Mengenal Kepercayaan Sapta Darma yang Cinta Damai dan Menjunjung Tinggi Toleransi
Agama | 2023-05-25 04:59:39Aliran kepercayaan, di Indonesia, kini telah menjadi sesuatu yang dapat hidup berdampingan dengan agama. Hal tersebut dapat kita lihat dan rasakan perbedaannya, contohnya dengan diubahnya peraturan bahwa para penghayat kepercayaan dapat mencantumkan identitasnya sebagai penghayat di kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) tanpa harus ‘menumpang’ pada agama lain. Dengan dilandasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, para penghayat tidak perlu lagi mengisi kolom agama dengan setengah hati. Perubahan ini tentu membawa angin segar bagi sekian banyak penghayat dari berbagai kepercayaan yang ada di Indonesia.
Salah satu kepercayaan yang eksistensinya sudah diakui adalah Kepercayaan Sapta Darma atau Sapto Darmo. Kepercayaan ini berpusat di Yogyakarta, tetapi memiliki Sanggar Candi Busana, tempat ibadah para penghayatnya, di Surabaya. Sanggar tersebut bertempat di Jalan Jermursari Selatan VI No. 30-32, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Lahan yang ditempati Sanggar Candi Busana berada di tengah pemukiman yang mayoritas penduduknya merupakan pemeluk agama, terutama Islam. Akan tetapi, di tengah banyaknya kasus pertikaian yang didasari perbedaan agama atau kepercayaan, masyarakat di sekitar sanggar justru memiliki hubungan yang baik dengan para penghayat Kepercayaan Sapta Darma. Tingginya sifat toleransi dan ramahnya sikap yang dimiliki oleh para penghayat, menjadi salah satu alasan mengapa perselisihan tidak pernah terjadi. Baik penghayat kepercayaan maupun pemeluk agama yang ada di daerah ini saling mengerti dalam melaksanakan ibadahnya, seperti tidak menggunakan pengeras suara dengan volume yang terlalu keras, tidak menggunakan infrastruktur umum secara berlebihan, dan sebagainya. Hal tersebut juga disebabkan oleh patuhnya penghayat Kepercayaan Sapta Darma kepada pedomannya, yaitu Mewarah Pitu dan Sesanti. Mewarah Pitu merupakan pedoman yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh penghayat kepercayaan Sapta Darma. Seperti namanya, Mewarah Pitu memiliki tujuh kewajiban yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah seperti berikut:
1) Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng
2) Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan Negaranya.
3) Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya.
4) Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
5) Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
6) Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila, beserta halusnya budi pakarti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.
7) Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (Anyakra Manggilingan).
Pedoman ini digunakan para penghayat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya agar senantiasa berada di jalan yang baik dan lurus.
Konsep Sesanti bagi penganut kepercayaan Sapta Darma sama seperti Bhinneka Tunggal Ika untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan yaitu sebagai semboyan. Semboyan ini berbunyi “Ing ngendi bae marang sapa bae warga sapta darma kudu sumunar pindha baskara.” yang berarti “Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya.” Maknanya sama seperti terjemahannya, bahwa setiap penghayat harus siap membantu siapa saja dan kapan saja.
Kepercayaan Sapta Darma juga tidak memiliki intensi untuk menyebarkan secara terang-terangan ajaran kepercayaannya kepada khalayak luas, mereka mengaku tidak melakukan hal-hal yang berbau syiar. Pengembangan ajaran kepercayaan ini akan diterima oleh mereka yang memang bersungguh-sungguh ingin bertobat jauh dari hati terdalamnya. Jadi, Kepercayaan Sapta Darma lebih ingin orang-orang untuk merasakan sendiri ‘tarikan’ dari diri mereka untuk ikut meyakini kepercayaan ini, tanpa paksaan dari pihak manapun karena Kepercayaan Sapta Darma adalah tentang mengenal diri, merasakan diri, dan menghubungkan diri dengan Hyang Maha Kuasa. Bagi orang-orang yang memang ingin meyakini kepercayaan ini, mereka akan disujudkan atau dituntun untuk melakukan sujud seperti yang dilakukan pada ibadah Kepercayan Sapta Darma pada umumnya. Setelah itu, mereka hanya perlu meyakinkan hati untuk terus berbuat baik dan bajik seperti yang tertera pada Mewarah Pitu dan Sesanti.
Baiknya hubungan para penghayat kepercayaan dan pemeluk agama ini juga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa kepercayaan bukanlah sesuatu yang sesat atau bahkan sesuatu yang memuja setan dan menduakan Tuhan. Peningkatan kesadaran publik tentu menjadi alasan untuk tetap menjaga adanya individu yang meyakini Kepercayaan Sapta Darma ini. Jika stigma bahwa kepercayaan di Indonesia adalah sesuatu hal yang buruk terus berkembang, itu artinya terus merosotnya mentalitas kita yang seharusnya toleran terhadap keberagaman yang ada di sekitar. Adanya kontribusi nyata yang diberikan oleh Kepercayaan Sapta Darma ini dalam memecahkan masalah sosial di sekitar sanggar menjadi bukti bahwa tidak ada sedikitpun hal yang mereka lakukan berniat tidak baik. Perlu adanya edukasi mengenai berbagai kepercayaan yang ada di Indonesia dan bagaimana kita harus menyikapinya sebagai penganut agama lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.