Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas, Sudah Tepat?
Eduaksi | 2021-12-24 10:45:16Pembelajaran tatap muka terbatas seolah menjadi solusi atas permasalahan pendidikan di masa pandemi. Setelah menerapkan kebijakan pembelajaran daring selama hampir dua tahun, tentu waktu untuk menemukan metode dan ritme yang ideal. Di samping itu, Implementasi kebijakan kembalinya siswa ke sekolah perlu dievaluasi secara berkala. Hal ini menjadi penting dalam rangka menjaga kualitas pendidikan supaya tetap relevan dan optimal.
Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri mengatur panduan pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi COVID-19. Aturan secara garis besar, seluruh tenaga kependidikan wajib telah divaksinasi lengkap, menerapkan protokol kesehatan selama pembelajaran, dan menyediakan pilihan pembelajaran jarak jauh.
Dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas, orang tua memegang kendali penuh terhadap anaknya. Apabila orang tua tidak mengizinkan, maka anaknya akan tetap mengikuti pembelajaran jarak jauh yang disediakan sekolah. Sebelum dimulai pembelajaran terbatas, sekolah mengirimkan surat perizinan yang harus diisi oleh orang tua.
Dari kebijakan garis besar, kita beralih ke persoalan teknis. Kapasitas kelas dibatasi maksimal 18 orang dalam setiap sesi pembelajaran. Pihak sekolah membagi setiap kelas menjadi dua kelompok yang bergantian melakukan pembelajaran tatap muka seminggu sekali. Setiap anak hanya berkesempatan belajar di sekolah selama dua minggu sekali. Siswa yang telah melakukan pembelajaran di sekolah, minggu berikutnya melakukan pembelajaran jarak jauh.
Susunan kelas turut disesuaikan. Tempat duduk antar peserta didik diberi jarak minimal 1,5 meter. Mereka duduk berjauhan dan wajib mengenakan masker selama di sekolah. Pihak guru berperan seperti wasit dalam pertandingan sepak bola. Apabila ada murid yang melakukan pelanggaran seperti menurunkan masker, guru akan memberikan peringatan. Bahkan, mereka yang ingin minum pun harus mendapatkan izin terlebih dahulu.
SKB Empat Menteri tidak mengatur durasi pembelajaran dan jumlah hari tatap muka. Keputusan tersebut diserahkan kepada setiap satuan pendidikan. Durasi pembelajaran tatap muka dipangkas separuhnya dari waktu normal. Pembelajaran hanya berlangsung selama empat jam, dari yang biasanya delapan jam.
Dalam seminggu, pembelajaran tatap muka diselingi sterilisasi sekolah dengan penyemprotan disinfektan. Misalnya, hari Senin kelas 10 masuk, hari Selasa sterilisasi, hari Rabu kelas 11 masuk, hari Kamis sterilisasi, hari Jumat kelas 12 masuk, dan hari Sabtu sterilisasi. Pola tersebut terus berulang selama penerapan pembelajaran tatap muka terbatas.
Ruang Improvisasi
Efektifitas pembelajaran tatap muka terbatas yang dilaksanakan empat jam dalam dua minggu sekali perlu dikaji ulang. Pemerintah telah mengatur protokol kesehatan yang ketat, mulai dari wajib memakai masker, meniadakan kegiatan ekstrakulikuler, hingga menutup kantin. Langkah preventif tersebut sebenarnya cukup untuk menekan penyebaran COVID-19. Mengingat penyebaran virus utamanya melalui droplet saat melepas masker. Sehingga kapasitas kelas normal memungkinkan diterapkan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Kegiatan penyemprotan disinfektan berguna untuk mematikan virus dan bakteri yang menempel di permukaan benda. Namun, dengan selalu memakai masker dan larangan makan atau minum di sekolah, risiko penularan virus COVID-19 dari benda semakin kecil. Selain menghemat anggaran, pengurangan atau bahkan penghapusan kegiatan ini dapat meningkatkan frekuensi pembelajaran tatap muka.
Untuk mendukung peningkatan frekuensi dan durasi pembelajaran tatap muka, implementasi aplikasi Peduli Lindungi di sekolah dapat dilakukan. Saat ini aplikasi Peduli Lindungi menjadi syarat wajib memasuki pusat perbelanjaan dan tempat umum lainnya. Dengan melakukan scanning ketika masuk dan pulang sekolah, data mobilitas siswa tercatat di aplikasi.
Dewasa ini kerap ditemukan sekelompok remaja mengenakan seragam berkeliaran di restoran atau pusat perbelanjaan. Hal tersebut didorong oleh durasi sekolah yang lebih cepat dari biasanya. Protokol ketat di sekolah akan percuma apabila tanpa diiringi pencegahan kerumunan sepulang sekolah. Apalagi para siswa merasa lebih bebas beraktivitas di luar sekolah karena tanpa pengawasan guru dan orang tua.
Sinkronisasi aplikasi Peduli Lindungi dapat membantu sekolah memastikan para siswanya langsung pulang ke rumah. Para guru pasti menyarankan dan mewanti-wanti muridnya untuk tidak berkeliaran sepulang sekolah, namun dinamika kelompok akan lebih dominan memengaruhi keputusan siswa. Penyesuaian yang bisa dilakukan yaitu memunculkan notifikasi penolakan untuk siswa yang check in di pusat perbelanjaan setelah check out dari sekolah.
Belajar dari Negeri Tetangga
Pemerintah perlu berburu referensi penerapan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi dari beberapa negara yang telah melakukan kebijakan serup lebih dahulu. Beberapa negara yang memiliki pendekatan kebijakan berbeda dengan Indonesia yaitu Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Terdapat kesamaan dari ketiga negera tersebut, mereka tidak menerapkan pembatasan kapasitas kelas dan pengurangan frekuensi pembelajaran seperti di Indonesia.
Inggris dan Australia berfokus melakukan pembelajaran di luar ruangan, seperti taman sekolah. Mereka juga mengutamakan sistem penugasan Project Based Learning di tengah pandemi. Penyesuaian tersebut masuk akal untuk menghindari kerumunan dan kejenuhan dalam ruangan. Kebijakan serupa sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Hampir setiap sekolah memiliki taman dengan pohon yang rindang dan lapangan terbuka. Bukan kah, belajah outdoor lebih mengasyikan?
Kebijakan serupa diterapkan di Amerika Serikat. Namun, perbedaan mendasar yang dilakukan yaitu dengan mewajibkan orang tua mengecek kesehatan anak sebelum berangkat ke sekolah, seperti suhu dan keluhan yang dialami. Daftar yang telah ditandatangani menjadi syarat siswa untuk masuk ke sekolah.
Jadi, seberapa efektif pembelajaran tatap muka di Indonesia?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.