Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sri Pujiono

Nilai Strategis dari Belajar Bagi Sebuah Peradaban

Eduaksi | Monday, 15 May 2023, 07:42 WIB

 

Belajar adalah kebutuhan. Yang mencukupkan diri belajar akan menyesal saat hasil belajar dibutuhkan, sementara dia tidak memilikinya. Belajar tidak memiliki batas. Dalam khazanah Islam dikenal adanya spirit belajar dari buaian hingga liang lahat. Selama hayat masih membersamai jasad, kebutuhan belajar masih memiliki otoritas untuk ditunaikan. Kematianlah akhir dari proses belajar.

Kini, kebutuhan belajar semakin mendesak. Saat tuntutan kebutuhan dunia dan persaingannya kian mendera, hanya ilmu dan skill hasil belajarlah yang bisa mensolusi. Tidak begitu banyak berharap masalah bisa dituntaskan oleh mereka yang berkemampuan lemah. Dengan belajar, sesuatu bisa ditunaikan dengan perlakuan yang tepat.

Belajar tidak terbatas di bangku sekolah. Dimanapun dan kepada siapapun bisa mengambil ilmunya. Medianya kini meluas dalam berbagai bentuknya. Belajar -dalam istilah Dr. Adian Husaini-tidak mengenal sekolahisme ( Belajar hanya di sekolah); setelah sekolah tamat, belajar juga sekarat. Bukan.

Urgensi Belajar

Dari sini kita bisa melihat betapa pentingnya belajar itu. Baik formal maupun bukan. Kini, saat kesadaran untuk belajar mengalami stagnan atau penurunan, kita ingat urgensi belajar itu sendiri.

Menilik buku klasik karya Az Zarnuji, seseorang belajar itu hendaknya memiliki tekat ; Semestinya seorang pelajar berniat menuntut ilmu itu karena mencari ridha Allah dan kehidupan akhirat, serta menghapus kebodohan dari dirinya dan dari segenap oran-orang yang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab kelanggengan Islam adalah dengan ilmu.

Urusan keikhlasan adalah perkara yang harus dipelihara dalam setiap agenda, termasuk urusan belajar. Artinya setiap yang dikerjakan merupakan titian untuk mendapatkan keridhaan Allah. Selebihnya rangkaian belajar itu berorientasi pada diri sendiri dan orang lain.

Belajar Untuk Perbaikan Diri Sendiri

Belajar menjadikan pribadi pelakunya mendapatkan asupan pengetahuan. Pengetahuan yang dimilikinya menjadi dasar berpijak dalam sikap dan Tindakan. Untuk urusan agama, jika ilmunya sudah dimiliki, maka pemiliknya lebih mudah untuk menjadi pribadi yang shaleh. Untuk urusan ilmu keduniaan, jika ilmu dan skill tertentu dikuasai, maka kehidupannya akan lebih terarah, bermartabat dan terhormat. Dia memiliki cara untuk hidup dengan layak, bukan menjadi beban bagi orang lain.

Belajar untuk membantu Memudahkan Urusan Orang Lain

Kemampuan seseorang dalam menguasai pengetahuan; di samping bisa menuntaskan urusan pribadi, juga berpotensi menyelesaikan beban pihak lain. Baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Dengan ilmu yang matang urusan akan menjadi lebih terarahkan. Misal yang sederhana adalah pemahaman tertentu tentang mesin kendaraan mati, orang yang tidak menguasai tidak bisa membantu. Namun sebaliknya bagi yang memiliki ilmu tentangnya, ia dengan mudah menyelesaikan; minimal mengarahkan solusi.

Orang akan lebih bermanfaat bagi orang lain, saat dia memiliki sesuatu yang menjadi andalannya. Sementara orang yang tidak memiliki, dia tidak bisa membantu. Istilah Arabnya faqidusy syai’ laa yu’tihi. Orang yang tidak memiliki, dia tidak bisa memberi. Sementara Nabi pernah menjelaskan , manusia yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia( Al Hadits)

Untuk menjadi bermanfaat, harus memiliki modal. Modal didapatkan melalui belajar. Maka urutan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat adalah melalui titan belajar. Begitu pentingnya belajar, maka jangan sampai menihilkannya dari agenda kehidupan.

Antara Belajar dan Peradaban

Eksistensi peradaban tergantung dari belajar. Bangsa-bangsa yang besar, sudah bisa dipastikan warganya adalah pecinta belajar. Simbol-simbol ilmu dan pengetahuan ada di mana-mana. Kemunduran peradaban juga karena rendahnya minat belajar. Berhentinya seseorang dari belajar, sama artinya berhenti dari kehidupan.

Pada abad ke 10, di Andalusia telah terdapat 20 bangunan perpustakaan. Perpustakaan Cordova adalah yang paling besar. Kala itu koleksinya sudah mencapai 400 ribu judul buku. Sementara pada masa kekuasaan Abbasiyah, telah tersebar banyak perpustakaan di berbagai daerah; Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy ( Raghes) Merv ( daerah Khurasan), Balkh, Bukhara ( kota kelahiran Imam Bukhari), Ghazni dan sebagainya.

Budaya literasi kala itu sudah sangat maju. Jonathan Bloom & Sheila Blair dalan A Thousand Years of Faith and Power menyebutkan, “ Rata-rata tingkat literasi ( kemampuan melek huruf , membaca dan menulis) Dunia ISlam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.”

Pewarisan nilai-nilai kehidupan dan perjuangangan juga ditempuh melalui proses belajar. Dengan belajar, segala kebijakan yang dimiliki oleh suatu bangsa; akan dibedah dan difahamkan kepada generasi keturunannya. Sehingga nilai-nilai yang digariskan oleh para pendahulunya akan senantiasa eksis dan diamalkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image