Membaca Pesan Tersembunyi dalam Pertemuan AHY dengan JK
Politik | 2023-05-16 11:18:01Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengunjungi kediaman mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), pada Senin malam (15/6/2023) untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-81. Dalam pertemuan tertutup selama satu jam, keduanya membahas dua tema penting yang tak bisa diabaikan: tren penurunan ekonomi dan pentingnya menjaga demokrasi.
Kedua tema tersebut sering dibahas oleh calon kandidat presiden dari koalisi perubahan, Anies Baswedan. Namun, AHY menggunakan diksi-diksi khusus yang mencerminkan pandangannya terhadap situasi politik saat ini dalam mengkomunikasikan kedua tema tersebut. Dalam jumpa pers, AHY menggunakan diksi 'elit politik' dan 'sekelompok orang' untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk menghalangi calon kandidat presiden tertentu.
Dalam komunikasi politik, pernyataan tersebut dikenal sebagai taktik propaganda bernama name-calling. Alfred McClung Lee dalam bukunya yang berjudul How to Understand Propaganda (1952) menyebutkan bahwa propaganda adalah penggunaan simbol untuk mendorong atau menentang sesuatu di masyarakat.
Simbol-simbol ini memiliki karakteristik serba guna (tidak memiliki makna yang jelas dan terdefinisi dengan baik), dan mereka terkait dengan pola pikir, emosi, dan tindakan yang umum. Mereka bisa berupa kata-kata, gambar, ide, peristiwa, tokoh, atau apapun. "Sesuatu" yang didorong atau ditentang dapat berupa kepentingan, tujuan, proyek, institusi, barang dagangan, doktrin, kelas, kasta, kelompok, partai, atau individu.
Masih menurut Lee, name-calling adalah penggunaan julukan buruk untuk menggambarkan pihak lawan dan memberi kesan negatif atas motif tindakan lawan.
Kesan penggunaan name-calling semakin tegas ketika AHY menyatakan bahwa sosok-sosok elit tersebut terkesan menghalangi tokoh politik tertentu untuk maju ke kontestasi politik 2024. Pernyataan tersebut ditutup oleh diksi 'mengusik keadilan' dan 'merusak demokrasi'.
Kawan versus Kawan
Taktik komunikasi politik ini bukanlah hal baru bagi AHY. Sebelumnya, dalam menghadapi polemik Konferensi Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang dimotori Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, AHY juga menggunakan strategi serupa. Sebelum pelaksanaan KLB, AHY menyampaikan prediksi melalui konferensi pers yang akhirnya terbukti tepat, karena meski Moeldoko sudah diingatkan melalui konferensi pers, ia tetap melanjutkan rencana KLB tersebut.
Meski begitu, dalam sebuah komunikasi politik, lawan politik yang memiliki kepentingan bertentangan relatif lebih mudah dihadapi dibandingkan kawan politik sejalan yang memiliki pandangan berbeda. Hal itulah yang tersirat dalam silaturahmi antara AHY dengan JK pada Senin malam lalu.
Sebagaimana diketahui, koalisi perubahan tengah menggodok dan memilih satu di antara lima nama tokoh politik yang dianggap layak mendampingi Anies Baswedan dalam kontestasi pemilihan presiden 2024.
Namun sebuah adagium menyebutkan bahwa politik adalah pertemuan berbagai kepentingan. Dari panggung depan politik, publik mengamati bahwa proses pemilihan pendamping Anies terkesan alot. Pertemuan antara AHY dengan JK juga mengindikasikan adanya upaya lobi dan negosiasi yang belum tuntas. Baik AHY maupun JK menunjukkan gestur kehati-hatian saat konferensi pers. AHY memperlihatkan postur tubuh tegak dengan tangan mengapit di depan tubuh. Sementara JK, ketika ditanya terkait kesannya terhadap AHY, memilih jawaban diplomatis dan singkat.
Dalam konteks komunikasi politik, gestur adalah salah satu elemen penting yang dapat memberikan pesan yang kuat kepada khalayak. Bahkan tanpa kata-kata, gestur dapat mengungkapkan perasaan, sikap, dan niat seseorang. Dalam kasus ini, gestur kehati-hatian AHY dan JK menggambarkan bahwa mereka mempertimbangkan dengan serius pertanyaan wartawan dan berhati-hati dalam memberikan respons yang tepat.
Situasi ini bisa menimbulkan persepsi negatif di publik. George Herbert Mead, sosiolog Amerika, menemukan teori interaksi simbolik yang menyatakan bahwa simbol-simbol dalam proses komunikasi akan mengarah kepada pembentukan makna sosial. Ia juga menganggap bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh interpretasi simbolik terhadap situasi dan interaksi dengan orang lain.
Gestur hati-hati, ragu, dan ambigu dapat mengesankan bahwa koalisi perubahan memiliki banyak kepentingan sehingga sulit untuk sekadar memilih calon pendamping Anies Baswedan. Upaya AHY untuk menciptakan 'musuh bersama' dengan teknik name-calling juga bisa menjadi tidak efektif, karena adanya dualisme pesan utama yang tercermin dalam konferensi pers bersama JK.
Dalam konteks politik yang kompleks, komunikasi menjadi kunci untuk memperoleh dukungan dan mempengaruhi pandangan publik. Pertemuan antara AHY dan JK menggambarkan dinamika politik yang sedang berlangsung, di mana kepentingan dan negosiasi saling berbaur. Gestur kehati-hatian dan pilihan kata-kata diplomatis menjadi strategi yang digunakan untuk menjaga keselarasan dalam koalisi perubahan.
Namun, penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam upaya mencapai tujuan politik, penggunaan teknik propaganda seperti name-calling harus dilakukan dengan hati-hati. Teknik ini memerlukan pesan utama tunggal yang kuat, para komunikator yang selaras, serta variasi diksi yang bisa dipahami mulai dari masyarakat awam hingga elit politik. Komunikator politik juga harus bisa membaca situasi, kapan sebuah taktik komunikasi politik layak dan tidak layak diterapkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.