Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Pentingnya Ketersediaan Fasilitas Khusus Bagi Penyandang Disbilitas Pada Suatu Lembaga Pendidikan

Edukasi | Wednesday, 17 May 2023, 23:56 WIB

Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Kata Disabilitas berdasarkan asal katanya terdiri dari dua kata yaitu dis dan ability. Kata dis digunakan untuk penyebutan sebuah kondisi yang berkebalikan dari sesuatu pada kata dibelakangnya. Sementara ability memiliki makna kemampuan. Sehingga jika kedua kata antara dis dan ability disambungkan mempunyai kebalikan yaitu (dis) dari kondisi mampu (ability) maknanya ketidak mampuan. Jadi Disabilitas adalah keadaan seseorang yang memiliki ketidakmampuan melakukan suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang lain pada umunya. Data statistik yang dihimpun oleh WHO mengatakan bahwa jumlah orang berkebutuhan khusus berkisar 15% dari total penduduk dunia. Di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 15% yakni sebanyak 36,15 juta orang berkebutuhan khusus dari total penduduk Indonesia.

Selama ini pandangan masyarakat terhadap penyandang Disabilitas sebagai kaum yang memiliki ketidakmampuan dan keterbatasan fisik ataupun mental, yang selalu menjadi beban, tidak berguna, harus selalu dibantu dan dikasihani.Pandangan masyarakat yang negatif terhadap penyandang Disabilitas disebabkan karena budaya yang masih melekat di masyarakat. Misalnya banyak keluarga yang beranggapan bahwa memiliki anak Disabilitas merupakan sebuah aib sehingga anak mereka hanya dipingit di dalam rumah tidak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, tidak mengenyam pendidikan yang tentunya berdampak pada psikis si anak dan masa depannya. Dibalik segala perspektif masyarakat mengenai penyandang disabilitas tetap saja mereka adalah bagian dari masyarakat pula, mereka juga memiliki hak-hak yang harusnya diakui dan dihargai layaknya kita.

Beberapa contoh dari hak penyandang disabilitas tidak jauh berbeda dari masyarakat biasa yakni mendapatkan perlakuan yang layak dan setara seperti bisa mendapatkan pendidikan yang baik tanpa adanya sikap memprioritaskan satu golongan saja. Prinsip kesetaraan bukan berarti persamaan. Seringkali penggunaan istilah persamaan justru akan merugikan penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas seringkali harus menggunakan fasilitas yang sama yang sering digunakan oleh orang pada umumnya tanpa ada modifikasi. Makna kesetaraan bagi penyandang disabilitas dimaksudkan agar mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam mempergunakan fasilitas-fasilitas umum yang ada, namun tidak dapat dipingkiri penyandang disabilitas memiliki keterbatasan untuk melakukan suatu kegiatan layaknya kita manusia tanpa keterbatasan, mereka membutuhkan beberapa fasilitas pendukung guna menunjang kegiatan belajar, Inilah mengapa penyandang disabilitas memerlukan fasilitas yang aksesibel, karena kondisi fisik, mental, perilaku, maupun sosial mempunyai keterbatasan jika menggunakan fasilitas umum yang hanya disetting untuk orang yang tidak mengalami disabilitas. Fasilitas umum yang tidak memenuhi standar aksesibilitas memungkinkan penyandang disabilitas belum tentu bisa menggunakannya.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan sosial penyandang Disabilitas adalah dengan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan model pendidikan yang memberi kesempatan bagi para siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama siswa-siswa lain seusianya yang tidak berkebutuhan khusus.Pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan instansi pendidikan seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, cultural, maupun bahasa.

https://berandainspirasi.id/wp-content/uploads/2023/01/IMG_20191218_184657-64c7cc9c.jpg

Disarankan untuk lembaga pendidikan dari berbagai tingkat untuk lebih memperhatikan keberadaan dari fasilitas ramah bagi mereka yang berkebutuhan khusus, khususnya pada tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Suatu lembaga pendidikan yang ramah bagi penyandang disabilitas memiliki kriteria baik dari segi fasilitas itu sendiri maupun stakeholder didalamnya.

Kritreria sarana dan prasarana yang ramah bagi penyandang disabilitas yaitu lembaga tersebut menyediakan fasilitas khusus untuk siswanya misalnya kursi roda diperuntukkan bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan juga menyediakan salah satu fasilitas terpenting yaitu toilet khusus penyandang disabilitas untuk memudahkan mereka, serta penunjuk jalan dibuat khusus agar mereka dapat dengan mudah melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya.

Adapun stakeholder yang dimaksud adalah akademisi dan birokrasi dari lembaga pendidikan tersebut. Akademisi dinilai mempunyai pengalaman dan pemahaman pada perencanaan fasilitas ramah disabilitas sehingga dipilih dengan kriteria, dengan pengalaman mengajar minimal 5 tahun. Sedangkan, birokrasi dari tempat pendidikan tersebut dinilai mempunyai pengalaman dan pemahaman pada karakteristik siswa disabilitas sehingga dipilih dengan kriteria memahami tentang pendidikan inklusif atau sarana prasarana inklusif, bertugas pada sekolah yang menerima siswa disabilitas, minimal pengalaman bekerja 5 tahun.

Menjadi disabilitas tentu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah kenyataan yang harus dijalani. Setiap orangtua tentu juga tidak berharap anaknya lahir dalam kondisi disabilitas. Tidak juga kepada siapapun dalam proses perkembangannya tiba-tiba mengalami disabilitas. Jika demikian yang harus dilakukan adalah “belajar berdamai dengan keadaan” alias pasrah (bukan putus asa) dengan keputusan yang telah diambil oleh Sang Maha Pencipta. Kepasrahan akan membuat seseorang yang terkena dampak disabilitas akan tidak mudah mengatakan bahwa “Tuhan tidak adil.” Pertanyaan yang negatif (kenapa harus menimpa diri saya) akan bisa diminimalisir bahkan akan dibuang jauh-jauh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image