Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Novia Rahmah Fitriana

Patriarki dan Fatherless di Indonesia

Info Terkini | 2023-05-30 06:45:27
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/ayah-anak-perempuan-keluarga-anak-5093047/

Ketiadaan peran ayah dapat berupa ketidakhadiran secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak. Istilah ‘fatherless’ juga dikenal dengan istilah ‘fatherabsence’, ‘father loss’ atau ‘father hunger’. Tidak adanya peran ayah secara fisik oleh karena kematian, mengarahkan pada adanya sebutan anak yatim. Namun apabila ketidakhadirannya disebabkan karena ‘kepergian’ dari perannya sebagai seorang ayah, maka seorang anak dapat dikatakan ‘seolah-olah’ menjadi yatim sebelum waktunya.

Secara singkat, fatherless dapat diartikan sebagai keadaan dimana tidak adanya peran atau figur seorang ayah dalam kehidupan seorang anak. Fenomena fatherless kerap terjadi pada anak-anak yatim atau pada anak yang orang tuanya mengalami perceraian sehingga hanya diasuh oleh ibu. Namun tidak memungkinkan terjadi pada anak yang masih memiliki ayah secara hukum. Pada kasus ini, seorang anak dalam kehidupan sehari-harinya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Hal ini dapat disebabkan karena seorang ayah tidak memiliki waktu atau enggan meluangkan waktu dalam mengurus anak.

Ayah sangat berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Seorang ayah cenderung mengajarkan anak untuk memecahkan masalah dengan solusi yang tepat. Mengajarkan tanggungjawab dan moral atau tata krama agar anak dapat bertindak dengan lebih bijak. Seorang ayah juga bisa menjadi teman bermain bagi sang anak terutama dalam permainan fisik.

Dampak dari fenomena fatherless akan terus berlangsung hingga anak menjadi dewasa. Dampak yang paling sering muncul ada pada pola pikir atau psikologis anak. Seorang anak akan selalu merasa rendah akan penghargaan atas dirinya sendiri (self-esteem rendah). Selain itu timbul rasa minder atau tidak percaya diri. Takut, cemas, dan tidak bahagia. Merasa tidak aman secara fisik dan emosional. Memiliki hubungan yang rumit dengan pasangan, hingga memiliki potensi melakukan tindak kejahatan atau kenakalan remaja. Tak jarang, seorang anak juga akan memiliki masalah perilaku dan gangguan kejiwaan.

Banyak sekali faktor yang menyebabkan fenomena fatherless terjadi pada seorang anak. Contohnya saja faktor budaya patriarki. Budaya patriarki secara garis besar memiliki makna ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki dianggap lebih dominan dan memiliki hak lebih banyak untuk memutuskan sesuatu. Sedangkan perempuan dianggap lebih subordinat atau lebih rendah. Dalam hal ini seorang istri diharuskan untuk harus selalu tunduk dalam perintah atau keinginan suami.

Budaya patriarki ini meyakini bahwa laki-laki bertanggung jawab pada urusan nafkah saja. Karena itu, mereka tidak punya waktu luang untuk mengurus anak dirumah. Sedangkan untuk urusan domestik dan mengurus anak adalah tanggung jawab perempuan.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita jumpai jika seorang ayah turut serta dalam membantu pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, akan dinilai sebagai kegagalan seorang ibu dalam mengurus rumah tangganya. Padahal pada dasarnya, pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak harus melibatkan peran ayah dan ibu. Mirisnya lagi, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ayah. Hal ini dikarenakan keadaan lingkungan sekitarnya yang masih memegang erat dan menganggap benar budaya patriarki ini.

Dukungan keluarga dan lingkungan diperlukan dalam mengurangi tingkat patriarki di Indonesia. Para orang tua harus melihat dengan jelas bahwa seorang suami yang membersihkan rumah bukan suatu hal yang patut disalahkan. Seorang suami yang memasak dan membantu mencuci piring bukan suatu hal tabu yang harus disembunyikan. Seorang ayah yang membantu mengganti popok sang bayi bukan berarti sebuah kegagalan bagi sang ibu. Keseimbangan peran ayah dan ibu dalam mengurus anak harus diperlihatkan agar dapat menyadarkan masyarakat bahwa suami dan istri adalah setara.

Selama seorang anak memiliki figur ayah, yang bisa juga dihadirkan oleh kakek atau om, maka figur ‘ayah’ ini dapat tergantikan. Ibu, dengan sisi yang lebih emosional, cenderung mengajarkan anak untuk mengenal kasih, sayang, dan empati. Sedangkan ayah, dengan sisi yang lebih mengandalkan logika, mengajarkan anak untuk mandiri, disiplin, dan mengambil keputusan yang logis. Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang ‘utuh’.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image