Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ikmal Anshary

Meneladani Orator Ulung, Raja Jawa tanpa Mahkota: H.O.S. Tjokroaminoto

Sejarah | Monday, 22 May 2023, 11:19 WIB
Raja Jawa Tanpa Mahkota: Haji Oemar Said Tjokroaminoto

Sosok Haji Oemar Said atau yang lebih dikenal dengan nama Tjokroaminoto, dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1882. Pahlawan Nasional ini sangat dihormati oleh berbagai golongan di Indonesia, karakter dan pola pikirnya dipengaruhi oleh keluarga dan kehidupan masa kecilnya.

Tjokroaminoto adalah pemimpin, ulama, politikus, dan ekonom Islam yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Sepanjang masa hidupnya , ia mencurahkan segenap waktu, pikiran, dan tenaganya untuk kemandirian bangsa Indonesia. Ia merupakan sosok pekerja keras hingga hayatnya. Dan yang pertama kali memelopori terbentuknya organisasi pergerakan moderen yang berskala nasional, yakni Serekat Islam. Ia telah membawa pengaruh bagi para pendiri Republik Indonesia.

Tjokroaminoto sering mengajak rakyat pribumi untuk berkumpul demi menumbuhkan kesadaran pada pentingnya kemerdekaan. Dari situ pula, mulai muncul acara-acara vergadring (rapat akbar). Tjokroaminoto adalah orator yang berbakat sebagaimana pernah dilukiskan oleh penulis Belanda P.F. Dahler, “Perawakannya mengagumkan, pekerja keras dan tidak mudah mengenal lelah, mempunyai suara yang indah dan berat serta mudah didengar oleh beribu-ribu orang yang seolah-olah terpaku oleh bibirnya apabila ia berpidato dengan lancar dan keyakinan sungguh-sungguh”.

“Tjokroaminoto memiliki een mole, krachtige baritone stem (suara yang merdu dan berat kuat). Istilah baritone mempunyai arti khusus dalam seni musik”. Ujar; dahler . tjokroaminoto sendiri memang istimewa, orang di baris depan dapat mendengar suaranya sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang. Ia juga mampu mengikat perhatian massa pendengar selama berjam-jam.

Sedangkan, penulis Masyhur Amin mengatakan, “Perawakan Tjokroaminoto tegap, termasuk perawakan lelaki tulen dan bergas, artinya tanpa banyak solek dan gayanya banyak memikat hati orang lain, budi pekertinya sangat luhur, ringan tangan, mau menolong sesama, berani, dan teguh pendiriannya, disiplin waktu dan pantang mundur menghadapi lawan, serta bukan main manisnya dalam pergaulan beserta kawan-kawannya”.

Beliau juga pemimpin yang terkenal, tetapi juga teguh beribadah dan tak kuasa rasanya melukiskan tentang kepribadiannya, bahkan sampai cara berpakaian pun menunjukakan ciri nasionalnya. Sementara, banyak teman-temannya menggunakan ciri barat, tetapi beliau masih menggunakan pakaian jawa asli. Dan, pakaian inilah yang selalu dipakai kapan dan dimana saja tanpa rendah diri.

Muhammad Roem juga mengakui bahwa Tjokroaminoto sangat lihai berpidato. Ia mempersilahkan siapa pun mendengar dan melihat Soekarno atau Harsono Tjokroaminoto berpidato, maka kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto pada saat berorasi.

Soekarno memang menyerap kecerdasan Tjokroaminoto, terutama dari gaya berpidato. la sering belajar berpidato di depan cermin di dalam kamarnya yang pengap dan gelap. Di salah satu kamar kos milik Tjokroaminoto tersebut, ia berpidato secara berapi-api. la berkata, "Aku hampir setiap malam menghabiskan waktuku untuk belajar kepada Pak Tjokro. Ke mana pun ia pergi, aku tetap mengikutinya. Dan, aku hanya duduk di sana sambil belajar dengan mengamat-ngamatinya.

Dia memiliki wibawa yang besar sekali terhadap rakyat. Aku tidak pernah membaca buku-buku bacaan yang murah tentang menjadi ahli pidato di rapat-rapat umum, juga aku tidak pernah mempraktikkannya di depan sebuah cermin. Bukan karena aku tidak cukup bangga untuk berlagak di depan sebuah cermin, tetapi karena aku memang tidak pernah melakukannya. Cerminku hanya Tjokroaminoto. Aku memperhatikan sungguh-sungguh gayanya ia berpidato. Aku belajar banyak dari Pak Tjokro dan aku mempraktikkannya.."

Roem yang pernah melihat gaya berpidato Tjokroaminoto mengatakan bahwa gaya serta cara berpidato Soekarno mirip dengan Tjokroaminoto. Tinggi rendahnya suara, cara mengatur kalimat, dan menyusun kata, sangat menarik dan gampang dipahami oleh segenap pendengarnya, tidak peduli apakah ia orang awam, terpelajar, sarjana, tukang becak, ataupun pedagang.

Roem juga pernah mendengar langsung Harsono berpidato. Pada akhir tahun 1966, tidak lama sesudah dibebaskan dari tahanan, Roem mendapat undangan untuk berkunjung ke Makassar dan memberi ceramah di Aula Universitas Hasanuddin. Pada waktu itu, Harsono yang memimpin rombongan anggota parlemen sedang berada di kota tersebut dan akan berceramah di tempat dan waktu yang sama.

Harsono bicara lebih dahulu. la menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata terhadap Roem. Itulah pertama kali Harsono bertemu dengan Roem, sesudah Roem dibebaskan dari penjara. Kata-katanya baik, bahkan sangat manis. Roem sering mendengar dan melihat Harsono berpidato. Namun, setiap kali mendapat kesempatan itu, ia mendengarkannya seperti orang terpaku. Jika dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan Tjokroaminoto berpidato, maka dari cara Harsono berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.

Harsono berpidato persis seperti Soekarno; gaya, nada. gerak-gerik tangan, dan bahasanya. Harsono memang turunan Tjokroaminoto dan tidak meniru Soekarno. Beberapa murid Tjokroaminoto lainnya juga memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berpidato yang memengaruhi massanya, seperti Semaoen dan Moeso. Semaoen yang baru berusia 18 tahun dapat mempengaruhi Sarekat Pekerja untuk melakukan pemogokan melalui pidatonya. Sedangkan, Moeso dikenal sebagai pembicara ulung, walaupun tindak tanduknya tidak formal.

Tjokroaminoto adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat jelata. la rajin keluar-masuk kampung la menolak sembah dan jongkok. Dengan kedekatan itulah, ia berhasil memenangkan hati rakyat. Tjokroaminoto juga konsisten dengan konsolidasi massa Sarekat Islam, la sering menggelar vergadering atau rapat akbar. Vergadering memberi pengalaman baru bagi rakyat karena "suasana riang dan gegap gempita, penuh semangat dan rasa solidaritas, dan menempatkan semua orang sama rata-sama rasa".

Di dalam vergadering ada musik, bendera-bendera potret-potret, pidato yang berapi-api, penyampaian keluhan, pekik perjuangan, dan lain sebagainya. Semua orang yang hadir, tanpa memandang pangkat dan status sosial, duduk sejajar, bebas mengobrol satu sama lain, tanpa harus menghaturkan sembah ataupun jongkok. Tata hierarki masyarakat Jawa yang diperparah oleh kolonialisme dijung- kir-balikkan.

Salah satu pidato hebat Tjokroaminoto tampak ketika berpidato di Bandung pada tahun 1916. la mengatakan, “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasibnya sendiri". Tjokroaminoto memang hebat dalam pidato. Namun, tulisan-tulisannya juga tidak kalah menarik dengan pidatonya. la mampu menumbuhkan harapan kepada rakyat, sehingga banyak orang. Pada tahun 1919, Sarekat Islam memiliki sebanyak sekitar 2.5 juta pengikut dan seluruh indonesia.

Tjokroaminoto pun dianggap Juru Selamat atau Ratu Adil yang bergelar Prabu Heru Tjokro. Dalam masyarakat yang kurang berpendidikan, apalagi sedang ditimpa kemelaratan, penjajahan, dan kesusahan hidup lainnya, mitos Ratu Adil memang kuat. Ratu Adil akan membebaskan rakyat dari penderitaan.

Jika ditelusuri lebih jauh, maka Tjokroaminoto memang mempunyai hubungan mata rantai dengan gerakan mesianik pasca-Diponegoro. Ia adalah cucu Kyai Bagus Kesan Besari dari ponorogo yang merupakan ulama pendukung setia perjuangan pangeran Diponogoro. Ratu adil dipercaya akan membawa Jawa keluar dari kesengsaraan dan melepaskannya dari penjajahan.

Menanggapi fenomena Ratu Adil tersebut. Tjokraaminoto tidak mempercayai hal tersebut, apalagi hingga memanfaatkan keyakinan rakyat untuk meningkatkan poularitasnya. Dalam pidatonya di Kongres Nasional I Central Sarekat Islam di Bandung, secara tegas ia menolak keyakinan rakyat bahwa dirinya adalah Ratu Adil seperti yang diramalkan oleh Jangka Jayabaya. "Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, kita tidak boleh bermimpi akan datang- nya ratu adil atau keadaan-keadaan lain yang mustahil," ujarnya.

Penolakan itu tidak serta merta menghentikan kekaguman para pengikut Sarekat Islam. Rasa takjub mereka semakin besar pada saat tersiar kabar Tjokroaminoto bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam buku H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya karya Amelz (1952) diceritakan suatu hari Tjokroaminoto sakit keras hingga tidak sadarkan diri. Tidak ada tabib yang mampu mengobati. Pada suatu malam, saat terbaring lemah, sekonyong-konyong Tjokroaminoto membaca bacaan al-qur'an dengan fasih. Suaranya nyaring dengan intonasi antara keras dan lemah. Tidak berapa lama, ia duduk lalu memekik, "Ada tamu, ada tamu." "Siapa?" tanya sahabat yang menungguinya. "Rasulullah, Rasulullah." Tjokroaminoto pingsan. Kejadian yang sama terulang keesokan harinya. Ajaibnya, penyakit Tjokroaminoto berangsur-angsur berkurang.

Di sela-sela masa penyembuhan, Tjokroaminoto meminta A.M. Sangadjie, salah satu orang dekatnya, menuliskan pengalaman itu. Kepada Sangadjie, ia mengatakan telah diberi pelajaran membaca beberapa ayat Al-Qur’an oleh Rasulullah SAW.

Ia berusaha menjawab dan mengatasi persoalan yang berkembang lewat pergerakan Serekat Islam. Jelaslah kiranya bahwa ia adalah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorik politik melawan penjajah Belanda dengan iideologi Islam.

Pada tahun 1934, Tjokroaminoto sudah berusia 52 tahun. Pada saat itu, ia mulai sakit-sakitan. Walaupun demikian, ia masih terus berjuang bersama Sarekat Islam. Bahkan, ia menghadiri Kongres XX PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang diadakan pada tanggal 20 hingga 26 Mei 1934 di Banjarnegara, Jawa Tengah. Dalam kongres itu, ia memberikan wasiat tertulis yang berjudul Program Wasiat, suatu rencana pedoman umat Islam yang kemudian disahkan oleh kongres.

Sebelumnya, dalam Kongres XIX PSII di Jakarta pada bulan Maret 1933, Tjokroaminoto diserahi tugas penting untuk menyusun Reglement Umum bagi Umat Islam. Lantas, konsep ini diserahkan olehnya kepada PSII pada tanggal 4 Februari 1934 dan disahkan oleh Kongres Banjarnegara 1934. Sejak kepulangannya dari Sulawesi pada akhir tahun 1933. Namun, ia terus memaksakan diri untuk bekerja. Sesudah Kongres Banjarnegara, rekan-rekan separtainya terus menasihatinya agar beristirahat dan mengurangi aktivitasnya. Namun, ia tidak mengindahkan imbauan tersebut.

Ketika Tjokroaminoto mengikuti Konferensi Wilayah PSI Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1934 di Pare, Kediri, ia terlihat pucat dan lemah. Tidak lama kemudian, anaknya, Anwar Tjokroaminoto, yang tinggal di Jakarta mendapat kabar dari keluarga di Yogyakarta yang mengatakan bahwa kondisi Tjokroaminoto melemah. la mulai tidak bisa berjalan dan badannya mengalami kelumpuhan sebelah. Sehingga, praktis ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Akhirnya, pada hari Senin Kliwon, 10 Ramadhan 1353 H atau tepatnya pada tanggal 17 Desember 1934, Tjokroaminoto mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan aktivis PSII, Resoramli. Jenazahnya dimakamkan di Kuncen, Yogyakarta.

Semangat dan perjuangan Tjokroaminoto layak kita jadikan inspirasi dan motivasi. Kita perlu mengetahui sejarah perjuangannya. Sehingga, kita dapat memahami pemikirannya yang meliputi banyak aspek, seperti ekonomi, politik, sosial, pendidikan, ke-Islaman, dan ke-Indonesiaan. Kita dapat menyerap semangat dan idealismenya, kemudian dipraktikan sesuai situasi dan kondisi yang kita alami sekarang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image