Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Cita-cita Reformasi Mei 1998 Mati di Tangan Partai-partai Borjuis di DPR

Politik | Tuesday, 21 May 2024, 07:00 WIB

Reformasi Mei 1998 adalah momen bersejarah bagi Indonesia. Tuntutan untuk perubahan menyeluruh dari rakyat, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Harapan besar muncul untuk terwujudnya demokrasi, keadilan sosial, serta pemerintahan yang bersih dan transparan. Namun, setelah lebih dari dua dekade berlalu, banyak yang merasakan bahwa cita-cita reformasi ini semakin jauh dari kenyataan. Salah satu penyebab utamanya adalah peran partai-partai borjuis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap lebih mementingkan kepentingan elit dan oligarki daripada rakyat.

### Cita-cita Reformasi: Harapan dan Kenyataan
Reformasi 1998 membawa lima agenda utama yang sering disebut sebagai "Lima Agenda Reformasi". Kelima agenda tersebut adalah:1. **Pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)**2. **Penegakan supremasi hukum**3. **Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)**4. **Otonomi daerah**5. **Pembangunan ekonomi yang berkeadilan**
Namun, realitas politik dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan bahwa banyak dari agenda tersebut belum tercapai secara memadai.
### Pemberantasan KKN
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah warisan Orde Baru yang menjadi salah satu alasan utama tuntutan reformasi. Sayangnya, meskipun ada upaya untuk memperbaiki sistem, KKN masih menjadi masalah besar. Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 adalah 34 dari 100, menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela di berbagai sektor.
Salah satu faktor penyebab berlanjutnya korupsi adalah lemahnya penegakan hukum dan kurangnya komitmen dari para politisi di DPR. Banyak anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi, menunjukkan bahwa partai-partai borjuis lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Belum termasuk pelemahan KPK yang dilakukan oleh mereka
### Supremasi Hukum dan HAM
Penegakan hukum dan perlindungan HAM juga menjadi sorotan penting dalam reformasi. Namun, kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti tragedi Trisakti dan Semanggi, hingga saat ini belum mendapatkan penyelesaian yang memadai. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus-kasus besar yang tidak pernah sampai ke pengadilan atau dihentikan di tengah jalan.
Para politisi di DPR, yang seharusnya mengawasi pemerintah dan mendorong penegakan hukum yang adil, sering kali terjebak dalam tarik-menarik kepentingan yang melibatkan oligarki dan elit politik. Akibatnya, upaya untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM menjadi tersendat.
### Otonomi Daerah
Otonomi daerah bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola wilayahnya. Namun, desentralisasi ini sering kali disalahgunakan oleh para elit lokal yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Otonomi daerah yang diharapkan mampu memperbaiki pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dalam banyak kasus justru menjadi ajang baru untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
### Ekonomi Berkeadilan
Pembangunan ekonomi yang berkeadilan adalah salah satu tujuan utama reformasi. Namun, realitasnya, kesenjangan ekonomi masih sangat tinggi. Menurut data BPS, gini ratio Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 0,384, menunjukkan ketimpangan yang masih signifikan.
Kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah, yang didukung oleh partai-partai borjuis di DPR, sering kali lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar dan pemilik modal daripada kepentingan rakyat kecil. Ini terlihat dari berbagai kebijakan yang memberikan kemudahan kepada investor besar sementara usaha kecil dan menengah seringkali terpinggirkan.
### Dominasi Partai Borjuis di DPR
Partai-partai borjuis di DPR memainkan peran besar dalam menghambat pencapaian cita-cita reformasi. Dominasi mereka dalam politik Indonesia memastikan bahwa kebijakan yang diambil sering kali lebih menguntungkan kepentingan elit daripada kepentingan rakyat.
Misalnya, dalam proses legislasi, banyak undang-undang yang dihasilkan lebih menguntungkan oligarki dan korporasi besar. UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang disahkan pada tahun 2020, adalah contoh konkret bagaimana kepentingan pekerja dan buruh dan lingkungan hidup diabaikan demi menarik investasi besar.
### Keterlibatan Publik dan Harapan Masa Depan
Meski demikian, tidak semua harapan hilang. Gerakan masyarakat sipil dan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat terus berusaha untuk mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Keterlibatan publik dalam proses politik, termasuk melalui pemilihan umum, masih menjadi salah satu harapan untuk mendorong perubahan.
Masyarakat harus terus mendorong transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang lebih besar dalam pemerintahan. Pendidikan politik yang lebih baik dan kesadaran kritis di kalangan rakyat menjadi kunci penting untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang sejati.
### Kesimpulan
Cita-cita reformasi Mei 1998 memang belum sepenuhnya tercapai. Dominasi partai-partai borjuis di DPR yang lebih mementingkan kepentingan elit daripada rakyat menjadi salah satu hambatan utama. Namun, perjuangan belum berakhir. Dengan keterlibatan aktif masyarakat dan dorongan untuk perubahan yang berkelanjutan, masih ada harapan untuk mewujudkan cita-cita reformasi: demokrasi yang sejati, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Referensi:1. Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index.2. Badan Pusat Statistik. (2022). Gini Ratio.3. UU Cipta Kerja (Omnibus Law), Undang-Undang No. 11 Tahun 2020.4. "Indonesia's Struggle for Reform," International Crisis Group, 2018.5. Human Rights Watch. (2023). World Report on Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image