Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rachel Vania Hamzano

Fenomena Childfree dan Kaitannya dengan Perlindungan HAM

Eduaksi | Monday, 08 May 2023, 14:22 WIB
sketchshark.tumblr.com" />
illustration by: sketchshark.tumblr.com

Fenomena childfree telah ramai diperbincangkan oleh netizen lantaran seorang publik figur sosial media, Gita Savitri dan suaminya mempublikasikan keputusannya untuk tidak memiliki anak atau yang disebut dengan istilah childfree. Hal ini menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Sebagian menganggap bahwa childfree adalah suatu hak pribadi yang bebas untuk dianut oleh masing-masing orang, sebagian lagi menganggap bahwa childfree merupakan hal yang menyimpang, tabu, dan tidak sesuai dengan budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Gita dan suami beralasan bahwa ketika memiliki anak, maka tanggung jawab dan beban yang dimiliki akan bertambah. Mulai dari beban mental, tanggungan ekonomi, hingga resep agar awet muda menjadi alasan mereka. Pasangan lainnya yang memutuskan untuk childfree juga memiliki alasan lain yang merujuk kepada ketidaksiapan mental dan finansial untuk memiliki anak. Hal ini menunjukkan bahwa motif dari childfree adalah untuk menghindari seorang anak tumbuh dengan kurangnya perhatian, kasih sayang, dan kurangnya kebutuhan yang seharusnya ia terima. Seperti yang kita ketahui, menjadi orang tua yang baik merupakan salah satu pekerjaan tersulit. Melihat hal ini maka childfree dapat dikatakan secara tidak langsung melindungi hak-hak anak yang berpotensi dirampas oleh orang tua. Namun, apakah childfree benar-benar memiliki kaitan dengan perlindungan HAM di Indonesia?

Indonesia mengatur HAM pada UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal 1 ayat (1) UU HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara dan setiap orang. HAM melindungi setiap individu dalam hal kelayakan untuk hidup, kesetaraan, hak untuk menentukan hidup, dll. HAM memiliki kaitan erat dengan hak privat seseorang. Dalam konteks ini, disebutkan bahwa hak seksualitas, serta reproduksi seseorang turut memberikan eksistensi yang kuat bagi para perempuan dan pasangannya memutuskan childfree. Seperti yang kita ketahui, perempuan seringkali diatur dan tidak memiliki kebebasan seperti laki-laki. Bahkan tubuh perempuan sendiri terikat dan diatur oleh negara yakni dengan alat-alat kontrasepsi ataupun program Keluarga Berencana (KB) ataupun penundaan pernikahan dan lainnya. Childfree merupakan salah satu cara untuk membebaskan perempuan dari keterikatan tersebut. Maka dapat disimpulkan, keputusan pasangan untuk memilih childfree merupakan suatu bentuk HAM yang tidak dapat diinvasi oleh siapapun. Terlebih ketika seorang perempuan yang mengambil peran cukup besar dalam memiliki anak untuk melahirkan dan merawatnya.

Namun, masih banyak masyarakat Indonesia, khususnya kalangan konservatif, yang beranggapan bahwa keputusan untuk childfree adalah hal yang melanggar kodrat dan agama, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan budaya timur yang cukup kental. Terlebih masih banyak orang tua yang memegang prinsip “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, banyak keluarga yang memutuskan untuk memiliki anak yang banyak namun anak-anak tersebut tidak mendapatkan hidup yang layak disebabkan oleh faktor ekonomi yang rendah. Contohnya seperti kasus yang viral di media sosial baru-baru ini mengenai sebuah keluarga dengan 8 anak yang hidup kekurangan hingga sang anak memakan kertas. Selain itu, berbagai kasus penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua juga terjadi di Indonesia. Pola pengasuhan yang kasar secara verbal maupun fisik terjadi karena ketidaksiapan mental untuk mengasuh seorang anak. Hal ini menunjukkan bahwa ketidaksiapan untuk memiliki anak sangat berdampak besar bagi sang anak itu sendiri, dan konsep childfree memberikan kebebasan kepada pasangan untuk memilih opsi ingin memiliki anak ataupun tidak. Apalagi ketika UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur ketentuan kewajiban memiliki anak dalam ikatan perkawinan. Maka dapat dikatakan sah-sah saja ketika pasangan yang menikah memutuskan untuk tidak ingin memiliki anak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image