Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gabriella Wisunaga

Patternicity dan Fan Theory

Leisure | Saturday, 06 May 2023, 17:25 WIB
Foto: Pixabay

Sebagai manusia, kita dilahirkan dengan sebuah insting untuk mengenali pola di kehidupan sehari-hari. Insting ini dapat terlihat dengan jelas di kehidupan sehari-hari. Seperti ketika kita merasa nostalgia terhadap suatu lagu karena dulu kita mendengar lagu tersebut ketika perpisahan sekolah. Muncullah suatu pola yang menghubungkan lagu tertentu dengan perasaan sedih karena berpisah. Melihat dan memperhatikan pola merupakan fungsi alami dari otak kita untuk membantu kita belajar, dan merupakan komponen yang penting dalam perkembangan bayi dan balita. Pada jaman dahulu, manusia purba menggunakan kemampuan mengenali pola untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya seperti suara auman ataupun mata yang berbinar di malam hari. Di jaman modern ini, kemampuan ini tentunya telah memiliki fungsi yang berbeda. Hal-hal seperti algoritme, persamaan matematika dan fisika, serta problem-solving lahir dari kemampuan awal kita untuk mengenali pola.

Namun yang tidak kalah menarik dari kemampuan ini adalah ketika kita melakukannya secara tidak sadar pada sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk memiliki pola. Contohnya ketika kita melihat muka manusia di benda-benda di sekitar kita atau bagaimana manusia melihat pola bintang di langit malam. Fenomena ini disebut apophenia atau patternicity. Manusia secara alami memiliki rasa penasaran yang tinggi dan seringkali otak kita tanpa disadari mengisi secara otomatis ruang kosong dari informasi yang kita dapat. Yang paling menarik adalah ketika hal ini terjadi dalam suatu naratif.

Ketika seorang penulis, entah itu penulis novel ataupun sutradara film, mengakhiri ceritanya dengan cliffhanger atau sebuah ending yang ambigu, seringkali kita menemui diri kita bertanya-tanya dan membuat skenario mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Tidak jarang juga penggemar-penggemar dari sebuah media membagikan pemikiran mereka di media sosial dan saling bertukar pendapat mengenai teori masing-masing. Hal ini seringkali dikenal dengan sebutan fan theory. Dalam esensinya, yang dilakukan oleh otak kita ketika memikirkan dan membuat fan theory ini sama dengan ketika kita melakukan problem-solving atau mengenali ciri-ciri situasi yang berbahaya.

Namun sama seperti ada beberapa cara untuk “mencari nilai X di segitiga”, ada berbagai macam narasi yang terbentuk di pikiran masing-masing meskipun ending yang dilihat sama. Inilah alasan mengapa kita dapat menemukan ratusan thread di twitter mengenai arti dan interpretasi ending dari film Interstellar atau munculnya video youtube dalam bentuk narasi esai dan kritik mengenai game populer. Bermacam-macam teori dan alternate ending dapat muncul karena pengalaman dan preferensi kita yang unik membentuk cara kita berpikir dan menciptakan pola. Hal ini adalah fenomena yang sama dengan bagaimana seseorang dapat menemukan nilai moral dari hal sekecil kawanan semut atau dari peristiwa konyol yang mereka alami. Bahkan dapat dikatakan bahwa fan theory juga merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan diri di media sosial. Memang tidak sepenuhnya orisinal, tetapi tentunya unik dalam caranya sendiri.

Banyak yang berpendapat bahwa hal-hal seperti fan theory tidak memiliki arti yang signifikan, hanya karena hal tersebut tidak berasal dari penulis aslinya. Namun dapat menjadi suatu argumen bahwa interpretasi yang bermacam-macam justru lebih meningkatkan nilai dari karya tersebut. Bagaimanapun, keberadaan dari fan theory sendiri menjadi suatu bukti betapa dihargai dan dicintainya suatu karya seni, tidak melihat apakah itu sebuah lukisan, novel, ataupun film dan game. Di lanskap media sosial yang senantiasa berubah dengan cepat, bukankah hal itu merupakan suatu kesuksesan? Bahkan sekarang ini, banyak penulis dan produser mengenali adanya fenomena ini dan dengan sengaja meninggalkan hal-hal tersirat dalam karya-karya mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image