Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syifa Amalia Putri

Maraknya Kasus Bullying Di Lingkungan Sekolah : Darurat Kesehatan Mental Bagi Pelajar !

Pendidikan dan Literasi | 2023-05-05 21:00:13

Maraknya kasus bullying di lingkungan sekolah cukup memprihatinkan, Sekolah yang seharusnya tempat menimba ilmu serta tempat untuk bersosialisasi yang baik, justru menjadi tempat melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang. Sangat disayangkan sekali untuk menghentikan persoalan ini, bukanlah perkara yang mudah. Selain itu, kesehatan mental anakpun menjadi terancam dan dapat menghambat pertumbuhan serta perkembangan mereka.

Insiden bullying semacam umpan informasi yang umumnya dikonsumsi media Indonesia mulai dari surat kabar, televisi hingga media online. Seringkali pesan disampaikan dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang sekolah, sudut pandang guru, sudut pandang orang tua, dan sudut pandang anak korban. Dari sudut pandang terakhir inilah korban harus berhadapan dengan media selain menghadapi traumanya.

Bullying bukanlah perkara yang tidak penting. Ini merupakan suatu tindakan mengancam seseorang dengan sikap, dan juga perkataan. Sehingga perilaku ini tidak terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga serangan psikologis. Gosip, ejekan dan pengucilan adalah contoh tindakan mengancam yang dapat menyerang jiwa orang.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan jumlah kasus bullying meningkat antara 30 hingga 60 kasus per tahun. Pada tanggal 13 Februari 2023 KPAI mencatat adanya kenaikan angka kasus bullying sebanyak 1.138 kasus kekerasan fisik dan psikis yang disebabkan oleh bullying.

United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kekerasan yang tinggi terhadap anak dibandingkan dengan negara asia lainnya seperti Vietnam, Nepal dan Kamboja. Selain itu, data penelitian yang dirilis Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan bahwa hingga 41,1 % pelajar Indonesia pernah mengalami perundungan atau bullying. Dikutip laman resmi Komnas Anak, Indonesia pada tahun 2018 menempati posisi ke 5 dari 78 negara dengan kasus bullying terbanyak.

Perkara Bullying tampaknya mengakar dan menyebar tiada henti. Indonesia juga pernah mengalami krisis kasus bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan khususnya di sekolah. Menanggapi hal tersebut, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terang-terangan menyatakan bahwa masih ada tiga “dosa besar” dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara lain: Intoleransi, kekerasan seksual dan Bullying. Ironisnya lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk mengenyam pendidikan demi masa depan mereka, malah menjadi ruang yang menakutkan.

Fakta-fakta di atas secara langsung menegaskan bahwa bullying masih menjadi masalah serius saat ini, yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat.

Bullying memerlukan perhatian khusus dari semua lapisan masyarakat karena sebagian besar kegiatan bullying di lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kesehatan mental anak sekolah yang akan berpengaruh pada karakteristik kesejahteraan mental yang mempengaruhi kehidupannya, seperti: rasa gembira, minat dan kegembiraan dalam hidup yang dia jalani.

Kesehatan mental menurut undang – undang nomor 18 tahun 2014 adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Hal itu juga berarti kesehatan mental mempunyai pengaruh terhadap fisik seseorang dan juga akan mengganggu produktivitasnya. Ganguan mental atau kejiwaan bisa dialami oleh siapa saja.

Mereka yang melakukan bullying, berkaitan dengan kesehatan mental seseorang dapat dipandang sebagai pengaruh negatif pada orang tersebut karena tekanan mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku bullying diasosiasikan dengan aspek afektif negatif dalam dirinya antara lain kecemasan, depresi, dan mereka cenderung memiliki kepribadian antisosial serta memiliki resiko putus sekolah yang tinggi, sehingga pada usia dewasa pelaku bullying lebih banyak bermasalah dengan pekerjaannya, dan juga menjaga hubungan romantis jangka panjang dengan pasangan juga sulit.

Pelaku bullying tidak hanya berkaitan dengan psychological distress, akan tetapi juga berkaitan dengan psychological well-being sebagai afek positif dalam diri individu, hal ini sesuai dengan temuan penelitian bahwa pelaku bullying merasa dirinya kurang bahagia dibandingkan dengan siswa lainnya yang tidak terlibat dalam bullying.

Ini harus menjadi pelajaran mahal bagi sekolah, dan sekolah harus mulai membangun sistem sekolah yang aman dari kekerasan, seperti UU Perlindungan Anak 54 dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan di Lembaga Pendidikan.

Insiden bullying dapat dicegah terutama di lingkungan pendidikan dengan memberikan psikoedukasi dan pemahaman tentang bullying serta dampak bullying terhadap siswa, guru dan staf, terutama dampak negatif dari bullying. Hal ini dapat terus disosialisasikan dalam lingkungan pendidikan. Selain itu, orang tua juga dapat memprediksi faktor pencegahan bullying di luar lingkungan sekolah. Hal ini dapat dicapai dengan menyelenggarakan Roots, program pencegahan perundungan berbasis sekolah yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia dan pemerintah sejak tahun 2017.

Tentu saja, mencegah dan mengakhiri bullying di sekolah bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan secara sepihak, tetapi membutuhkan kerjasama multi pihak yang berjalan ketika pemerintah dan seluruh ekosistem sekolah serta masyarakat secara aktif terlibat dalam pencegahan bullying.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image