Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Rahayu

Mendinginkan Bumi Yang Memanas

Edukasi | Friday, 05 May 2023, 23:51 WIB

Meningkatnya suhu bumi akhir-akhir ini menjadi perhatian serius masyarakat. Rasa gerah dan panas yang tak seperti biasanya nyatanya tak hanya dirasakan di Indonesia saja. Lebih dari 10 negara di dunia tengah mengalami gelombang panas. Meski di Indoensia belum terkategori mengalami heatwave, namun peningkatan suhu yang sempat mencapai 37,2॰C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat April lalu, cukup memberikan dampak besar pagi petani dan petambak juga masyarakat secara umum.

Heatwave atau gelombang panas adalah periode lanjutan dari cuaca yang sangat panas, yang diikuti oleh kelembaban tinggi. Terjadinya heatwave beberapa waktu lalu terungkap dari laporan Badan Meteorologi di negara-negara Asia seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand dan Laos tentang kejadian suhu panas lebih dari 40°C. Di Cina dan Jepang juga mencatat suhu tertinggi sepanjang sejarah pengamatan instrumen terjadi bulan April ini. Sedang Bangladesh, Kumarkhali, kota di distrik Kusthia, menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian yang tercatat sebesar 51,2 C pada 17 April 2023.

Pemanasan global dan perubahan iklim picu heatwave

Dilansir dari situs BMKG, suhu panas bulan April di wilayah Asia secara klimatologis dipengaruhi oleh gerak semu matahari, namun lonjakan panas di wilayah sub-kontinen Asia Selatan, kawasan Indochina dan Asia Timur pada tahun 2023 ini termasuk yang paling signifikan lonjakannya. Para pakar iklim menyimpulkan bahwa tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas makin berpeluang lebih sering terjadi. (press release BMKG)

Realitas pembakaran bahan bakar fosil pada aktivitas industrialisasi yang menggila di negara kapitalis sejak revolusi industri telah menjadi bencana bumi. Dari pembakaran bahan bakar fosil berlebihan seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam itulah yang berdampak pada pemanasan global. Dimana karbon dioksida dan gas polusi lainnya dilepaskan ke atmosfer sehingga menimbulkan kondisi sebagai gas rumah kaca. Menurut Valentino Darsono dalam buku Pengantar Ilmu Lingkungan (1993), pada saat atmosfer dipenuhi gas rumah kaca, panas matahari akan semakin banyak yang terperangkap di dalam Bumi.

Kekhawatiran para pakar iklim akan seringnya heatwave terjadi akibat dampak dari pemanasan global patut menjadi perhatian bersama. Pasalnya heatwave telah menyebabkan bencana alam dan bencana kemanusiaan. Kekeringan, kebakaran hutan, dan kegagalan panen yang merugikan, ribuan kematian sebagaimana yang terjadi di Portugal 18 Juli 2022 lalu, dan mati listrik tersebar karena penggunaan pendingin udara yang terlalu meningkat. Demikian juga pada 16 April lalu 2023, 13 orang meninggal dunia di negara bagian Maharashtra barat saat menghadiri upacara penghargaan negara akibat suhu yang meningkat ekstrem.

Solusi Dunia Mentok di Butir Kesepakatan

Bukan tidak ada upaya penyelesaian atas perubahan iklim dan pemanasan global yang berdampak pada heatwave. Namun solusi yang dibangun justru terkanalisasi di butir kesepakatan yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi negara perusak bumi. Berbagai konvensi dunia, pada ujungnya tetaplah membebaskan negara kapitalis raksasa untuk tetap melakukan kegiatan industrialisasi yang liar terhadap kerusakan atmosfer bumi, dan menjadikan negara berkembang sebagai tameng keserakahan mereka.

Contoh nyatanya adalah Protokol Kyoto tahun 2005 yang mengatur peraturan bagi industri maju untuk mengurangi emisi (gas rumah kaca) sebesar 5,2 % dengan 3 mekanisme; Joint Implementation yang dijalankan negara-negara Annex 1 (penyumbang emisi gas rumah kaca) agar memberikan pengalihan emisi gas rumah kaca melalui sebuah proyek-proyek yang rendah emisi gas rumah kaca. Emission Trading yang dijalankan untuk melakukan perdagangan emisi bagi negara-negara industri dan memberikannya peluang untuk menjual emisi gas rumah kaca kepada negara lain yang belum dapat memenuhi target. Clean Development Mechanism yang mengatur penurunan emisi gas rumah kaca dalam kerjasama pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilakukan antara negara industri dengan program-program yang dijalankan di negara berkembang.

Selaian itu ada Vienna Convention for The Protection of The Ozone Layer, kesepakatan dalam perlindungan lapisan ozon. kewajiban bagi negara di dunia untuk mengurangi penggunaan bahan kimia penyebab kerusakan lapisan ozon khususnya Klorofluorokarbon. Protokol Montreal, yang meminta negara untuk memproduksi barang-barang berteknologi tinggi yang ramah lingkungan. Paris Agreement, upaya untuk dapat menahan laju peningkatan temperatur rata-rata global di bawah 2°C dan meningkatkan kemampuan negara-negara dalam beradaptasi atas dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Sehingga mampu bergeser menuju ketahanan iklim.

Nampak nyata, dunia dalam cengkeraman kapitalisme belum menunjukkan upaya real untuk menyelesaikan persoalan global ini dari akarnya. Dimana problem gelombang panas adalah problem global lingkungan akibat aktivitas industrialisasi liar yang hanya mengejar keuntungan materi semata dengan mengabaikan kelestarian lingkungan dan kemaslahatan manusia. Bahkan di Perjanjian Paris, tujuan yang ingin dicapai dari konvensi tersebut mengarah agar negara mempunyai kemampuan beradaptasi atas dampak negatif perubahan iklim. Alih-alih berupaya menghentikan perubahan iklim yang salah satu efeknya adalah gelombang panas, yang terjadi justru perubahan iklim dibiarkan dan negara diminta bisa beradaptasi dengan bencana. Miris sekali.

Butuh Komando Khusus Dari Akar Masalah

Jika menelisik salah satu akar masalah heatwave adalah pemanasan global dan perubahan iklim, seharusnya poin inilah yang kemudian harus dihentikan dan diselesaikan. Meskipun di satu sisi bencana lingkungan adalah qadla/ketetapan Allah SWT, namun di sisi lain upaya pengaturan pengelolaan lingkungan mutlak dalam genggaman kekuasaan manusia.

Sedang Allah SWT pun telah mengingatkan manusia, bahwa kerusakan yang ada di laut dan bumi sejatinya akibat ulah tangan manusia yang tidak lagi tunduk dalam aturan yang benar yaitu aturan Rabb pemilik bumi. Maka pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim karena adanya pembakaran bahan bakar fosil yang besar-besaran haruslah dihentikan. Upaya penghentian tersebut bisa dengan berbagai alternatif kebijakan, seperti pembatasan penggunaan bahan bakar fosil dalam industri, pencarian energi alternatif selain fosil, pengembangan teknologi ramah lingkungan, pelestarian hutan dan lingkungan sebagai penyokong paru-paru bumi, dan penerapan sanki yang berat atas pelanggaran kerusakan lingkungan.

Kebijakan asasi dalam penghentian aktivitas industri yang menyebabkan pemanasan global hanya dapat dijalankan oleh sebuah sistem yang menjadikan kemaslahatan bumi dan manusia sebagai tujuan utama, bukan keuntungan materi. Berharap perubahan iklim terhenti saat dunia masih dalam cengkeraman ideologi kapitalis adalah sebuah ilusi dan mimpi. Maka jika ingin bencana lingkungan terhenti tak sebatas mimpi, tak ada jalan lain kecuali mengambil sistem Ilahi Sang Pemilik Bumi.

Wallahu’alam bishowwab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image