Hukum Kawin Paksa dalam Islam
Agama | 2023-05-17 21:08:00Perkawinan merupakan sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia tetapi juga menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan-Nya. Di Dalam buku Hukum Perkawinan I, Khoirudin Nasution, Makna dari sebuah perkawinan ialah untuk memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang yang biasa disebut (sakinah, mawadah, wa rahma),
Dewasa ini, Banyak sekali ditemukan kasus-kasus dalam masyarakat kita khususnya dalam rumah tangga mengenai rusaknya atau hancurnya bahtera rumah tangga karena kesalahan dalam menentukan pasangan hidup, akibatnya tujuan dari pernikahan yang semestinya dituju tidak dapat tercapai. Salah satu faktornya disebabkan oleh pemaksaan calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dari keluarga seperti orang tua yang menilai kalau kedua mempelai cocok tanpa diingini mempelai yang lain atau salah satu pihak sebelumnya dalam kondisi terpaksa untuk melakukan sebuah ikatan pernikahan yang dikenal dengan “Kawin paksa”
Kawin paksa adalah sebuah pernikahan di mana salah satu pihak atau lebih dinikahi tanpa sepengetahuannya atau bertentangan dengan kehendaknya. Meskipun istilah kawin paksa tidak ditemukan dalam literatur-literatur kitab fikih , tetapi dalam hal perwalian, salah satu disebutkan tentang ijbar dan wali mujbir. Pemahaman terhadap istilah inilah yang mengarahkan pemahaman tentang kawin paksa, kaitanya dimana hak ijbar ini dipahami sebagai hak memaksakan perkawinan oleh orang lain dalam hal ini biasanya adalah ayahnya.
Lantas, bagaimanakah hukumnya seorang ayah memaksa anaknya untuk menikah? Para Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan hukum memaksa anak perempuannya yang masih gadis atau perawan dan baligh untuk menikah.
Dilansir dari kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab karya dari Imam Nawawi ia mengatakan “Apabila anak perempuan itu sudah dewasa atau baligh maka ayah atau kakeknya boleh memaksakannya menikah walaupun anak itu menunjukan rasa tidak suka”. Imam Malik, Imam Syafi’i, Ibnu Abi Laila berpendapat boleh hukumnya memaksa dengan syarat pemaksaan itu tidak menimbulkan bahaya baik pada anak perempuannya yang masih kecil atau baligh. Dengan alasan apabila ayah dapat menikahkan anak yang masih kecil, maka berarti boleh menikahkan saat mereka sudah besar.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ayah atau wali lain tidak boleh dan tidak berhak memaksa gadisnya untuk menikah. Jika hal tersebut terjadi, maka perkawinannya tidak sah, dan status pernikahannya menunggu izin dari wanita yang bersangkutan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama madzhab Hanafi, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur, Abu Ubaid, Ibnu Mundzir dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, datang dari Ibnu Qayyim yang sesuai dengan pandangan madzhab Hanafi mengenai tidak boleh hukumnya seorang ayah memaksa anak perawan yang sudah baligh untuk menikah.
Dalam berbagai pendapat di atas , Ulama sepakat bahwa kawin paksa sebisa mungkin untuk dihindari. Hukum Islam tidak membenarkan adanya kawin paksa yang berkonotasi (ikrah) paksaan. Dalam hal ini seorang ayah tidak boleh memaksa mengawinkan perempuan dewasa yang sudah baligh, atau menghalangi perkawinan perempuan dewasa dengan pilihannya, karena di dalam hak ijbar seorang wali terdapat kesukarelaan calon mempelai Wanita. Sebab, cinta kasih adalah perasaan yang fitrat dan tidak bisa dipaksakan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.