Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Lailatul Rohmah

Masih Amankah Kami Tinggal di Bumi?

Rembuk | Friday, 26 May 2023, 01:42 WIB

Apakah Anda pernah mengalami situasi di mana Anda sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenal bersiul dan menyapa Anda dengan sebutan "sayang", "cantik", atau "ganteng"? Mereka mungkin memberikan berbagai komentar seperti "mau ke mana, cantik? mau ditemani nggak?" dan melihat tubuh Anda dari atas ke bawah, bahkan melakukan sentuhan yang tidak diinginkan. Kejadian-kejadian semacam itu tentu saja dapat menimbulkan rasa risih dan perasaan tidak aman. Meskipun kejadian-kejadian tersebut sering terjadi, mereka sering diabaikan atau dianggap sebagai hal yang wajar. Rasa tidak nyaman dan ketidakamanan ini menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari baik di ruang publik maupun semi-publik.

Data statistik menunjukkan bahwa sekitar 90% perempuan pernah mengalami pelecehan di jalan setidaknya sekali dalam hidup mereka. Kejadian-kejadian yang menimbulkan rasa risih ini dikategorikan sebagai street harassment atau pelecehan di jalan. Menurut laporan yang berjudul "Unsafe and Harassed in Public Spaces: A National Street Harassment Report", street harassment didefinisikan sebagai interaksi yang tidak diinginkan yang terjadi di ruang publik yang melibatkan dua pihak atau lebih, dan mengakibatkan korban merasa marah, risih, kesal, bahkan takut. Biasanya, korban street harassment adalah perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pria juga dapat mengalami pelecehan.

Menurut survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2021 dengan total jumlah responden sebanyak 4.326, terdiri dari 3.539 perempuan, 625 laki-laki, dan 72 responden lainnya, hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari 3.000 responden perempuan atau sekitar 78% pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Ini berarti bahwa 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Selain itu, 29% responden laki-laki dan 83% responden lainnya juga pernah mengalami pelecehan di ruang publik.

Sebanyak 2.130 responden mengalami pelecehan seksual di ruang publik, seperti di jalan umum, taman, kawasan pemukiman, transportasi umum, pusat perbelanjaan, tempat kerja, bahkan fasilitas kesehatan dan institusi pendidikan. Pelecehan seksual juga terjadi di ruang publik online, seperti media sosial, aplikasi kencan, permainan virtual, dan sebagainya. Tingginya kasus pelecehan seksual di ruang publik menunjukkan bahwa pelecehan dapat terjadi di tempat yang ramai, bukan hanya di ruang yang tertutup.

Sumber: Pinterest

Hasil survei yang dilakukan oleh KRPA juga menunjukkan bahwa pelaku yang paling sering terlibat dalam pelecehan seksual adalah orang yang tidak dikenal. Hal ini berbeda dengan survei yang dilakukan oleh SAFEnet yang menunjukkan bahwa mantan kekasih atau mantan suami adalah pelaku pelecehan seksual yang paling tinggi. Menurut Ellen dari SAFEnet, kasus pelecehan seksual sering terjadi karena penyebaran konten intim tanpa izin yang mengarah pada tindakan doxing, seperti penyebaran nomor telepon dan ancaman.

Setiap korban pelecehan tentunya akan mengalami dampak dari pelecehan seksual tersebut, tergantung pada tingkat keparahan dan lamanya pelecehan seksual tersebut terjadi. Dampak psikologis yang mungkin dialami oleh korban meliputi keinginan untuk membalas dendam pada pelaku, serangan balik atau victim blaming yang hanya memperburuk kondisi psikologis korban. Sistem yang seharusnya melindungi korban justru dapat membuat mereka lebih rentan mengalami pelecehan seksual di masa depan. Selain dampak psikologis, korban juga dapat mengalami dampak sosial seperti penurunan prestasi di sekolah atau pekerjaan, reputasi yang rusak, seringnya absen, kehilangan kepercayaan pada lingkungan sekitar, dan bahkan kehilangan karier. Selain itu, dampak fisiologis seperti depresi, serangan panik, gangguan kecemasan, gangguan tidur, kehilangan motivasi, hingga pemikiran untuk bunuh diri juga dapat terjadi pada korban pelecehan seksual.

Lalu, apa solusi untuk mengatasi pelecehan seksual? Apakah korban harus selalu mengenakan pakaian yang tertutup? Kenyataannya, pelecehan seksual tidak bergantung pada pakaian yang dikenakan. Menurut survei nasional yang dilakukan oleh KRPA pada tahun 2018, sekitar 17% korban pelecehan mengenakan rok atau celana panjang, 15% mengenakan baju berlengan panjang, 14% mengenakan seragam sekolah, dan 13% mengenakan baju yang longgar. Sementara itu, korban yang mengenakan pakaian agak transparan hanya sekitar 0,44%, dan yang mengenakan tank top sekitar 0,36%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pelecehan seksual tidak terkait dengan jenis pakaian yang dipakai. Solusi yang tepat untuk mencegah pelecehan seksual adalah dengan saling menghormati dan menjaga batasan antara perempuan dan laki-laki, serta menundukkan pandangan seperti yang dianjurkan oleh Allah dalam QS. An-Nur: 30-31.

Referensi:

Ayuningtyas, K. (2022, January 31). Survei: Pelecehan Seksual Terus Terjadi di Ruang Publik. Retrieved May 25, 2023, from Deutsche Welle website: https://www.dw.com/id/pelecehan-seksual-di-ruang-publik-selama-pandemi/a-60608455

Dewi, I. A. A. (2019). Catcalling: Candaan, pujian atau pelecehan seksual. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 198-212.

Triwijati, N. E. (2007). Pelecehan seksual: Tinjauan psikologis. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 4, 303-306.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image