Teknologi, Ilmuwan, dan Pertanggungjawaban Sosial
Info Terkini | 2023-05-06 17:12:04Yuval Noah Harari, sejarawan cum filsuf — begitu dia menyebutnya — dari Israel menulis artikel di media The Economist pada tanggal 28 April 2023 lalu dengan judul Fears of artificial intelligence. Artikel tersebut berisi pemikiran Noah dalam menanggapi kemajuan teknologi AI (artificial intelligence). Menurutnya, Ketakutan akan kecerdasan buatan (AI) telah menghantui umat manusia sejak awal era komputer. Sampai sekarang, ketakutan ini terfokus pada mesin yang menggunakan sarana fisik untuk membunuh, memperbudak, atau menggantikan orang.
Namun, selama beberapa tahun terakhir, alat AI baru telah muncul yang mengancam kelangsungan peradaban manusia dari arah yang tidak terduga. AI telah memperoleh beberapa kemampuan luar biasa untuk memanipulasi dan menghasilkan bahasa, baik dengan kata-kata, suara, atau gambar. AI telah meretas sistem operasi peradaban kita. Mungkin, tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ketika kemajuan teknologi memang akan membantu kehidupan manusia dalam menjalani aktivitas sehari-hari.akan tetapi, bagaimana jika AI sedang merevolusi dirinya sendiri dengan melampaui harapan dan imajinasi para pembuatnya?
Bayangkan, AI sudah dapat melihat, menggambar, bercerita, berdongeng, dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan apa yang telah diajukan. ChatGPT misalnya, para peserta didik di sekolah, tidak perlu lai menjawab soal-soal ujian atau menulis esai, sebab dengan mengetik pertanyaan apa saja, sistem akan secepat kilat bekerja dengan hampir sempurna. Secara tidak langsung, peserta didik tidak perlu repot lagi untuk membaca buku atau jurnal, cukup dengan menggunakan ChatGPT, selesai sudah perkara persoalan. Lupakan sekolah, dan mari bergeser pada persoalan politik. Relasi ilmu dan politik, menurut Mark Brown—sebagaimana dikutip oleh M. Najib Yuliantoro— telah terjadi politization of science (politisasi ilmu) dan scientization of politics (saintisasi politik). Politisasi ilmu merujuk pada usaha untuk meletakkan ilmu dalam kondisi politis yang memungkinkan terjadinya pergeseran spektrum kebenaran menjadi spektrum kekuasaan dan konflik, sedangkan saintisasi politik merupakan usaha untuk menjadikan politik menjadi tampak ilmiah.
Contoh faktualnya adalah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Ada pelbagai lembaga survei dengan merilis hasil quick count (hitung cepat) yang berbeda-beda. Ada yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK dan sebaliknya, menjadikan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang. Padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, lembaga survei beroperasi di atas kaidah-kaidah statistika yang ilmiah. Hasil yang berbeda dari pelbagai lembaga survei tersebut, menurut Samsul Ma’arif Mujiharto, dimaksudkan untuk memengaruhi opini publik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna memenangkan salah satu calon. Sehingga, kecurigaan publik atas hasil quick count tak dapat dibendung. (Melfin Zaenuri, https://lsfcogito.org/relasi-ilmu-dan-politik/).
Pikirkan pemilihan presiden Indonesia berikutnya pada tahun 2024, dan coba bayangkan dampak alat AI yang dapat dibuat untuk memproduksi konten politik, berita palsu, dan kitab suci secara massal untuk aliran sesat baru. Betul memang, Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan, merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya, dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya (Sopian et al., 2022). Namun, pencapaian manusia dalam memajukan dan mengembangkan teori keilmuannya, tidak melulu positif. Kemajuan teknologi sekiranya harus diperhatikan dan dikritisi juga, sebab kemajuan teknologi pun seiring waktu kini, tidak membuat mata luput dari kehancuran-kehancuran masyarakat yang tidak mempunyai ke segala akses, lemah ekonomi, juga termajinalkan, ditambah lagi tatkala perkembangan ilmu kawin dengan para kapital. Ilmu dalam perkembangannya tidak hanya dibentuk oleh nilai epistemik, melainkan juga nilai non-epistemik seperti nilai komersial (pendanaan penelitian dan ilmu sebagai komoditas, komersialisasi ilmu) dan nilai politis (kebijakan negara dan ilmu sebagai legitimasi kekuasaan, politisasi ilmu).
Van Peursen mengakui bahwa aplikasi penemuan ilmiah itu pada umumnya bergantung kepada suatu putusan politik. Jelas disini bahwa seseorang ilmuwan hanya dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Di sinilah letak keberadaan seorang ilmuwan yang terikat oleh suatu golongan, ras, agama, kelompok tertentu. Hal ini bukan berarti ilmuwan tersebut lepas tanggung jawab. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan sanggup melihat perubahan- perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat penemuan-penemuannya. (Surajiyo, 2019)
Dibalik perubahan yang luar biasa cepat di dunia ini selalu ada peran ilmuan. Baik itu yang dipersepsikan sebagai perubahan yang positif maupun yang cenderung ke arah kerusakan. Peran dan fungsi ilmuan cukup besar terutama di dalam menggerakkan masyarakat, melakukan reorientasi dan reorganisasi sosial serta dalam rangka mengisi ruang imajinasi sosial. Karena besarnya jasa ilmuan patutlah ilmuan itu menjadi fokus bukan saja dari sisi karyanya, tapi juga perlu dicermati etika dan tanggungjawabnya. Dengan demikian seorang ilmuwan harus peka terhadap konsekuensi-konsekuensi etis ilmunya. Sebab dialah satu-satunya orang yang dapat mengikuti dari dekat perkembangan- perkembangan yang kongkret. Tanggung jawab moral dan sosial seorang ilmuwan tidak dapat terlepas dari integritas ilmuwan tersebut, karena seorang ilmuwan sejati memiliki ciri integritas yang tinggi dan rasa keterlibatan dan tanggung jawab yang menyeluruh terhadap pekerjaan yang digelutinya, disamping itu juga harus ulet, jujur, hendaknya dibina dan dipertahankan.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memper- hatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai sosial, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Mark Brown memajukan konsep demokratisasi ilmu untuk membedakan representasi ilmiah dan representasi politis. Menurut Brown, sistem demokrasi memungkinkan mekanisme publik melakukan uji kritik dan kontrol lewat pembuktian-pembuktian secara empiris, rasional dan terbuka. Dalam konteks demokrasi, kedaulatan rakyat –dengan pelbagai peran yang dimiliki seperti civil society dan legislasi lewat legislator— memainkan peran penting dalam kritik dan kontrol terhadap institusi ilmiah, termasuk menetapkan standar prosedur bersifat umum untuk menjaga objektivitas sebagai acuan utama institusi ilmiah.
Dengan demikian, lewat mekanisme dalam demokrasi, jatuhnya ilmu ke jurang politis dapat dihindari, dan representasi ilmiah dan representasi politis dapat dibedakan. Saifullah mengemukan bahwa dalam perspektif aksiologi bahwa pada dasarnya ilmu harus dapat dipertanggung- jawabkan secara, moral dan etika. Dengan kata lain ilmu harus mempunyai landasan etis atau asas moral–tidak bebas nilai. Selanjutnya, pada tataran aplikasi ilmu harus dapat digunakan dan dimamfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimamfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan perngetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memamfaatkannya menurut kebutuhannya. (Kusuma Ningrat, 2016)
Jujun S Suriasumatri menjelaskan, bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial. Hal ini didasarkan pada alasan pertama, karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat; kedua dan ini yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun ia juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. (Hj. Maryati, SH, 2016)
Seorang ilmuan harus memiliki tanggungjawab baik dalam proses keilmuannya maupun atas produk ilmunya. Tanggungjawab dalam proses keilmuannya merupakan implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan seperti bersifat. obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan.
Karena masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki.
Daftar Pustaka
Hj. Maryati, SH, M. (2016). ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUAN. 64–70.
Kusuma Ningrat, H. (2016). Etika Keilmuan Dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan (Sebuah Kajian Aksiologis). Biota, 8(1), 100–101.
Sopian, A., Natsir, N. F., & Haryanti, E. (2022). Tanggung Jawab Moral Ilmuan dan Netralitas Ilmu. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(1), 172–180. https://doi.org/10.54371/jiip.v5i1.395
Surajiyo. (2019). Tanggung Jawab Moral dan Sosial Ilmuwan : Sikap Ilmiah Ilmuwan Di Indonesia. Prosiding Comnews 2019, 414–424.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.