasuk music, bercerita telah terbukti membantu anggota komunitas senior mengatasi dan memperbaiki masalah ingatan yang terganggu.

Hal lain yang menunjukan suatu pemahaman yang baik dalam bercerita yaitu salah satu tempat dimana kita mampu terhubung dan menghubungkan suatu relasi alam bawah sadar dan persaan kita untuk di ekspresikan. Bettleheim[8] (2010) percaya bahwa cerita merupakan salah satu cara terbaik bagi jiwa manusia dalam menemukan bahasa untuk berekspresi. Ini adalah kesempatan untuk mengalami perasaan yang sering ditekan atau tidak diartikulasikan karena tidak dapat ditoleransi oleh individu atau budaya.

“A psychic state that arises from the tension between consciousness and the unconscious and supports their union.” (Keadaan psikis yang muncul dari ketegangan alam bawah sadar dan alam bawah sadar serta mendukung penyatuan keduanya). – Carl Gustav Jung –

Bettleheim (2010) dan von Franz (1996) menegaskan bahwa keterlibatan dalam cerita menjadikan apa yang tidak disadari menjadi sadar, menciptakan persatuan di antara keduanya. Sharp (1991) menjelaskan definisi Jung tentang fungsi transenden seperti kutipan di atas adalah jalan tengah di mana alam bawah sadar dan alam bawah sadar bersatu. (Psikologi Cerita, Akhmad Mukhlis (2023) : 25)

Tahukah kalian tentang “transendensi kehidupan?” yaitu manakala seseorang individu atau manusia itu mengalami suatu pengalaman dimana ia bertransformasi dan mengalami pembeharuan. Ini bisa kalian lihat pada sub bab psikologi kelahiraan-kembali atau tentang 4 (empat) arketipe C.G. Jung tentang Psichology of Re;birth. Jadi bisa dilihat dari suatu bentuk simbol metafor dalam suatu kisah atau suatu pristiwa transenden didalamnya mampu memberikan suatu bentuk pengalaman psikis yang membantu menemukan sentuhan afirmasi dimana sesorang menjadi pribadi yang berbeda dan terlahir-kembali seolah mendapatan suatu hal baru didalam dirinya ibarat suatu ilham pencerahan.

Atau bahkan dari kita semua pernah melakukan suatu sesi cerita terhadap diri sendiri atau dalam kata lain asyik mengobrol dengan diri sendiri dengan melakukan self talk dan entah itu sedang memberi support, menggerutu pada diri sendiri atau kesal dengan sesuatu hal. Sebenarnya ada yang menjelaskan tentang hal ini, salah satu pendapat diantaranya dari Daniel Swigley dan Gary Lupya[9] (2011) mengungkapkan bahwa berbicara pada diri sendiri membuat otak bekerja lebih efektif. Ini juga senada dengan yang apa yang disampaikan psikolog Linda Sapadin, menurutnya, berbicara pada diri sendiri membantu menjernihkan pikiran, menenagkan diri, dan membuat keputusan yang jelas dimasa-masa sulit.

Dan ketahuilah juga menulis sebagai sarana mencapai pengalaman transenden adalah sebuah fenomena menarik, seru, dan menyenangkan. Karena dengan menulis kita mampu terhubung kedalam diri sendiri, dengan menulis kita dapat menjalin hubungan yang lebih intim dan jernih dengan diri sendiri. Sebab, dengan menulis, seseorang mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan secara jujur dan terbuka, karena seseorang dapat menelusuri dan mendalami suatu tema, pola-pola, bentuk dan makna yang tersembunyi didalam dirinya bahkan beserta pengalaman-pengalaman atau ide-ide ddalam dirinya yang merupakan keaslian (originalitas) atau hal auentik seputar apa yang tersaji dan tertuang pada benak pribadinya.

Melalui proses menulis seseorang dapat mengeksplorasi kreativitas dan menemukan arti makna didalam tulisannya karena terapi menulis merupakan salah satu seni dari bagian terapi seni (art therapy). Setidak-tidaknya ada dua jenis terapi menulis, yaitu terapi diary (ekspresif) dan terapi journal (reflektif).[10] Banyak penelitian ilmiah yang menjelaskan manfaat menulis bagi kesehatan, baik itu tulisan reflektif (jurnal) maupun tulisan yang bersifat ekspresif seperti cerita dan puisi. Penelitian awal tentang manfaat menulis ekspresif dilakukan oleh James Pennebeker (Lahir 2 Maret 1950), seorang psikolog sosial asal Amerika. Ia bersama koleganya melakukan penelitian tahun 1986 tentang pengaruh menulis ekspresif terhadap kesehatan fisik dan mental. Menurut James W. Pennebaker, menulis ekspresif berdampak positif pada perbaikan kekebalan tubuh (imun) dan kualitas emosional, sekaligus juga dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental mereka. Menulis ekspresif merupakan cara untuk membuka saluran agar ketakutan, kekesalan, kemarahan, ataupun kengerian itu keluar dari persembunyiaannya.[11]

Kita mengetahui bahwa banyak peristiwa yang mungkin akan menjadi awan gelap dalam kehidupan kita, namun satu hal yang perlu diketahui seperti apa yang dikutip dari Heather Silvestri, Psikolog Klinis dari New York, ketika pikiran dan perasaan diselimuti awan gelap, itu pertanda bahwa kesehatan mental membutuhkan perhatian lebih dan membutuhkan terapi segera. Menurut Heather Silvestri, salah satu terapi yang paling mudah dilakukan adalah terapi jurnal. Kata Pennebaker,”Jurnal menyediakan kesempatan untuk katarsis tentang peristiwa yang sangat emosional.[12]

[1]Dr. Yohanes Yupilustanaji Apgrianto, Pr.,M.Hum., dkk., Terapi Menulis Demi Ketangguhan Diri, PT Kanisius, (Yogyakarta : 202), Hal 14

[2] [2]Dr. Yohanes Yupilustanaji Apgrianto, Pr.,M.Hum., dkk., Terapi Menulis Demi Ketangguhan Diri, PT Kanisius, (Yogyakarta : 202), Hal 13

[3] Akhmad Mukhlis, Psikologi Cerita, Salemba Humanika, (Jakarta: 2023), Hal 9-10

[4]Dalam Dr. Yohanes Yupilustanaji Apgrianto, Pr.,M.Hum., dkk., Terapi Menulis Demi Ketangguhan Diri, PT Kanisius, (Yogyakarta : 202), Hal 11

[5] Akhmad Mukhlis, Psikologi Cerita, Salemba Humanika, (Jakarta: 2023), Hal 10

[6] Akhmad Mukhlis, Psikologi Cerita, Salemba Humanika, (Jakarta: 2023), Hal 10

[7] Akhmad Mukhlis, Psikologi Cerita, Salemba Humanika, (Jakarta: 2023), Hal 11-13

[8] Akhmad Mukhlis, Psikologi Cerita, Salemba Humanika, (Jakarta: 2023), Hal 19

[9] Dalam Dr. Yohanes Yupilustanaji Apgrianto, Pr.,M.Hum., dkk., Terapi Menulis Demi Ketangguhan Diri, PT Kanisius, (Yogyakarta : 202), Hal 15

[10] Dr. Asep Achmad Hidayat, Journaling Therapy (Terapi Menulis Jurnal), Nuansa Cendekia Publishing & Printing, (Bandung:Januari 2020), Ebook 1, Hal 15

[11] Dr. Asep Achmad Hidayat, Journaling Therapy (Terapi Menulis Jurnal), Nuansa Cendekia Publishing & Printing, (Bandung:Januari 2020), Ebook 1, Hal 17

[12] Dr. Asep Achmad Hidayat, Journaling Therapy (Terapi Menulis Jurnal), Nuansa Cendekia Publishing & Printing, (Bandung:Januari 2020), Ebook 1, Hal 18

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image