Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Refleksi Reformasi Mei 1998

Politik | Friday, 19 May 2023, 19:19 WIB
Ilustrasi Gerakan Mahasiswa, Sumber : www.detik.com

Refleksi artinya introspeksi diri dengan cara melihat kembali atau merenungkan berbagai hal yang telah terjadi di dalam hidup, seperti pengalaman, kebiasaan, dan keputusan. Mei identik dengan bulan reformasi politik, bulan dimana dua puluh lima tahun lalu, kekuatan rakyat (civil society) berhasil menggulingkan rezim otoritarian-totalitarian Orde Baru. Tentunya kita perlu melihat kembali atau merefleksikan diri atas berbagai capaian demokrasi selama dua puluh lima tahun ini.

Gerakan reformasi Mei 1998 identik dengan jargon enam visi reformasi, yaitu (1) adili Soeharto dan kroninya, (2) amandemen UUD 1945, (3) otonomi daerah, (4) hapus dwi fungsi ABRI, (5) hapus KKN, dan (6) tegakan superemasi hukum.

Tentu dari enam visi reformasi sudah banyak capaian kita raih lebih dari dua dasawarsa, bila kita bandingkan dengan pemerintahan Orde Baru, banyak ditemukan perbedaan signifikan. Sistem politik kontemporer mengarah kepada keterbukaan dan partisipatif. Meskipun kita tidak bisa memungkiri praksis demokrasi Indonesia masih bercorak prosedural dari pada demokrasi subtansi, kita sudah memiliki perangkat keras demokrasi betul-betul terputus dari rezim sebelummya dari regulasi politik, institusi politik, dan aktor politik. Tetapi perkembangan perangkat keras tersebut tidak berbanding lurus dengan perangkat lunak, seperti pola pikir, kebiasaan, tabiat, dan perilaku para elit.

Anomali Demokrasi

Demokrasi menyediakan ruang partisipasi politik sangat luas, tetapi praksis berdemokrasi ruang publik itu diramaikan politik identitas serta politik kebencian kepada kelompok tertentu. Demokrasi memberikan kesetaraan bagi warga negara berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik, tetapi praksis berdemokrasi sejatinya dikendalikan kelompok oligarki yang memiliki resources politik dan ekonomi. Demokrasi menjamin warga negara mengakses informasi serta kebebasan berpendapat lisan dan tertulis, tetapi praksis berdemokrasi ternyata lebih banyak diisi berita hoax dan hate speech.

Dari berbagai anomali praksis berdemokrasi di Indonesia itu, maka tidak aneh tiga tahun kebelakang, salah satu lembaga bergengsi The Economist Intelligent Unit (EIU) telah merilis skor indeks demokrasi di Indonesia, kita mengalami penurunan dramatis di tahun 2020. Skor Indonesia (6,30) masih tertinggal dari dua negara tetangga, yaitu Malaysia (7,19), dan Timor Leste (7,06). Dengan skor rata-rata 6,30 maka demokrasi Indonesia tergolong flawed democracy, Indonesia menempati urutan 64 pada ranking global.

Meskipun kemudian indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 mengalami kenaikan, berdasarkan data terbaru dari The Economist Intelligence Unit (EIU), dirilis Februari 2022, skor rata-rata indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,71. Skor ini lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020, yang menjadi raihan terendah Indonesia sejak tahun 2006. Dengan nilai tersebut peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 pada ranking global . Tetapi meskipun terjadi perbaikian indeks skor demokrasi, ternyata masih masuk kategori flawed democracy.

Dua puluh lima tahun reformasi ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah harus segera diselesaikan, agar praksis berdemokrasi kembali ke jalan benar sesuai harapan, setidaknya terdapat beberapa cara harus dilakukan terutama dalam penataan perangkat lunak.

Pertama, membangun pemahaman demokrasi inklusi, bahwa praktik marginalisasi politik kepada kelompok tertentu melanggar prinsip berdemokrasi, sistem politik demokrasi harus menjamin dan memastikan adanya kesetaraan semua warga negara. Kedua, menanamkan habitus demokrasi, meningkatkan kesadaran kognitif terhadap nilai-nilai demokrasi, melatih tingkah laku secara demokratis terus-menerus, dan menghadirkan diri seutuhnya sebagai manusia demokratis yang menghargai perbedaan, pluralisme dan toleransi. Ketiga, memperkuat komponen civil society dengan membangun kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memiliki jati diri terbuka, toleran, kritis, dan mandiri.

Peran Civil Society

Poin ketiga mengenai civil society sangat penting dalam memperkuat perangkat lunak demokrasi. Tujuan utama civil society adalah membentuk masyarakat yang mandiri secara politik, sosial, dan ekonomi. Di dalamnya masyarakat menciptakan ruang kreativitas dalam mengatur serta memobilisasi diri.

Fungsi utama civil society, yaitu (1) membentuk perkumpulan sebagai wadah masyarakat membicarakan berbagai isu politik berkembang disekitarnya secara terbuka serta jauh dari intervensi politik, (2) membentuk jaringan antar organisasi sebagai media tukar menukar informasi, serta membangun aliansi politik mandiri dan kritis, (3) mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan melakukan kritik disertai mengajukan alternatif kebijakan.

Penyadaran politik kepada masyarakat melalui peran civil society memiliki kedudukan penting, sebab demokrasi membuka ruang keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, baik di level pusat sampai level daerah. Terlebih kebijakan pemerintah bersifat mengikat semua warga negara, serta memiliki dampak mempengaruhi kehidupan warga masyarakat kedepan.

Maka menjadi keniscayaan bagi masyarakat turut serta dalam proses diskursus politik, misalnya ketika draf rancangan peraturan dibahas pemerintah (eksekutif) dan wakil rakyat (legislatif) masyarakat sipil wajib turut serta. Tidak boleh ruang diskursus dihilangkan demi alasan menekan kegaduhan agar stabilitas ekonomi pembangunan tetap terjaga. Sebab sistem demokrasi menghalalkan perdebatan dialektis antara masyarakat dan negara, tentu perdebatan berkualitas tidak pernah terjadi, kalau masyarakat tidak memiliki kesadaran serta kepekaan politik yang tinggi.

Menata perangkat lunak demokrasi tersebut, diharapakan menjadi pendorong atau memperkuat praksis berdemokrasi, sehingga demokrasi di Indonesia bergerak ke arah demokrasi subtansi meninggalkan praksis demokrasi prosedural, naik kelas menjadi demokrasi sehat bukan lagi terkategorisasi sebagai flawed democracy. Selamat ulang tahun reformasi.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Ketua Bidang Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Karawang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image