Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kumpulan Opini Mahasiswa Unair

Mengapa Negara Adidaya Sebesar Rusia Gagal Mengalahkan Ukraina

Politik | Wednesday, 24 May 2023, 18:53 WIB
Potret tentara Federasi Rusia foto: /REUTERS

Kita semua tahu, Rusia adalah salah satu negara adidaya yang ada di dunia. Sejak runtuhnya Uni Soviet pada dekade 90-an, Federasi Rusia mengukuhkan diri sebagai suksesor negeri beruang merah tersebut, dilansir dari Global Power 2023 (23/5/2023), Rusia menduduki urutan peringkat ke-2 dalam urusan kekuatan militer. Dengan sumber daya alam yang melimpah, dan wilayah yang luas, ditambah dengan kekayaan pengalaman militer menambah alasan bagi Federasi Rusia untuk layak disejajarkan dengan negara adidaya lainnya.

Sebelum kita lanjut ke topik utama, mari terlebih dahulu mengulik riwayat kampanye militer negara pendahulu Rusia, Uni Soviet. Semasa Perang Dunia Dua (1939-1945), Uni Soviet menunjukkan hegemoninya dengan mengalahkan jerman di Front Timur. Taktik terkenal Soviet, yakni lautan manusia, berhasil menyapu bersih kekuatan Jerman yang berada di Eropa Timur hingga wilayah Balkan. Akan tetapi, Teknik ini memiliki harga mahal yang harus dibayar, yakni kerugian korban jiwa dan peralatan yang sangat tinggi, hal inilah yang akhirnya menjadi doktrin militer utama Soviet, mengandalkan kuantitas diatas kualitas. Kampanye Soviet ke Cekoslowakia, yakni pada saat Musim Semi Praha pada 1968 memberikan gambaran semu kepada dunia mengenai kekuatan militer agung Uni Soviet, menekan para partisan pembela kota Praha yang hanya dipersenjatai seadanya, melawan tank-tank baja Uni Soviet, dunia seakan tertegun, tapi apakah benar Uni Soviet Sekuat itu?

Hal tersebut terbukti di Perang Soviet-Afghanistan (1979-1989). Pada pemerintahan Leonid Bhreznev, Soviet yang awalnya hanya berniat untuk melakukan intervensi militer secukupnya untuk menjatuhkan presiden Afghanistan, Hafizullah Amin, berubah menjadi invansi besar besaran di seluruh Afghanistan. Pada awal perang, Soviet selalu tampak diatas angin, hingga pada tahun 80-an Soviet mulai lesu menghadapi perlawanan kaum mujahidin Afghanistan, hal ini juga merupakan imbas dari doktrin militer Soviet yang mengutamakan kuantitas, sehingga memaksa industri Soviet untuk terus memasok pasukan dengan amunisi dan perlengkapan militer secara terus menerus, namun disaat yang sama Soviet terus mengalami kerugian yang sebanding, berakhir dengan mundurnya Soviet dari Afghanistan tahun 1989.

Selama tahun-tahun awal berdirinya Rusia, suksesor beruang merah ini juga sudah mengalami banyak konflik militer, mulai dari Perang Chechnya Pertama (1994-1996) hingga Perang Russo-Georgia (2008) menunjukkan seberapa tidak efektifnya doktrin militer Uni Soviet terhadap perkembangan zaman. Hal inilah yang terus berlanjut hingga perang Rusia-Ukraina. Kita banyak melihat di media nasional maupun asing, banyak peralatan militer rusia yang hancur selama perang ini. Ok, mari coba kita bandingan, selama Perang Irak meletus, Amerika Serikat dan sekutu mengalami kerugian 10.000 prajurit, dan 200 tank, operasi dijalankan selama 7 bulan dan berakhir dengan kemenangan mutlak sekutu, berbeda dengan Perang Rusia-Ukraina, dilansir dari berbagai sumber, pihak Rusia melalui conference press oleh Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoygu mengklaim bahwa 5.937 tentara rusia tewas, namun, hasil lain dari media internasional berkata lain, dilansir dari NBC, kerugian rusia mencapai 100.000 personel, bahkan media inggris BBC berani mengklaim rusia kehilangan 20.000 orang per bulan dalam perang ini.

Sejak 24 Februari 2022, Rusia sudah mengirim apa yang mereka sebut sebagai “operasi militer khusus” ke Ukraina, dimana operasi ini diklaim akan selesai dalam 3 hari, namun realitanya berkata lain, jadi apakah penyebab hal ini bisa terjadi?

Yang pertama, faktor perbekalan, sedari awal perang pecah, Rusia memperkirakan perang akan selesai dengan cepat, dimana hal mengakibatkan kurangnya persiapan Rusia untuk pertempuran jangka panjang, selain itu, sedari awal perang, Rusia gagal mengamankan suplai perbekalannya, dimana garis perang yang terlalu panjang dan serangan sproradis dari gerilyawan Ukraina menyusahkan pengiriman perbekalan Rusia. Disisi lain, Ukraina terus mendapatkan perbekalan dan senjata dari barat, hal inilah yang membahayakan posisi Rusia.

Yang kedua, superioritas angkatan udara Rusia yang semu. Perlu diketahui, bahwa kunci utama kemenangan Amerika dalam berbagai operasinya, mulai dari Perang Dunia Dua hingga Perang Teluk, hal ini dilakukan dengan menghancurkan bandara, perlindungan anti-udara dan pesawat lawan sehingga pihak sendiri mampu melancarkan serangan udara secara leluasa, sehingga memberikan dukungan kepada angkatan darat untuk maju. Hal ini tidak tampak pada perang kali ini, dimana wilayah Ukraina Barat masih belum dalam genggaman Rusia dan bantuan dari Polandia berupa beberapa pesawat MIG-29 kepada Ukraina, sehingga Rusia masih belum bisa menguasai wilayah udara Ukraina secara total.

Yang ketiga, doktrin militer Rusia yang sudah using, dimana kuantitas tidak lagi menjadi momok di perang modern, negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Jerman sudah membuktikan bahwa kualitas peralatan tempur mereka memberikan hasil positif untuk meningkatkan kesuksesan mereka dalam berperang. Alih-alih demikian, Rusia masih bersikukuh dalam menggunakan ranpur tua peninggalan Soviet yang menjadi santapan bagi rudal Javelin dan Stinger kiriman barat.

Yang keempat, embargo dan sanksi ekonomi. Sejak perang ini dimulai, Rusia mendapatkan banyak sanksi ekonomi dari berbagai negara, hal ini berdampak pada kestabilan ekonomi bagi Rusia, dimana semakin panjang perang ini, semakin berat pula bank sentral rusia untuk menanggung seluruh biaya perang dan semakin kecil pula pendapatan asing Rusia. Dengan menurunnya pendapatan Rusia, alat-alat perang yang digunakan juga dikhawatirkan akan menurun secara kuantitas dan kualitasnya.

Masih banyak faktor lain yang menyebabkan Rusia gagal untuk mengakhiri perang ini secara cepat, namun empat faktor krusial diatas merupakan penyebab utama mengapa negara adidaya seperti Rusia gagal memanfaatkan peluangnya melawan Ukraina. Namun, penulis sendiri berharap, perang ini segera selesai, agar korban jiwa dari kedua pihak tidak lagi berjatuhan dan perdamaikan dunia sekali lagi dapat terjaga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image