Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Izza Zahidah Mutmainah

Trauma Healing: Langkah Penanggulangan PTSD pada Anak Korban Bencana

Info Sehat | 2024-12-19 15:51:06
freepik.com

Pernah melihat sekumpulan pekerja sosial yang menghibur anak-anak korban bencana? Seperti mewarnai bersama-sama, bermain, atau berdongeng? Para relawan secara sadar telah memberikan Trauma Healing kepada anak-anak korban bencana. Lalu, apa itu Trauma Healing? Seperti apa kegiatannya? Simak artikel di bawah ini untuk mengetahui lebih lanjut!

Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia mengakibatkan tersimpannya rasa trauma dan duka yang mendalam bagi para korban bencana, terlebih pada korban anak-anak. Trauma pascabencana tersebut bisa saja tersimpan pada diri seorang anak hingga dapat mengganggu perkembangan psikisnya. Pengalaman traumatis akibat bencana ini jika tidak segera ditangani akan menimbulkan gangguan stress pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD pada anak dapat disembuhkan melalui Trauma Healing. Trauma Healing sendiri merupakan proses penyembuhan untuk mengatasi gangguan psikologis seseorang pascabencana. Lantas, kegiatan dan langkah-langkah Trauma Healing seperti apa yang dapat kita terapkan untuk mengurangi kecemasan dan stress pada anak-anak pascabencana? Berikut penanganannya dengan pendekatan Terapi Bermain menurut E. Nawangsih

Langkah pertama: Membuat Interaksi

Hal yang paling utama dalam langkah awal ini adalah kita sebagai konselor atau pekerja sosial bisa mulai membuka interaksi yang hangat serta melakukan pendekatan kepada anak-anak agar terciptanya rasa kepercayaan dan keamanan pada anak-anak, bisa sambil bernyanyi, tebak-tebakan, dan lain-lain.

perlu diingat, peran orang tua dalam kegiatan bermain ini penting, karena dapat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan diri anak. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai pendukung aktif dalam proses pemulihan anak (karimah, 2015)

Langkah kedua: Permainan kreatif

Ketika anak sudah merasa nyaman dan menikmati kegiatan mereka, tentunya dengan fasilitas yang sudah dipersiapkan akan menunjang keberlangsungan selama trauma healing ini berjalan. Lalu anak-anak akan mengekspresikan dirinya dengan mengembangkan kreativitasnya juga menyalurkan perasaan emosinya.

Kegiatan yang bisa dilakukan anak contohnya menggambar, dengan ini anak-anak dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan positif maupun negatif, mengembangkan fantasi, serta kreativitasnya. Selain menggambar, ada mewarnai, bernyanyi, membuat karangan dengan tanah liat, bermain permainan sederhana, storytelling, dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan menyenangkan akan membuat anak teralihkan dari rasa khawatir dan takut akibat bencana yang telah terjadi. Sebuah penelitian oleh Moeslichatoen (2004) menunjukkan bahwa permainan yang melibatkan bercerita dan menggambar dapat menjadi media yang efektif untuk mengekspresikan emosi anak-anak.

Langkah ketiga: Apresiasi

Pada tahapan akhir ini, konselor atau pekerja sosial dapat mengakhiri proses kegiatan terapi apabila anak telah menunjukkan kemajuan dan menunjukkan kebutuhannya dengan minimal secara lisan maupun simbolik kepada konselor. Setelah itu, dapat dilihat dari apa yang anak telah gambar atau karyanya, apakah karya tersebut mempunyai unsur negatif yang berkaitan dengan traumanya atau tidak? Jika iya, kita bisa menindaklanjuti anak tersebut dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif untuk penyembuhan traumanya.

Kesimpulan

anak-anak yang mengalami trauma bencana membutuhkan dukungan lebih dari sekadar perawatan medis. Trauma healing, terutama terapi bermain, memberikan mereka ruang untuk memproses emosi negatif dan membangun kembali kehidupan yang positif. Selain itu, dukungan dari keluarga, komunitas, dan tenaga profesional juga sangat penting dalam proses pemulihan ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image