Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image griselda yolanda

Berbelanja, Mengikuti Akal atau Emosi?

Bisnis | Monday, 22 May 2023, 20:52 WIB
Sumber : www.dictio.id

Melihat kondisi setelah terjadinya pandemi, banyak orang yang pada akhirnya harus lebih banyak untuk menghabiskan waktu di rumah. Dengan jumlah pergerakan yang terbatas akan berpengaruh dengan kejenuhan yang dialami. Oleh karena itu, banyak orang yang berusaha untuk melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan dapat menghilangkan kejenuhan tersebut, salah satu contoh kegiatannya adalah berbelanja. Sebelum dimulainya masa pandemi, banyak orang ketika berpikir tentang berbelanja tentunya berkaitan dengan supermarket, pasar, ataupun juga mal. Namun, dengan adanya masa pandemi, kesempatan untuk pergi berbelanja tentunya semakin terbatas dan sebab itu mendorong banyak orang untuk mulai beralih berbelanja melalui marketplace. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia tahun 2022, pengguna internet di Indonesia yang berbelanja online sebanyak 88,1%. Dengan data tersebut, Indonesia menduduki peringkat pertama dari segi penggunaan layanan belanja online. Kegiatan yang dilakukan di rumah ini mendorong terjadinya fenomena impulsive buying atau membeli barang dengan tidak terkendali atau impulsif.

Impulsive buying (pembelian impulsif) merupakan suatu gaya berbelanja yang didasarkan kepada emosi yang berasal dari dalam individu konsumen itu sendiri, sehingga mengenyampingkan factor sosial dan interaksi dalam pengambilan keputusan yang mereka buat. Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan bahwa impulsive buying adalah situasi dimana konsumen membeli tanpa perencanaan sehingga seseorang akan mengalami kebingungan secara pikiran dan emosional, emosi tersebut mengakibatkan seseorang merasa

dan merasa lega setelah mendapatkan produk yang diinginkan serta mengabaikan efek negatif yang timbul setelah membeli produk tersebut. Dalam praktiknya, keputusan ini lebih menggunakan emosi perasaan daripada logika. Oleh karena itu, impulsive buying dapat membawa dampak negatif bagi pelakunya. Karena kebiasaan ini cenderung membeli produk sesuai keinginan bukan berdasar kebutuhan, maka hal tersebut dapat mengakibatkan pemborosan sehingga mengancam kesehatan finansial.

Kegiatan impulsive buying sendiri terbagi menjadi beberapa bentuk yaitu :

1. Reminder Impulsive Buying

Reminder impulsive buying yakni terjadi pada saat konsumen melihat produk dan kemudian membuatnya mengingat sesuatu akan produk tersebut. Hal tersebut terjadi bisa jadi karena konsumen tersebut mengingat iklannya atau rekomendasi dari orang lain.

2. Pure Impulsive Buying

Pure impulsive buying terjadi ketika konsumen benar-benar tidak merencanakan apapun untuk membeli suatu produk. Jadi dapat dikatakan perilaku melakukan pembeliannya bersifat spontan

3. Suggested Impulsive Buying

Suggested impulsive buying terjadi saat dimana perilaku pembelanjaan ini terjadi karena adanya rangsangan dari toko melalui kegiatan promosi.

4. Planned Impulsive Buying

Planned impulsive buying terjadi dimana konsumen sebenarnya mempunyai rencana namun keputusan membelinya tergantung pada harga dan merek yang ditawarkan. Jadi dalam pembelian ini, keputusan pembelian tergantung dari atribut produk yang ditawarkan.

Tidak semua kegiatan berbelanja dalam jumlah banyak dapat dikategorikan sebagai impulsive buying. Terdapat beberapa penanda yang bisa menunjukkan kebiasaan impulsive buying, yang pertama, suka mencari kepuasan instan. Ketika merasa merasa jenuh, bosan, atau stress dan membutuhkan kepuasan instan, maka orang tersebut akan melakukan kegiatan berbelanja secara impulsif sebagai kepuasan diri.

Yang kedua adalah melakukan pembelian barang tanpa pertimbangan. Ketika merasa tertarik pada suatu produk, kemudian langsung membelinya tanpa berpikir dua kali tentang tujuan, manfaat, dan kemampuan finansial, maka Anda masuk dalam kategori belanja secara impulsif.

Poin ketiga adalah salah satu kebiasaan yang sering dilakukan oleh para generasi muda saat ini, yaitu bekerja keras demi mencapai tujuan pribadi dengan melakukan self-reward sebagai apresiasi diri sendiri. Sebenarnya hal tersebut tidak salah bila kita menempatkan secara bijak. Namun jika terus membeli barang dengan dalih self-reward maka Anda masuk dalam kategori belanja secara impulsif.

Kemudian mengenai dampak dari impulsive buying bisa bervariasi tergantung pada individu dan konteksnya. Ada beberapa dampak yang mungkin timbul akibat perilaku impulsive buying, antara lain, yaitu masalah keuangan. Ketika seseorang sering kali melakukan impulsive buying, dia cenderung menghabiskan lebih banyak uang dari yang seharusnya. Ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan anggaran bahkan masalah keuangan jangka panjang.

Impulsive buying seringkali dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Akibatnya, malah membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan atau tidak memberikan nilai jangka panjang dan akhirnya arang-barang tersebut mungkin tidak digunakan dengan maksimal sesuai tujuan awalnya, atau hanya dijadikan sebagai pajangan dan menjadi penumpukan barang yang tidak digunakan. Ini tidak hanya membuang-buang uang, tetapi juga menciptakan kekacauan dan pengurangan ruang hidup.

Setelah efek positif yang singkat dari impulsive buying hilang, seringkali muncul perasaan penyesalan dan kecemasan. Pelaku mungkin merasa bersalah karena menghabiskan uang secara tidak terencana atau merasa cemas tentang konsekuensi keuangan jangka panjang. Hal ini dapat menyebabkan stres dan ketidakpuasan emosional. Selain itu, impulsive buying juga dapat mengganggu perencanaan keuangan jangka panjang dan mengaburkan prioritas yang sebenarnya. Seseorang mungkin kesulitan mencapai tujuan keuangan yang lebih penting, seperti menabung untuk masa depan, investasi, atau membayar hutang, karena uang telah dialokasikan untuk pembelian impulsif yang tidak terencana.

Di sisi lain, faktor sosial dan tekanan konsumen juga dapat mempengaruhi impulsive buying. Media sosial, iklan, dan pengaruh teman atau keluarga dapat mendorong seseorang untuk melakukan impulsive buying. Akibatnya, seseorang mungkin terjebak dalam siklus impulsive buying yang sulit untuk dihentikan.

Impulsive buying cenderung mengganggu keseimbangan keuangan pribadi, memboroskan sumber daya, dan menyebabkan penumpukan barang yang tidak digunakan. Selain itu, impulsive buying juga dapat menimbulkan perasaan penyesalan, stres, dan kecemasan terkait keuangan. Oleh karena itu, penting untuk menyadari dampak-dampak ini dan mengembangkan kesadaran yang lebih baik dalam mengatur pembelanjaan serta finansial. Merencanakan pembelian, membuat anggaran, dan mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang dapat membantu mengelola dan mengurangi dampak negatif dari impulsive buying.

Penulis :

Griselda Yolanda (Mahasiswa Universitas Airlangga)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image