Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Santuso

Beda Agama, Beda Cara Bertoleransi; Begini Cara Toleransi yang Benar ala Islam

Agama | 2021-12-24 19:31:54
ilustrasi toleransi (sumber gambar: jagad.id)

Menjelang 25 Desember, banyak umat Islam yang menjadi latah dengan ikut-ikutan mengucapkan selamat hari raya natal kepada kaum nasrani / kristiani. Tidak cukup sampai di situ saja, beberapa orang yang ngakunya muslim juga turut memeriahkan hari raya mereka, bahkan hingga masuk ke gereja. Mereka beralasan, mengucapkan selamat dan memeriahkan hari raya agama lain merupakan bentuk toleransi antar umat beragama.

Jika kita mempelajari Islam lebih mendalam tentang bagaimana hukumnya mengucapkan selamat atau memeriahkan hari raya agama lain, kita akan mendapati bahwa hukum melakukan hal tersebut adalah haram. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam QS. Al-Kafirun. Jika masih belum jelas, bisa mempelajari penjelasannya dalam berbagai kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama generasi salafus sholeh.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga pernah mengeluarkan fatwa nomor 5 tahun 1981. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa umat Islam haram mengucapkan selamat natal. Bahkan yang terbaru, fatwa MUI Sumatera Utara nomor 39/DP-PII/XII/2021 juga turut menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram.

Meskipun sudah dijelaskan keharamannya, masih ada pihak tertentu yang membolehkan mengucapkan selamat natal. Namun, jika ditelusuri, dalil yang mereka pakai itu ternyata tidak sesuai dengan konteks penggunaannya.

Dalil yang mereka pakai ialah adanya ucapan selamat atas kelahiran nabi Isa (di dalam QS. Maryam). Dari dalil tersebut, mereka memahami bolehnya mengucapkan selamat natal. Padahal jika kita berpikir komprehensif, Isa yang dimaksud dalam agama nasrani bukanlah nabi ---sebagaimana yang diyakini umat Islam--- melainkan sebagai anak Tuhan. Mengucapkan selamat natal berarti mengakui Isa sebagai anak Tuhan seperti kepercayaan agama nasrani. Dan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan dalam firmannya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” (QS. Al-Maidah:72).

Di samping itu, mengucapkan selamat natal berarti mengingkari firman Allah dalam surat Al-Ikhlas ayat 3. Sebab, mengucapkan selamat natal sama saja mengakui Isa sebagai anak Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat nasrani. Padahal Allah berfirman (yang artinya): “Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan”.

Adapun dalil lainnya yang mereka pakai dalam membolehkan mengucapkan selamat natal ialah bergembira bersama dengan umat agama lain yang sedang merayakan hari raya itu hal yang bagus. Padahal jika kita melihat kitab Muharror al Wajiz Fi Tafsir al Kitab al Aziz, kita dapati ketika membahas tafsir surat Al-Ghosyiyah ayat 3, diceritakan bahwa Umar bin Khattab, sahabat nabi yang dijamin masuk surga, justru menangis lantaran kasihan melihat para pendeta khusyu dalam ritual mereka yang kelak amalannya sia-sia di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Lantas, jika sudah jelas hukum mengucapkan selamat natal adalah haram, apakah berarti Islam tidak mengajari toleransi antar umat beragama?

Jawabannya ialah Islam justru menjunjung tinggi toleransi. Dalam hadits riwayat Imam Thabrani, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya) “Barang siapa yang menyakiti orang dzimmi (orang kafir yang hidup di dalam daulah Islam serta tunduk & patuh terhadap aturan di dalam daulah Islam), berarti dia telah menyakiti diriku. Dan, barang siapa menyakiti diriku, berarti dia menyakiti Allah.” Masya Allah, begitu tingginya Rasulullah melindungi warga non-muslim ketika beliau menjadi kepala negara di Madinah.

Namun, kita harus memahami bahwa toleransi setiap agama punya caranya tersendiri. Oleh sebab itu, jangan samakan cara toleransi ala non-muslim dan muslim karena pasti berbeda ajarannya. Jika umat nasrani biasa mengucapkan selamat hari raya idul fitri kepada umat Islam, itu berarti cara toleransi mereka ya memang begitu dan ajaran mereka tidak mempermasalahkan hal itu.

Adapun toleransi ala umat Islam punya caranya tersendiri. Ritual keagamaan mereka di gereja, sedangkan ibadah kita di masjid. Jelas berbeda. Jadi, kita jangan latah dengan ikut-ikutan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.

Lantas, bagaimana kita bertoleransi kepada non-muslim?

tangkapan layar cuitan Ustadz Dwi Condro Triono, Ph.D

Agar tidak salah kaprah tentang toleransi ala Islam, berikut penjelasan sederhana yang diungkapkan oleh salah seorang pakar ekonomi Islam, Ustadz Dwi Condro Triono, Ph.D. Beliau menjelaskan makna toleransi dengan menganalogikan dengan istri. “Toleransi itu cukup mengucapkan cinta kepada istri masing-masing, kemudian tidak saling mengganggu. Tidak perlu memaksakan mengucapkan cinta kepada istri orang lain. Itu malah bisa saling mengganggu,” cuit beliau dalam akun twitter-nya.

tangkapan layar cuitan akun twitter @AlGhuroba000

Penjelasan yang lain tentang toleransi juga disampaikan oleh salah satu pengguna media sosial, @AlGhuroba000. Dalam cuitannya di twitter, dia membagikan poster yang menjelaskan makna toleransi. “Toleransi itu, kamu minum kopi dan saya minum teh. Dan kita sama-sama menikmati minuman favorit kita tanpa harus masukin kopi kamu ke dalam teh saya,” tulis dalam poster yang juga sudah tersebar di berbagai media sosial itu.

Lebih lanjut, Kak Limin, koordinator komunitas @TemanSurga Kota Lubuk Linggau menuturkan untuk tidak ikut-ikutan merayakan hari raya agama lain. “Umat Islam tidak perlu ikut-ikutan merayakan hari raya umat lain. Karena setiap umat punya hari rayanya masing-masing. Dan natal bukan hari raya umat Islam,” ungkapnya.

Semoga penjelasannya ini dapat memahamkan kita semua tentang makna toleransi itu. Memang, Islam menjunjung tinggi toleransi tapi cara toleransi dalam Islam itu ialah membiarkan mereka merayakan hari raya mereka tanpa kita ganggu dan tanpa kita ikut-ikutan merayakannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image