Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naila Junita Bita Wilani

Stereotip Childfree di Indonesia

Lainnnya | Thursday, 25 May 2023, 00:56 WIB

Setiap individu memiliki hak dalam menentukan keputusan hidupnya masing-masing. Seperti halnya dalam memilih rencana setelah pernikahan. Childfree salah satu keputusan tersebut. Pemikiran ini muncul karena banyaknya populasi yang tengah gencar di masyarakat.

Sources : "Willow & Roxas" by u/cabbagesandkings14

Namun, pemikiran childfree ini menimbulkan pertentangan dari sebagian masyarakat Indonesia. Konsep dari childfree ini masih sulit untuk diterima terutama oleh generasi-generasi tua yang masih berpegang teguh terhadap budaya. Banyak yang menganggap bahwa pasangan childfree itu menolak rezeki yang diberikan oleh tuhan. Timbulnya pemikiran ini mengakibatkan terintimidasinya keeksistensian pasangan dengan pemikiran childfree.

Dibalik pertentangan-pertentangan tersebut, terdapat alasan beberapa pasangan di Indonesia memilih untuk childfree. Naiknya angka kelahiran menimbulkan meledaknya populasi di Indonesia. Kepadatan penduduk yang berlebih dapat menyebabkan kemiskinan-kemiskinan baru terutama di kota-kota besar. Hal ini juga menjadi isu tersendiri dalam childfree.

Berdasarkan data badan pusat statistik, persentase penduduk miskin di perkotaan pada bulan Maret 2022 sebesar 7,50 persen meningkat menjadi 7,53 persen pada September 2022. Peningkatan kemiskinan ini selalu diiringi dengan peningkatan angka kelahiran yang tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak masyarakat yang masih menanamkan pola pikir “banyak anak banyak rezeki” yang menganggap bahwa anak dapat dijadikan sebagai investasi menguntungkan. Sehingga tidak sedikit keluarga yang memiliki anak lebih dari dua.

Tingkat pertumbuhan penduduk tentu saja akan berpengaruh terhadap banyaknya angkatan kerja. Tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja, dapat menyebabkan banyaknya pengangguran-pengangguran pada usia produktif. Dengan adanya peningkatan angka pengangguran yang terus berlanjut, akan berdampak pada naiknya persentase kemiskinan.

Tidak hanya dalam segi ekonomi, melejitnya jumlah penduduk juga memberikan dampak terhadap lingkungan. Setiap manusia pasti membutuhkan rumah untuk bertahan hidup. Namun, bagaimana jika angka kelahiran terus meningkat sementara bumi tidak akan meluas untuk ditinggali? Yang akan terjadi adalah, lahan terbuka hijau yang tersedia menjadi sangat minim karena harus di alih fungsikan menjadi pemukiman. Jika dilihat dari sisi positifnya, childfree berpotensi memberikan dampak baik bagi permasalahan-permasalahan sosial di atas seperti mencegah terjadinya over populasi dan kerusakan alam, serta dapat menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.

Disamping permasalahan dan isu-isu lingkungan yang menjadi alasan, terdapat pula alasan-alasan personal yang mendasari keputusan pasangan untuk memilih childfree. Ketidaksiapan secara mental maupun materil, kekhawatiran atas tumbuh kembang anak, dan merasa tidak cocok menjadi orang tua. Bagaimanapun menjadi orang tua merupakan tanggungjawab seumur hidup, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun nyatanya, keputusan untuk childfree di Indonesia masih mendapat banyak pertentangan. Konsep pemikiran ini masih dianggap tabu dan tidak lazim karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Mempunyai anak untuk dijadikan sebagai patokan kebahagiaan, padahal tolak ukur kebahagiaan setiap orang pasti berbeda. Pandangan masyarakat terhadap perempuan juga perlu dirubah. Perempuan akan dianggap tidak sempurna dan menyalahi kodrat jika tidak mempunyai anak. Mempunyai seorang anak bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Jika tidak siap, berbagai problematika negatif terhadap anak dapat terjadi.

Childfree masuk kedalam keputusan yang bersifat personal. Dalam memutuskannya pasti telah melewati berbagai pertimbangan atas segala konsekuensinya. Setiap individu memiliki kebebasan dalam memutuskan jalan hidupnya. Sama halnya dengan childfree. Selagi hal tersebut tidak merugikan orang lain dan melanggar hukum, kita tidak boleh menghakimi dan mendiskriminasi pilihan hidup orang lain. Saling menghormati dan dapat bertanggung jawab atas keputusan sendiri itulah yang paling penting.

Sources : www.bps.go.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image