Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Septy Dwi Bahari Putri

Memahami Toleransi Dua Arah Lewat Fenomena Penutupan Warung Makan Saat Ramadhan di Indonesia

Agama | 2023-05-11 09:58:01
Warung makan
Warung makan

Bulan ramadhan yang tiba setahun sekali selalu membawa fenomena-fenomena khas yang juga hanya ada setahun sekali. Salah satu fenomena khas itu adalah tutupnya warung-warung makan. Fenomena ini seolah sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, tetapi hingga kini masih juga menjadi perdebatan ‘abadi’. Pasalnya, banyak masyarakat berselisih paham mendebatkan pro kontra tutupnya warung tiap bulan ramadhan. Topik ini seolah tidak pernah habis dibicarakan masyarakat terutama di media sosial.

Tutupnya warung-warung makan di bulan ramadhan dianggap sebagai salah satu bentuk menghargai masyarakat yang tengah berpuasa. Namun, di sisi lain tutupnya warung-warung makan ini dirasa tidak diperlukan sebab di Indonesia warganya terdiri atas berbagai macam agama, bukan hanya yang beragama Islam. Jadi, tutupnya warung ini dinilai menyusahkan berbagai pihak. Bagi warga non-muslim yang tidak berpuasa tentunya akan kesulitan mencari makan ketika warung-warung makan tutup. Bagi pedagang juga hal ini akan mengurangi pemasukan mereka sehari-hari, bayangkan jika warung makan itu adalah sumber rejeki utama mereka dan jika tutup maka dari mana mereka bisa ‘makan’?

Toleransi memang perlu. Namun, perlu diingat bahwa sebagai seorang muslim yang tengah berpuasa juga perlu menghargai saudara kita yang sedang tidak berpuasa. Jangan menghalangi hak mereka dalam melakukan jual-beli makanan. Disinilah kita diuji sebenarnya, bagaimana rasa saling menghargai itu dua arah, bukan hanya satu arah. Toleransi tidak hanya berlaku bagi mereka yang mayoritas, tetapi juga berlaku bagi semua orang, semua pihak, tidak peduli mayoritas ataupun minoritas. Toleransi tidak akan berjalan jika hanya dilakukan satu arah. Lagipula, di bulan ramadhan yang diuji bukan hanya soal lapar dan dahaga. Akan tetapi, kesabaran dan iman juga turut diuji. Anggaplah warung-warung yang tengah buka di bulan ramadhan itu sebagai ujian untuk menahan hawa nafsu.

Sebenarnya, buka atau tutupnya warung-warung makan di bulan ramadhan tidak akan mempengaruhi puasa. Jika Anda adalah seorang muslim yang taat, melihat orang makan atau mencium bau makanan disaat puasa tentu tidak akan menjadi masalah yang besar. Ujian terberat dari puasa adalah menahan hawa nafsu diri sendiri. Jika Anda pernah mendengar pepatah berbunyi “Musuh terbesar diri manusia adalah hawa nafsu” maka Anda pasti menyadari bahwa hal itu adalah benar. Menahan rasa lapar dan haus bukanlah hal yang sulit, tetapi menahan hawa nafsu adalah hal yang berat. Maka seharusnya keberadaan warung-warung makan saat puasa ini bukanlah masalah yang harus diperdebatkan. Sebaiknya, pikirkanlah bagaimana Anda mengontrol diri untuk menahan hawa nafsu Anda.

Coba kita balik sekarang, jika saudara kita yang non-muslim berpuasa, apakah kita perlu melakukan penutupan warung makan? Saya rasa selama ini tidak ada fenomena perdebatan tentang itu. Lantas, kenapa kita harus mendebatkan masalah tutupnya warung makan saat bulan ramadhan? Justru hal ini akan menimbulkan stigma intolerir karena kita hanya mendebatkan fenomena ini saat saudara muslim tengah berpuasa. Sedangkan ketika saudara non-muslim berpuasa, kita tidak mendebatkan fenomena ini.

Jika Anda adalah seorang muslim, puasa Senin-Kamis atau puasa sunnah lainnya mungkin pernah Anda lakukan. Bagaimana kondisi warung makan saat Anda puasa sunnah hari itu? Seperti biasa saja bukan? Apakah Anda merasa warung-warung makan itu mengganggu puasa Anda sehingga mereka harus menutup warung makan karena Anda sedang berpuasa? Tentu tidak, Anda tidak memiliki hak untuk menutup warung makan orang lain.

Lagipula, siapa kita hendak menutup pintu rejeki orang lain? Sebagai sesama manusia pastilah tahu bagaimana susahnya mencari uang. Ditambah lagi jika satu-satunya sumber pemasukan kita dipaksa tutup selama satu bulan penuh, lalu dari mana kita bisa makan? Bayangkan saja hal itu terjadi pada Anda dan keluarga. Menyedihkan bukan?

Berbeda jika kasusnya adalah pemilik warung makan menutup warung mereka atas dasar kemauan mereka sendiri. Tidak sedikit juga para pemilik warung makan menutup warung mereka sebulan penuh saat bulan ramadhan. Seperti yang dilakukan oleh pemilik Rumah Makan Rinai Pambasuah Luko yang tutup selama bulan ramadhan dari tanggal 22 Maret 2023 dan akan buka kembali di tanggal 8 Mei 2023. Keputusan ini dianggap ‘berani’ karena tutupnya warung ini bukan di waktu yang singkat. Lalu, bagaimana dengan arus pengeluaran dan pemasukan mereka selama mereka tutup. Hal yang unik adalah sebagian besar dari mereka yang mengambil langkah ‘berani’ ini memiliki mindset yang unik yaitu “Sebelas bulan bekerja mencari rezeki untuk dimakan satu bulan.” Jadi, dalam satu bulan selama mereka tutup, mereka dapat fokus beribadah di bulan ramadhan tanpa memikirkan pemasukan karena ibarat kata mereka telah ‘menabung’ selama sebelas bulan.

Namun, perlu dipahami bahwa tidak semua warung makan dapat menerapkan prinsip “kerja sebelas bulan untuk makan satu bulan” tersebut. Maka, jangan paksa mereka untuk menutup sumber penghasilan mereka. Fenomena ini memaksa kita semua untuk berpikiran terbuka. Jangan hanya memandang satu kejadian dari satu sudut pandang saja. Gunakan berbagai pandangan untuk bisa menyelesaikan masalah secara objektif dan adil bagi semua pihak. Dalam kasus ini, penutupan warung-warung makan di siang hari saat bulan ramadhan bukanlah bentuk toleransi. Ini hanya akan merugikan banyak pihak. Jika menginginkan toleransi bagi orang yang sedang berpuasa jalan salah satunya adalah pemasangan tirai-tirai penutup yang dipasang di setiap warung makan. Dengan begitu, warung masih dapat buka dan berjualan, lalu warga non-muslim masih dapat makan tanpa kehilangan haknya, dan warga yang berpuasa dapat berpuasa tanpa terganggu melihat orang lain makan. Win-win solution.

Septy Dwi Bahari Putri

Mahasiswa Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image